Siapa yang tidak mengetahui negara Indonesia? Negara yang terkenal dengan kekayaan alam, ribuan pulau-pulau indah nan eksotis, aneka kuliner tradisional, populasi penduduk yang menempati lima besar dunia serta keberagaman agama, suku dan budaya yang menjadikan negeri ini sungguh luar biasa, sesuai dengan BHINEKA TUNGGAL IKA.
Satu diantaranya Pulau Kalimantan dengan suku aslinya adalah suku Dayak. Suku tertua di pulau Borneo ini memiliki kekayaan warisan budaya dan tradisi leluhur yang mengakar dengan filosofi keseimbangan alam dengan mahluknya.
Kekayaan tradisi yang hingga kini masih ada, namun dikhawatirkan berangsur-angsur akan punah adalah kain tenun dan kegiatan menenun. Ratusan tahun silam, menenun menjadi kewajiban bagi setiap perempuan dari Suku Dayak. Hal ini dilakukan sebagai tuntutan dalam pemenuhan kebutuhan akan pakaian serta keperluan adat istiadat. Sebaliknya saat ini menenun manjadi sesuatu yang langka dan hanya dilakukan sebagian kecil kaum ibu, sedangkan generasi mudanya bisa dihitung dengan jari yang mau meneruskan tradisi nenek moyang mereka.
Padahal kegiatan menenun dan produk tenunnya menjadi simbol kebudayaan tinggi, unik, bernilai sejarah dan nilai seni yang baik. Contohnya di Dusun Kelayam, Dusun Ngaung Keruh, Dusun Tekalong, Dusun Kelawik, Kampung Engkadan dan Kampung Sungai Long. Para penenun dari kaum wanita tersebut didominasi usia 45 tahun ke atas dan mereka merupakan generasi ke-3 atau ke-4 dari leluhur yang menempati desa-desa tersebut.
Kaum ibu-ibu itu mengakui anak-anak mereka rata-rata enggan melanjutkan seni budaya menenun dikarenakan berbagai alasan, seperti sekolah dan bekerja di luar daerah, proses pengerjaan menenun yang membutuhkan waktu lama, sedangkan hasilnya sangat sedikit, pangsa pasar yang rendah dan sulitnya mempelajari menenun kain tersebut. “Anak-anak tidak mau belajar menenun. Katanya sulit dan dapat uangnya juga lama,” kata Sera (49), penenun Dusun Ngaung Keruh.
Apa yang diungkapkan ibu Sera dan yang dialami kaum ibu penenun lainnya juga sama. Kenyataannya, pasar tenun tradisional masih rendah dibanding dengan produk tekstil pabrikan lainnya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya masih kurangnya jaringan pemasaran ke luar (low networking), regenerasi penenun yang sangat minim sehingga untuk memproduksi dalam jumlah besar dan dalam waktu terbatas sangat tidak memungkinkan, investor, akses infrastruktur, informasi dan distribusi permodalan yang kurang memadai, serta kegiatan menenun masih menjadi kegiatan sampingan atau di waktu luang usai berladang.
“Mau gimana lagi, kita seharian berladang pulang sore. Kalau tidak capek, barulah kita menenun. Karena kainnya juga hanya untuk pakai sendiri Kalau dijual paling ada orang datang atau nitip ke saudara jual ke Malaysia sana,” jelas Susana Sutai (53), dari Dusun Kelawik.
Memang bila dilihat, biasanya selembar kain tenun maupun kerajinan tangan lain pada umumnya di hargai rendah oleh pembeli (buyers)/konsumen. Padahal proses pembuatan produk kerajinan tangan maupun tenun tentu tidaklah mudah dan perlu waktu, tenaga, keahlian, ketelitian dan modal.
Tahapan untuk menghasilkan sebuah karya kain tenun ikat dimulai dari penanaman kapas, pembuatan benang/memintal, ngaos (peminyakan benang), mewarna/mencelup, mengikat motif, menenun dan menjadikan pakaian adat merupakan rangkaian proses panjang.
Proses tersebut diikuti dengan ritual-ritual tertentu yang dipercaya sebagai roh untuk membangkitkan semangat dalam bekerja maupun untuk memperoleh hasil yang memuaskan dan pantangan, seperti menyediakan sesajian beras, pulut, tumpe (kue dari beras pulut), rendai (pulut), brondong jagung, pinang yang dibelah, rokok serta tembakau, serta pantang menenun selama seminggu jika ada yang meninggal atau musim nugal. “Jika ada yang melanggar petuah tersebut, maka dia akan sakit atau ada yang akan terjadi padanya,” ungkap Kepala Dusun Kelayam, Bonifasius Bansing (47).
Upaya untuk melestarikan warisan leluhur Suku Dayak bukanlah proses yang mudah seperti membalikan telapak tangan, karena memerlukan waktu yang lama, kerjasama semua pihak mulai dari masyarakat penenun itu sendiri sampai kepada pihak pemerintah maupun stakeholder lainnya.
Pelestarian tersebut meliputi menjaga ritual-ritual adat yang berkaitan dengan kegiatan menenun, transfer ilmu dari generasi tua ke generasi muda, pendokumentasian serta pembudidayaan tanaman pewarna yang menjadi nilai lebih dari kain tenun warisan leluhur. Diantara tanaman tersebut yakni Beting, Rengat, Jangau , Engkudu, Engkrebai dan Kemunting. Karena bagian-bagian dari tanaman tersebut yang bisa menghasilkan warna alami dan aman bagi manusia.
Terlebih saat ini tagline back to nature, recycle your product dan go green sudah menjadi isu dunia bahkan para designer luar negeri dan dalam negeri sudah banyak mengkampanyekan penggunaan bahan-bahan tekstil serta pewarna alam.
Oleh karena itu melalui dukungan program Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Melalui Pelestarian Tanaman Pewarna Yang Berperspektif Gender Dan Berkelanjutan Di Kabupaten Kapuas Hulu Propinsi Kalimantan Barat Melalui Konservasi Eksitu kerjasama antara TFCA kalimantan dengan ASPPUK, serta berbagai pihak khususnya pemerintah lokal diharapkan dapat memberikan nilai tambah kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat. “Harapan kami, program seperti ini jangan berhenti. Tapi bisa terus mendampingi dan memberikan masukan. Sehingga dari menenun, kami bisa meningkatkan kesejahteraan secara mandiri,” ungkap Kepala Dusun Kelawik, Selvister Berasap (41).
Dengan program-program bantuan dari berbagai pihak, keberlangsungan tenunan khususnya Suku Dayak dan penenun akan terus ada. Terlebih bila didukung sektor pariwisata untuk menarik investor dan wisatawan ke daerah tersebut. (ponti ana banjaria, Anggota Tim Peneliti Biodiversity ASPPUK-TFCA Kalimantan).