(Refleksi 2017 Dan Catatan Awal 2018)
Trend global sedang mengarah ke penyelamatan dan pelestarian bumi. Kecenderungan ini dilandasi makin buruknya kwalitas udara, air, hutan sebagai “penyanggah” bumi untuk keberlanjutan makhluk hidup di dalamnya. Padahal, air, udara dan hutan merupakan “penyelamat” bumi dari ganasnya eksploitasi manusia terhadap sumber-sumber kehidupan. Situasi tersebut diperparah dengan perubahan lingkungan dan social yang cepat, sehingga menyebabkan perubahan fungsi hutan dan lahan.
Jurnal international Sciene (4 Januari 2018) memperlihatkan bahwa selama 50 puluh tahun terakhir, hentangan perairan laut yang kehilangan oksigen berlipat ganda dari sebelumnya. Diperkirakan terjadi penyusutan 2 persen oksigen atau sekitar 77 milyar matrik ton. Padahal, oksigen merupakan penyanggah vital kehidupan biodeversity laut dan sekitarnya. Salah satu sebabnya adalah pemanasan global yang dipicu atas peningkatan gas rumah kaca tak terkendali di berbagai belahan bumi (Kompas, 11 Januari 2018).
Sementara itu, pengeloaan dan pelestarian hutan sebagai penyanggah kehidupan manusia dan makhluk lainnya menghadapi kompleksitas tantangan seiring peningkatan penduduk. Kawasan hutan Indonesia hampir 40 % “menyelimuti” luas lahan nusantara. Semua sepakat, bahwa hutan merupakan “paruh-paruh” bumi yang harus dijaga kelestaraiannya. Hutan merupakan areal terbuka yang berfungsi sebagai lahan nyaman bagi kehidupan keanekaragaman hayati, penyedia bahan kesehatan masyarakat, pengendali longsor, dan sumber ekonomi masyarakat sekitar.
Kenyataanya, pembalakan hutan oleh perusahaan besar dan sebagian masyarakat kian merusak ekosistem di dalam dan sekitarnya. Kondisi ini berdampak buruk kepada komunitas yang hidup bertahun-tahun dan menyatu di sekitarnya. Pemerhati hutan umumnya menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya hutan di Indonesia tidak terlepas dengan komunitas sekitar. Mereka memiliki keterikatan kuat secara social, budaya, spiritual, ekologi, ekonomi dan politik dengan bumi, wilayah, dan ekosistem hutan. Ikatan yang membumi tak mungkin terpisahkan dari sejarah panjang kehidupannya. Sayangnya, sejarah perjalanan bangsa mencatat bahwa “intervensi” pihak luar – termasuk pemerintah dan swasta – terhadap pengelolaan hutan belum membawa kebaikan bersama antara masyarakat sekitar hutan dan pihak luar yang mengelolanya (Mia Siscawati, “Masyarakat Adat dan Perebuatan Penguasaan Hutan”, WACANA, No.33, tahun XI, 2014).
Salah satu kelompok rentan terdampak ialah perempuan miskin sekitar hutan. Sepintas, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan miskin di situ. Namun bila dilihat tajam, perempuan mengalami pengalaman berbeda dari laki-laki dalam menghadapi dampak dan perubahan lingkungan. Luas lahan hutan di Indonesia – dilihat sepintas – identik dengan pola kerja kaum pria. Seolah ada kesan bahwa areal hutan menjadi “ruang kekuasaan” laki-laki yang banyak memiliki akses, kontrol terhadapnya. Kondisi ini dipengaruhi peran gender yang dilekatkan kepada perempuan dan laki-laki. Sementara itu, kehidupan perempuan sekitar hutan dekat dengan alam. Air, udara dan tanah merupakan elemen penting yang melekat dan berpengaruh kepada kehidupannya. Bagi perempuan, hutan sangat bermanfaat bagi kehidupan. Sejumlah studi Atropologi tentang kehidupan masyarakat hutan menggambarkan bahwa telah tumbuh relasi kekuasaan berbasis gender dan kelas yang ikut mewarnai penguasaan tanah dan kekayaan alam lainnya (Siscawati, 2014). Bahkan model pembagian kerja di kehidupan masyarakat hutan, menjadi faktor penting yang mempengaruhi peran, akses, dan kontrol pelaku terhadap sumber-sumber penghidupan dan informasinya.
