Banyak kalangan menilai UU No.6 tahun 2014 tentang desa berpotensi meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama tingkat feminisasi kemiskinan akut di desa. Sinyalemen tersebut ada benarnya. Terbukti semenjak UU desa diterapkan Januari 2015, transfer dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) telah sampai ke 74.910 desa sejak 2016. Akibatnya infrastruktur desa meningkat, perlahan tata kelola pemerintahan desa lebih baik terutama dalam hal transpransi pengelolaan anggaran desa. Sementara untuk tingkat kesejahteraan rakyat, masih simpang siur informasinya.
Sayangnya, perbaikan pembangunan desa paska UU desa tidak berdampak ke tingkat kondisi perempuan pedesaan yang — sebagian besar — masih miskin. Bila ditinjau dari partisipasi perempuan di jabatan public, hanya ada 0,46 % kepala desa perempuan dari jumlah desa di Indonesia. Mirisnya lagi, posisi perempuan di BPD (Badan Permusyawaratan Desa) jauh lebih kecil jumlahnya. Sejumlah factor masih menjadi penghalangnya. Seperti diungkap Tatik, kepala desa terpilih di Lampung, “Tantangan menjadi calon kepala desa sangat berat. Serangan kepada saya untuk tidak mencalokan diri luar biasa. Kiri dan kanan. Bahkan kepala desa lama ikut meneror saya. Namun saya tetap kekeh maju. Ini karena masyarakat mendorong saya. Karena saya sudah lama bekerja di desa…”.
Kondisi ini tentu berdampak kepada minimnya peran kaum perempuan dalam pembangunan desa secara keseluruhan. Ketidakadanya aturan tegas dan mengikat dimana pemerintah desa wajib melibatkan perempuan dalam rapat konsultasi warga Mesrenbangdes (Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan Desa), mengakibatkan rendahnya partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan pembangunan. Turunan dari kondisi ini, jelas kurang efektifnya pembangunan desa dalam mengatasi ketimpangan social dan gender, karena pengalaman dan kebutuhan perempuan tidak dipertimbangkan dalam pembangunan.
Di tingkat nasional, kondisi tersebut dijembatani Rembuk Desa 2015 yang menghasilkan 9 area Gerakan Desa Membangun Indonesia. Diantara pointnya; membangun desa berbasis ekologi, mendukung gerakan ekonomi lumbung desa, dan mewujudkan gerakan perempuan desa. Masyarkat sipil tidak berhenti di situ. Untuk mengkongkritkan langkah, mereka mengadakan “Rapat Koordinasi Masyarakat Sipil dan Lokakarya Sinergi Percepatan Pembangunan & Pemberdayaan Masyarakat Desa”, pada 25-26 Agustus 2017 di Jakarta. Hasilya ada 7 issue strategis rencana aksi, yaitu: Mendesakkan kebijakan pengarusutamaan gender, Pemberdayaan perempuan dan kelompok rentan marginal, Peningkatan representasi perempuan dalam pemerintahan desa, Peningkatan kapasitas aparat pemerintahan desa, Pemberdayaan ekonomi perempuan dan kelompok rentan, Peningkatan partisipasi kelompok perempuan dan kelompok rentan marginal dalam seluruh siklus pembangunan di desa, dan Akses kelompok perempuan miskin dan kelompok rentan marginal terhadap keadilan dan perlindungan.
Guna mengkonsolidasi gerakan perempuan dalam konteks partisipasi perempuan di pembangunan desa, masyarakat sipil – diinisasi KPI — menggas FGD bertema “Strategi Peningkatan Representasi dan Partisipasi Perempuan Pedesaan dalam Pemerintahan dan Pembangunan Desa”, tgl 31 Agustus 2017, di Fave hotel, Jakarta. Seknas ASPPUK yang memiliki jaringan di 70 an deerah dengan anggota 2 juta perempuan, pasti memiliki kepentingan. Oleh karenya, seknas ASPPUK terlibat dalam FGD tersebut. FGD juga dihadiri PEKKA, KPI, Kapal perempuan, Bina desa, Aman, Fatayat NU, kajian Antropologi UI dsb. Hasil kongritnya; terumuskannya egenda bersama tentang upaya mengidentifikasi kader perempuan basis yang berpotensi menjadi kepala desa tahun 2018. Ke depan, masyarakat sipil yang memiliki kerja di basis diharapkan bersinergi dalam mendorong partisipasi perempuan basis dalam proses pengambilan keputusan di politik local desa. Semoga. (ids)