Kain tenun merupakan produk budaya yang sebagian besar masyarakat kita telah mengenalnya. Kain tenun biasanya digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bernilai adat. Namun kini, keberadaan tenun tidak saja merupakan barang-barang yang dapat digunakan dalam prosesi budaya, namun tenun kini telah menjadi salah satu komoditi andalan Indonesia.
Namun sayang sekali, situasi pertenunan di masyarakat kita, khususnya didaerah yang secara heritage penghasil tenun ternyata tidak cukup menggembirakan. Para pengrajin tenun banyak sekali mengalami kendala, khususnya dalam suplai bahan baku benang dan pewarna benang.
Dari baseline ASPPUK di 16 Kabupaten (2014), kendala usaha tenun diantaranya terkait bahan baku 48 persen, pemasaran 38 persen, modal 8 persen, keterampilan 5 persen, dan lainnya 1 persen. Hal ini menunjukkan bahan baku utama (benang dan pewarna) menjadi kendala terbesar. Umumnya pengrajin masih bergantung pada suplay industri pabrik (kimia). Informasi ini dipaparkan oleh Darmanto (Koordinator Program HHBK Pewarna) dalam sebuah kegiatan workshop dengan Tema Program Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Melalui Pelestarian Tanaman Pewarna Yang Berperspektif Gender Dan Berkelanjutan Di Kabupaten Kapuas Hulu Propinsi Kalimantan Barat Melalui Konservasi Eksitu, bekerja sama dengan TFCA Kalimantan di Aula Bappeda Kapuas Hulu, 18 Agustus 2015.
Situasi ketergantungan bahan baku tenun yang umumnya impor ini sangatlah tidak menguntungkan ditengah situasi mata uang dollar terus terus menggerus rupiah. Mengingat bahan-bahan baku kimia ini didapatkan melalui impor. Alhasil bahan-bahan untuk produksi tenun meningkat. Tentu saja ini akan mengurangi penghasilan penenun jika tidak segera ada perbaikan situasi ekonomi nasional.
Namun tidaklah mudah mengurangi ketergantungan bahan baku kimia impor ini untuk para pengrajin tenun. Sebab selama ini aktivitas produksi tenunan warna alam terus berkurang akibat semakin pudarnya cara-cara menenun tradisional. Teknik-teknik penggunaan warna alam mulai hilang, bahkan flora penghasil warna alam tidak lagi dikenali oleh generasi saat ini.
Salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan pada bahan kimia maka perlu mendorong pemanfaatan HHBK tanaman pewarna. Pemanfaatan HHBK tanaman pewarna ini akan membantu memenuhi kebutuhan bahan pewarna tenun dan mengurangi biaya produksi usaha tenun. Di samping itu secara tidak langsung telah mengurangi bahan baku kimia yang saat ini telah meluas. Untuk itu perlu menggalakkan pemanfaatan bahan pewarna alam dengan upaya konservasi HHBK tanaman pewarna sebagai pendukung aktivitas budaya tenun agar terus berkelanjutan. Hal ini perlu dilakukan mengingat beberapa keberadaan tanaman pewarna ini teridentifikasi mengalami kepunahan.
Pada kesempatan yang sama salah seorang nara sumber di acara workshop, 18 Agustus 2015 di Bappeda Kapuas Hulu, Doni Maja Perdana, S.Hut seksi wilayah I lanjak Danau Sentarum, mengakui hingga saat ini Pihak pengelola Taman Nasional kawasan Kapuas Hulu belum banyak mengeksplorasi keberadaan tanaman penghasil warna alam. Padahal saat ini tercatat 30.000 – 40.000 jenis tumbuhan tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Sehingga jika terus di dorong pemanfaatan HHBK tanaman pewarna ini akan meningkatkan akses manfaat potensi kawasan konservasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak hutan. Beberapa jenis tanaman endemic potensi penghasil warna alam, khususnya di pulau Kalimantan, di antaranya Marek (Symplocos tinctoria), Tarum/tom (indigofera), Engkerbai (psychotria viridiflora), dan Jernang (Daemonorops draco).
Selain menggarap di aspek konservasi juga perlu mendorong akses pasar produk tenun warna alam. Trend saat ini pasar terhadap produk-produk terkait ramah lingkungan semakin meningkat, khususnya di pasar global. Upaya konservasi dan aktivitas menenun tidak akan berkelanjutan tanpa mengaitkannya dengan peningkatan ekonomi masyarakat. Sayangnya hal ini masih belum banyak disadari oleh pemerintah sebagai stakeholder yang seharusnya mendorong kemajuan ekonomi rakyat. (Darmanto, Koordinator program HHBK pewarna alam ASPPUK – TFCA Kalimantan).