Inisiatif Ramah Lingkungan
Berbagai kelompok masyarakat, donor dan pemerintah melakukan beragam program dan inisiatif menghadapi kondisi tersebut. Di sini dikenal istilah “Ekonomi Rendah Karbon” (ERK). Kementrian Lingkungan Hidup dan Kawasan (KLHK) mendefiniskan sebagai konsep ekonomi yang bertujuan menahan pemanasan global agar tidak lebih 2 derajat Celsius, melalui cara perubahan jalur pertumbuhan ekonomi ke jalur carbon footprint yang rendah, dan dekarbonisasi ekonomi, serta pemanfaatan teknologi rendah karbon.
Di sini penulis ingin memfokuskan pada inisiatif yang mendorong kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Diantaranya program yang mempromosikan konsumsi dan produksi keberlanjutan secara berkeadilan serta setara di semua level. Programnya diarahkan ke pengembangan yang ramah lingkungan. Kementrian Republik Indonesia (RI), sejak Desember 2012 melalui Kepres Nomor 25/2011, membentuk Satuan Tugas Kelembagaan REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus) sebagai gugus pengendali kerusakan lingkungan. Sayangnya, satgas ini belum memainstreaming “ramah lingkungan dan lestari” di sector ekonomi (khususnya peningkatan kesejahteraan), budaya social, dsb. Di luar itu, lembaga donor international dan local melakukan langkah serupa, dengan mengarahkan program pengendalian pemanasan global melalui inisiasi ekonomi ramah lingkungan.
Sepanjang 2017 ASPPUK yang memiliki perhatian keberlangsungan bumi dengan produk ramah lingkungan, aktif dalam event besar untuk terwujudnya lingkungan lestari, dan berkeadilan gender. Pertama, festival Parara (Panen Raya Nusantara) 2017 berlangsung di Taman Menteng, Jakarta Pusat, 13-15 Oktober 2017 dengan tema, ”Jaga Tradisi, Rawat Bumi’. Festival ini menampilkan produk kewirausahan komunitas masyarakat, hasil kolaborasi antara wirausaha komunitas dan pekerja kreatif. ASPPUK mengetengahkan produk tenun ramah lingkungan, sebagai hasil kerja sejak 2013, melalui program “Sustainable Consumtion of Handwoven Textile: Female Entrepeneurship” kerjasama dengan Eropion Union (EU). ASPPUK menjadi bagian konsorsium dalam upaya melestarikan dan mengkampanyekan tenun ramah lingkungan di Indonesia dan Philipina.
Disamping itu, atas dukungan TFCA, ASPPUK bekerjasama dengan perempuan penenun desa Lanjak Deras, desa Mensiau, dan desa Manua Sadap, kab. Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, dalam program “Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu melalui Pelestarian Tanaman Pewarna Yang Berperspektif Gender dan Berkelanjutan”. Kemudian ASPPUK menjalin kerjasama dengan Maybank Foundation di kab. Tanah Datar, kota Sawahlunto, provinsi Sumatera Barat, dan kab Lombok Timur dan Lombok Tengah, NTB, untuk mendukung pengembangan tenun ramah lingkungan dalam program “Women Eco Weaver”.
Kedua, keterlibatan anggota ASPPUK – di Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat — dalam program “Pemberdayaan Perempuan dalam Ekonomi Hijau: Pengembangan Kewirausahaan Melalui Inovasi dan Akses pada Jejaring Bisnis”, sejak 2016 hingga 2017 atas support MCAI. Produk yang dikembangkan ialah; beras organic, beras hitam, beras merah, madu hutan, kerajinan tangan, garam laut, trasi, dsb. Dalam konteks pengembangan pangan local yang ramah lingkungan, sejak 2010 ASPPUK mengembangkan pangan local yang hampir punah menjadi pilihan pangannya. