“If you empower men, you just empower individual, but if you empower women, you empower the nation”
Peryataan itu dilontarkan Ayu, aktivis Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) akhir Oktober 2012. Kala itu, ia melakukan presentasi di depan Kelompok Perempuan Usaha Kecil (KPUK) di Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Ayu menyadari, perempuan-perempuan di Padang berkerja keras demi menghidupi keluarganya. Mereka tak hanya duduk berpangku tangan. Apalagi, setelah gempa melanda Padang pada 2009. Dan, dengan memberdayakan perempuan, maka kehidupan masyarakat pun akan menjadi semakin baik.
Di Wonosalam, Jombang Jawa Timur, upaya pemberdayaan itu dilakukan melalui Lembaga Keuangan Perempuan (LKP) Mandiri. LKP Mandiri didirikan dengan memanfaatkan “bekas” kelompok masyarakat yang ikut dalam program pemerintah nasional, dinamakan “PKH” (program keluarga harapan), yaitu yang memberikan bantuan tunai bersyarat kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM).
Kepada masyarakat yang mendapat bantuan, diwajibkan untuk memenuhi persyaratan dan komitmen untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. Namun, selama ini masyarakat penerima bantuan, langsung menghabiskannya untuk menutup semua pengeluaran keluarga. Alhasil, bantuan itu pun ludes. Bantuan yang diberikan tak dapat di tabung.
Maka, kelompok perempuan di Wonosalam pun memutar otak. Kelompok perempun ini berusaha agar bantuan yang diberikan dapat disimpan. Melalui LKP Perempuan Mandiri, sebagian dana yang didapat kelompok perempuan dari PKH disimpan untuk permodalan lembaga. Dan, berkat kerja keras, LKP kini tumbuh dan menjadi tumpuan bagi 244 orang perempuan dari 8 kelompok.
Semenjak April 2012 hingga Oktober 2012, LKP berhasil mengumpulkan simpanan anggota sebesar Rp 16.469.000. Selain itu, modal penyertaan dari 8 kelompok berjumlah Rp 10.340.000. Jadi, total asset LKP per Oktober mencapai Rp 33.125.500. Selain itu, LKP telah mencairkan pinjaman kepada anggotanya sebanyak Rp 85.750.000.
“Kami awalnya tidak membayangkan para perempuan desa mau membangun lembaga keuangannya sendiri dalam bentuk koperasi. Padahal di desa lain, masyarakat berbondong-bondong menghabiskan bantuan PKH,” ungkap Poniti, pengurus LKP perempuan mandiri. Berkat kerja keras, kini kelompok perempuan di Wonosalam mendapat apresiasi pejabat kabupaten, propinsi hingga tingkat nasional. Bahkan saat RAT (rapat anggota tahunan) awal tahun 2012, pejabat dinas koperasi pemerintah daerah hadir untuk melihat kesiapan LKP dalam kepengurusan badan hukum koperasi.
Apa yang dikatakan Ayu dan Poniti menunjukkan bahwa peran kelompok perempuan – disadari atau tidak – telah berperan penting dalam menjaga “periuk” nasi keluarga Indonesia.
Kini, jumlah perempuan yang berada dalam kemiskinan terus meroket seiring kondisi negara yang belum serius menerapkan perspektif keadilan gender pada pembangunan. Kondisi tersebut diperjelas dengan data ketenagakerjaan dan pengangguran yang memperlihatkan bahwa angkatan kerja laki-laki berjumlah 72.251.521 dibanding perempuan yang 45.118.964. . Terlihat disitu bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan lebih kecil (38,26%) dibanding laki-laki (62,74), dan angka pengangguran perempuan (10,8%) lebih besar disbanding laki-laki (8,1%). Sementara itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) perempuan (8,76 persen) lebih tinggi dibandingkan dengan TPT laki-laki (7,51 persen).
