Kerajinan tenun yang diwariskan secara turun temurun ini tidak pernah lekang dimakan waktu. Selain masih digunakan masyarakat Sambas, Kalimantan Barat untuk menghadiri acara resmi, tenun dengan beragam motif dan juga warna ini ternyata juga sudah dilirik warga Negara tetangga.
Memasuki dusun Kranji, Tanjung mekar, Sambas, Kalimantan Barat, beberapa warga terlihat tengah asyik menenun benang untuk dijadikan tenun ikat atau songket. Menurut Budiana (45), warga dusun Kranji, pemandangan seperti itu memang sudah menjadi kebiasaan di dusunnya. ‘Namun kerajinan tenun ini sempat ditinggal karena susah cari pembeli. Sampai beberapa tahun belakangan kembali marak, setelah banyak yang mencari tenun khas sambas ini’, ujar ibu dua anak ini.
Budiana termasuk generasi muda perajin tenun yang kemudian berniat mengembangkan usaha tenun asli daerahnya. ‘Saya sudah belajar menenun sejak di kelas 5 SD. Keahlian ini kan sifatnya turun temurun, enggak ada sekolah formalnya’, ungkapnya.
Lebih Panjang
Sejak berkeluarga, Budiana memutuskan untuk mencoba menjual hasil tenunnya langsung ke pelanggan. ‘Usaha itu saya rintis tahun 1993 bersama dua saudara saya. Awalnya agak susah cari pengrajin, apalagi anak muda sekarang. Namun kini kerajinan ini mulai bangkit lagi setelah tenun dikenalkan ke generasi muda melalui mulok (muatan local.Red) di sekolah-sekolah”, lanjutnya.
Lain dulu, lain sekarang. Untuk memenuhi pesanan yang semakin banyak, Budiana kini dibantu 20 orang pengrajin, ‘setiap hari mereka mampu membuat beragam motif tenun seperti Sawak Melako, Mate Ayam Ulat, Ragam Banji dan lainnya”, terangnya.
Menurut Budiana, tenun asli sambat tak kalah dengan tenun daerah lain di Indonesia. Diakuinya, ‘masing-masing tenun memiliki kekurangan dan kelebihan. Namun, tenun asli sambas memiliki beberapa kelebihan. Selain memiliki motif dan warna yang beragam, tenun sambas juga berukuran lebih panjang dibanding tenun dari daerah lain’, jelasnya.
Hal ini terjadi karena pengrajin di sambas menggunakan alat tenun yang berbeda pada umumnya. Alat tenun yang kami gunakan lebih besar, sehingga membutuhkan tempat khusus untuk menampungnya. ‘Oh iya, songket sambas tercatat di Museum Rekor Indonesia sebagai songket terpanjang lo. Panjangnya mencapai 161 meter dengan lebar 70 meter. Tenun tersebut memuat beragam warna dan motif tenun dengan waktu pembuatan selama satu tahun dan dilakukan oleh 13 pengrajin’, tambah budiana panjang lebar.
Pewarna Alami
Motif yang muncul dalam tenun sambas kebanyakan terinspirasi dari hewan dan tumbuhan yang biasa ditemukan di daerah tersebut. ‘Namun kami juga mengembangkan sendiri motif-motif yang ada. Beruntung ada dukungan dari pemerintah daerah dan berbagai pihak yang peduli dan bersedia mengangkat tenun sambas. Kami kerap mengikuti pelatihan mulai dari peningkatan mutu hingga pemilihan bahan baku’, kata Budiana yang mengaku pernah mendapat pelatihan menggunakan pewarna alam di bogor. ‘Ternyata banyak yang bisa kita gunakan untuk mewarnai benang bahan tenun. Misalnya menggunakan daun ketapang, daun jambu atau daun mangga’, bebernya.
Berkat mengikuti beragam pelatihan tersebut, usaha budiana semakin dikenal banyak orang. ‘pelanggan menyukai warna-warna alami. Memang dengan pewarna alami, hasilnya agak berbeda dengan pewarna sintetis. Pewarna alami memiliki keunikan tersendiri kadang bahannya sama tapi warna yang dihasilkan bisa berbeda’, ujar perempuan yang mendapat penghargaan UNESCO Award tahun 2012 lalu.
Selain itu lanjut Budiana, pewarna alami menghasilkan warna yang cenderung lembut. ‘Justru ini yang bikin tenun semakin unik’, tukas budiana yang menjual kain tenunnya dengan kisaran harga Rp.700.000 sampai Rp.5 juta.
Budiana berharap usahanya bisa berkembang semakin besar sehingga ia sekaligus mampu melestarikan warisan nenek moyangnya. ‘Selain melestarikan motif, kami juga membuat motif-motif baru. Salah satunya motif Mate Ayam Ulat yang menang UNESCO Award. Motif itu buatan adik saya, idenya muncul ketika sedang hujan dan ada ayam memakan ulat’, katanya seraya tersenyum.
Demi menjaring pelanggan, budiana juga berkreasi dengan membuat produk berbahan dasar tenun dan songket. ‘Dalam waktu satu bulan kami mampu membuat sekitar 20 lembar kain. Selain dijual berbentuk kain, kain hasil tenun itu kami olah lagi menjadi kopiah, tempat tisu, sarung bantal dan lain-lain’, tuturnya.
Internet dan Pameran
Sementara itu di tempat terpisah, Sahidah (70) mengaku bersyukur tenun asal sambas kini mampu disejajarkan dengan tenun asal daerah lain. Ibu dua anak dan nenek tiga cucu ini juga berharap tenun mampu menyusul kesuksesan batik di dunia Internasional. ‘Saya sudah bisa menenun sejak tahun 50-an, sampai sekarang saya masih aktif mengajarkan tenun supaya ada regenerasi’, ungkapnya.
Lahir di sebuah desa kecil bernama semberang, sahidah mulai menjual hasil kerajinan tangannya hingga di singkawang. ‘Saya pindah ke singkawang sekitar tahun 1970-an. Di sana saya menikah dan pindah ke sambas’.
Karena harus fokus dalam membesarkan anaknya, sekitar tahun 1970-an Sahidah memutuskan untuk berhenti menenun. ‘Baru kemudian pada tahun 1995 ketika anak saya sudah besar, saya mulai lagi usaha ini sampai sekarang. Sempat 14 tahun saya berhenti dan memulai lagi usaha ini dari nol’.
Meski begitu, ‘saya tidak pernah lupa teknik menenun meski bahan bakunya sudah jauh berbeda. Di bantu anak saya yang pertama, alfian, pemasarannya kini semakin luas. Terlebih sekarang ada internet’, ungkapnya senang.
Pemerintah daerah menurutnya juga membantu memeperluas sayap usahanya dengan mengajaknya berpameran. ’Dari situ kami semakin dikenal dan semakin semangat dalam mengembangkan usaha. Walau enggak pernah memasang iklan, orang dari luar daerah dan Negera tetangga seperti Malaysia datang ke sini untuk membeli kain’.
Sistem Jual Beli
Dijelaskan Sahidah, tenun sambas sangat kaya akan motif dan warna. ’Jumlah motif ribuan, saya masih hapal semua. Untuk membantu melestarikan tenun asli sambas, kini saya rajin mendokumentasikannya, saya juga masih simpan motif-motif kuno yang saya miliki. Kain koleksi saya juga dibawa untuk pameran, ada yang umurnya mungkin lebih dari seratus tahun’.
’Untuk merawat tenun yang bagus supaya awet, enggak ada rahasianya, yang penting jangan dicuci. Usai digunakan cukup diangin-anginkan di tempat teduh lalu disimpan di lemari. Taruh lada putih yang dibungkus kain di lemari’, ungkap sahidah yang menjual tenun seharga Rp.350.000 sampai Rp.5 juta.
Penggunaan kain tenun kini tak terbatas hanya bagi masyarakat melayu. ’Semua motif dan warna bisa dipakai oleh siapa saja dan kapan saja, dulu selain anggota kerajaan, tidak ada yang boleh menggunakan warna kuning. Tetapi kini kan sudah berbeda zamannya’, terangnya.
Yang juga sedikit berbeda dengan pengusaha lain, Sahidah menerapkan sistem jual beli kain terhadap 40 orang pengrajin yang membantunya. ’Saya enggak menggunakan sistem upah, dengan begini juga kami jadi saling menghargai. Saya hanya menyiapkan bahan dan alatnya saja. Untuk proses produksi dikerjakan di rumah masing-masing pengrajin. Sehingga mereke bisa melakukan berbagai aktivitas lainnya di rumah’.
Sumber: Edwin yusman f/nova.
Tabloid NOVA 1423/XXVIII 1-7 Juni 2015