Hal itu ditambah dengan kurangnya akses ke sumber daya dan pengambilan keputusan yang turut memarjinalkan perempuan dari berbagai sektor. Perempuan kehilangan pekerjaan yang dulu menjadi mata pencaharian mereka. Akibatnya, perempuan dari daerah pedesaan terpaksa mencari pekerjaan ke daerah perkotaan dan banyak dari mereka bahkan pergi ke luar negeri sebagai buruh migran. Dalam usaha eceran kecil, penyebaran supermarket dan mini-market meminggirkan pasar tradisional dan mempersempit ruang bagi perempuan miskin untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi. Di sektor informal, pemerintah daerah menarik retribusi dari usaha yang dijalankan oleh perempuan, seperti restoran kecil, hiburan, lokalisasi, pasar-pasar tradisional dan usaha eceran kecil. Semua dengan dalil, upaya meningkatkan pendapatan daerah. Desentralisasi telah memberikan kontribusi terhadap marjinalisasi perempuan. Sementara itu, kegiatan pemberdayaan perempuan hampir tidak pernah menerima dana dari anggaran daerah.
Pemerintah memang tidak berpangku tangan. Paling tidak, dari sisi alokasi anggaran, melalui APBN pemerintah telah menggelontorkan peningkatan dana setiap tahunnya semenjak reformasi diperuntukan bagi program penanggulangan kemiskinan. Semenjak tahun 2009, pemerintah telah mengalokasikan Rp 80 trilyun, sedangkan tahun 2010 menjadi Rp 84 trilyun tahun 2010. Pada tahun 2012, sebanyak Rp 99 trilyun, dan direncanakan sebesar Rp 106,8 triliun untuk 2013. Namun sayangnya, angka penurunan kemiskinan – termasuk di kalangan perempuan miskin — hanya mencapai dibawah 1 persen setiap tahunnya.
Penguatan ekonomi dan kesadaran kritis perempuan
Pertanyaannya; apa yang salah dengan langkah pemerintah tersebut ? Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) mengidentifikasi sejumlah kelemahan program penanggulangan kemiskinan selama ini. Yakni; pertama, perencanaan dan pelaksanaannya tidak membuka peluang aspirasi si miskin. Kedua, banyak programnya yang dirancang dan diimplementasikan layaknya program amal dan tidak diarahkan untuk memberdayakan masyarakat miskin. Ketiga, programnya kaku dan tidak memperhatikan kekhususan lokal. Keempat, ketidakseriusan pemerintah dalam pengembangan UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) sebagai salah satu strategi penanggulangan kemiskinan.
Hal itu terlihat dari penyebaran program pengembangan UMKM yang terdapat di sejumlah kementerian. Baik yang ada di bawah kementrian ekonomi, seperti Kementrian UMKM dan Koperasi, maupun yang ada di bawah wewenang Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat seperti; Kementrian Sosial dan Kementrian Dalam Negri. Sebagai contoh, program Simpan Pinjam Perempuan(SPP) yang diperuntukan bagi kelompok perempuan miskin berada dalam wewenang kementrian Dalam Negri, karena ia masuk dalam program PNPM. Program ini tidak bersinegis dengan program pengembangan UMKM di bawah Kementrian Menkop UMKM yang lebih fokus kepada “peningkatan kapasitas” pengusaha UMKM.
Akibatnya, kelompok masyarakat yang mendapat modal dalam program SPP, tidak mendapat program pengembangan kapasitas usaha dari Menkop UKM. Memang, pemerintah telah membentuk TNP2K (tim nasional percepatan penanggulangan kemiskinan) di tingkat nasional dan TKPKD di tingkat daerah, namun “ego” sektoral kementrian dan lembaga masih menghambat kinerja lembaga baru yang dikomandoi wakil presiden.
Atas dasar itulah ASPPUK bekerjasama dengan Ford Foundation sejak tahun 2010 – 2012 menginisasi program perkuatan dan pemberdayaan ekonomi dan politik kepada perempuan akar rumput di 6 daerah. Keenam daeah itu adalah Padang, Padang Pariaman, Makasar, Kupang, Jombang dan Gresik. Program tersebut dinamakan “Mengembangkan Aset Finansial dan Partisipasi perempuan basis Dalam Lembaga Pengambil Keputusan Publik di Tingkat Kampung”. Berbagai kegiatan dilakukan, seperti peningkatan kapasitas LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) jaringan ASPPUK.
Harapannya, ini bisa menciptakan perempuan akar rumput menjadi inisiator pengembangan usaha mikro dan kecil, memfasilitasinya untuk membentuk koperasi atau tabungan dan pinjaman lain, dan melakukan peningkatan kapasitas organisasi. Selain itu dalam program ini, ASPPUK juga mengembangkan sinergi antara kegiatan-kegiatannya untuk melakukan pemberdayaan ekonomi bagi perempuan akar rumput. Ada sinergi yang dikembangkan dengan kegiatan penerima grantee lain dari Ford Foundation. Ini merupakan bagian dari aliansi strategis untuk Pengentasan Kemiskinan (strategic alliance for poverty alleviation, SAPA) untuk pemberdayaan politik. Harapannya, pemberdayaan ini memungkinkan perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik di tingkat desa dan kabupaten. Khususnya untuk menghasilkan keputusan di bidang anggaran yang responsif gender.
Dalam dua tahun itu, pencapaian kecil pun mulai tampak. Ini terlihat dengan bertambahnya jumlah LKP di kab. Jombang dan Gresik yang sebelumnya belum ada. Selain itu, di kota Kupang di akomodasinya 31% usulan kebutuhan perempuan di 20 kelurahan dalam dokumen Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan). Ditambah lagi, 2 KPUK mendapat alokasi dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ) melalui Kementerian Perikanan dan Kelautan RI, dan beberapa pencapaian lainnya.
Itulah sepenggal contoh dari upaya kelompok perempuan dalam upaya mengembangkan aset keuangan dan partisipasinya dalam lembaga pengambil keputusan publik di tingkat kampung. Temuan lain bisa pembaca baca di halaman selanjutnya dari berbagai wilayah di buku ini.
Dinamika perempuan dalam pengembangan usaha
(Perempuan dan persaingan usaha)
Agar lepas dari kemiskinan, perempuan harus berusaha dan bekerja. Ia bergulat dengan segala dinamika usaha, termasuk adanya persaingan. Kehadirannya sejalan dengan bertumbuhnya usaha itu sendiri. Semakin kompleks usaha akan semakin kompleks pula modus persaingannya. Persaingan usaha ibarat pisau bermata dua, satu sisi kehadirannya mampu mendorong inovasi usaha, namun pada sisi lain menjadi petaka bagi yang kalah.
Bila ditarik secara global, tampaknya iklim persaingan usaha semakin tidak kondusif. Globalisasi dan pasar bebas diduga telah menimbulkan dampak negatif bagi pelaku UMKM di Indonesia. Mereka menghadapi tekanan pesaing yang berlapis. Lapisan itu setidaknya dapat dikelompokan menjadi tiga bagian. Pertama, pesaing dalam lingkaran sesama kelompok UMKM. Kedua, pengusaha lokal bermodal besar dan ketiga, pengusaha asing yang masuk akibat fenomena pasar global.
Pada kelompok pertama, sebagian besar di isi pelaku usaha mikro kecil yang bergerak di pasar tradisional dengan skala perdagangan ritel. Sementara kelompok kedua dan ketiga, di sebut sebagai kelompok pengusaha yang telah mentransformasi diri ke dalam wajah pasar modern, seperti, minimart, supermarket dan hypermarket.
Persaingan di antara kelompok pengusaha tersebut menjadi tidak sebanding, ketika pelaku usaha pasar modern ikut memasuki pangsa pasar retail. Gejalanya, ketika mereka menurunkan skala komoditinya dari grosiran ke eceran. Sehingga yang terjadi pangsa pasar pelaku usaha mikro kecil sering menjadi ladang perebutan di antara pengusaha bermodal besar. Alhasil, kekuatan pemodal besar melibas pemodal kecil. Survai ASPPUK tentang persaingan usaha, Desember 2010 menunjukkan, bahwa pesaing usaha adalah pesaing yang berasal dari sesama pengusaha kecil (49 %), pengusaha besar luar Kabupaten (6%), pengusaha besar dalam kabupaten, pasar modern (10%), produk China (5 %). Ini menunjukkan produk China perlu diwaspadai sebagai pesaing pelaku UMKM, meski baru 5 %.
Fenomena semakin tergesernya pasar tradisional oleh pasar modern menjadi salah satu contoh. Berbagai studi dan reportase media massa menggambarkan betapa ekspansifnya pasar modern membuat pasar tradisional makin terjepit. Data menyebutkan pertumbuhan gerai minimarket mencapai 254,8 persen, yakni dari 2.058 gerai pada tahun 2003 menjadi 7.301 gerai pada tahun 2008, sementara jumlah pasar tradisional dalam kurun lima tahun tersebut cenderung stagnan. Data ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran dari pasar tradisional ke arah pasar modern akibat persaingan usaha. Gambaran situasi persaingan usaha ini tampaknya memiliki kemiripan dengan masa orba. Dimana saat itu telah terjadi persaingan pasar tidak sehat, karena praktek-praktek monopoli dan oligopoli oleh Usaha Besar (perusahaan konglomerat) di hampir semua sektor.
Sementara dari sisi relasi mutualisme antara pelaku usaha pasar modern dan pelaku usaha mikro-kecil, boleh dikatakan hampir tidak ada. Jika pun ada, relasi ini lebih mendatangkan keuntungan bagi pelaku usaha modern. Pelaku UMKM cenderung menjadi reseller (membeli untuk menjual kembali) produk pasar modern, bukan pemasok. Meski di kalangan pelaku UMKM saat ini terdapat juga yang berperan sebagai pemasok komoditi ke pasar modern, tetapi jumlah ini relatif kecil. Data menyebutkan masih sedikit pelaku usaha kecil yang berperan pemasok pasar modern. Seperti misalnya Indomaret, dari sekitar 3000 -3500 item produk hanya 10 % pemasok lokal.
Dari sisi pasokan produk, pelaku pasar modern cenderung memilih pemasok dari pengusaha besar. Bahkan semenjak perjanjian FTA (free trade agreement) ASEAN-China, telah terjadi trend pengusaha besar mengambil pasokan komoditinya dari produk China. Konon karakteristiknya lebih variatif, volume produk yang besar, dan harganya murah. Sehingga komoditi China dianggap lebih menguntungkan daripada menjual produk lokal.
Keengganan pelaku usaha pasar modern menggandeng usaha mikro-kecil sebagai pemasok disebabkan oleh kelemahan pada usaha mikro-kecil itu sendiri. Di antaranya meliputi, produk yang dianggap berkualitas rendah, volume produksi yang tidak stabil dan rata-rata mereka masih lemah dalam aspek perizinan usaha. Sehingga dianggap bermitra dengannya akan menghadapi banyak resiko, seperti kelangkaan pasokan, pemberian subsidi, dan peningkat kualitas produk.
Selain menghadapi kepungan pelaku usaha bermodal besar baik lokal maupun asing, pelaku UMKM ke depan diprediksi akan menghadapi pengusaha baru sebagai akibat pergeseran ketenagakerjaan. Pergeseran ketenagakerjaan ini ditengarai oleh semakin sempitnya lapangan kerja formal dan membengkaknya kasus PHK. Dari data perbandingan Susenas (1998 vs 2008), menunjukkan setidaknya pendidikan setingkat D4-Sarjana yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai (formal) mengalami penurunan dari 83% (1998) menjadi 79,5 % (2008). Sementara yang berusaha secara mandiri meningkat 13 % (1998), menjadi 20 % (2008).
Munculnya pemain-pemain baru di dunia usaha ini pada satu sisi menggembirakan, karena hadirnya entrepreneur baru. Namun di sisi lain, merupakan manifestasi munculnya pesaing baru yang berebut pasar lokal.
Posisi perempuan usaha kecil-mikro
Perempuan sebagai bagian dari entitas dunia usaha tidaklah kecil perannya sebagai penyumbang ekonomi nasional. Sayangnya, perlindungan terhadap perempuan usaha kecil (PUK) selama ini sangat kurang. Hal ini, lebih disebabkan dunia usaha masih dianggap sebagai netral gender. Sehingga persoalan terkait PUK sering terabaikan. Padahal persoalan usaha yang dihadapi perempuan lebih komplek dibandingkan laki-laki.
PUK, selain menghadapi hambatan teknis usaha, mereka juga bergelut dengan persoalan struktural dan relasi ketidakadilan jender. Dalam persoalan struktural, mereka menghadapi masalah terkait kebijakan formal, birokrasi, lembaga kredit dan perbankan. Terkait dengan ketidakadilan jender, PUK masih sering mendapatkan pelabelan, seperti perempuan tidak pantas mengelola usaha, tidak memiliki asset dan jika memiliki usaha masih dianggap sebagai usaha sampingan keluarga.
Situasi ini telah membuat posisi PUK menjadi semakin sulit ketika persaingan usaha yang makin keras. Sehingga aktivitas usahanya semakin sulit untuk meraih keuntungan. Gambaran aktivitas usaha yang mereka geluti hanyalah sekedar untuk bertahan hidup. Kondisi ini menjadi sangat dilematis bagi PUK. Sementara itu realitas yang terjadi saat ini, mereka harus menghadapi persaingan usaha baik di tingkat lokal maupun persaingan pasar global, tanpa dibekali kesiapan usaha yang mamadai.
Peran pemerintah
Keberadaan pasar modern tidak dapat dipungkiri telah hadir dan berkembang pesat di tengah masyarakat kita. Pada satu sisi menguntungkan konsumen, karena banyaknya barang yang bersaing sehingga harga menjadi murah. Namun di sisi yang lain membawa petaka bagi pelaku UMKM yang terpaksa harus bersaing dengan kondisi kesiapan usaha yang tidak memadai. Lebih dari pada itu, kehadiran pasar modern lahir sebagai kabijakan kapitalis dengan pasar bebasnya yang dampaknya meminggirkan pelaku usaha kecil.
Pada konteks ini perlunya peran pemerintah untuk melindungi pengusaha kecil. Banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah, diantaranya peran pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, menghilangkan berbagai bentuk persaingan usaha tidak sehat, menegakkan aturan zonasi pendirian pasar modern. Pemerintah juga diharapkan mengatur pemberian kuota pelaku UMK sebagai pemasok, meninjau ulang produk perjanjian dagang internasional yang ada saat ini, serta meningkatkan daya saing UMK.
Namun begitu, karena PUK memiliki problem spesifik dan berbeda dengan pelaku UMK pada umumnya, maka setiap produk kebijakan yang dibuat haruslah berperspektif adil jender. Hal ini misalnya terkait dengan masih banyaknya PUK yang sulit mengakses modal karena dianggap tidak memiliki asset, dan juga sulitnya membuat ijin usaha, dsb.
Pemerintah daerah perlu bertindak dengan pembuatan kebijakan yang memihak pelaku UMKM. Adanya otonomi daerah, berarti pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan untuk kepentingan masyarakat setempat. Akan menjadi preseden buruk, Jika produk kebijakan daerah yang dibuat tidak mendukung pelaku UMK, hal ini akan berdampak pada tumbuh kembang UMK. Tentu saja hal ini akan sulit terwujud jika paradigma pemerintah yang masih belum berpihak pada pelaku UMK. Dengan strategi perlindungan yang sistematis dan terencana bagi perempuan pelaku UMKM, maka pemerintah secara tidak langsung sejatinya sedang meningkatkan kesejahteraan dan menanggulangi kemiskinan rakyatnya, khususnya terhadap kelompok perempuan. (Darmanto & M Firdaus – Artikel ini telah dibukukan dalam buku berjudul, “Mengakhiri Ketergantungan, Membuka Jendela Dunia”, ASPPUK, 2012).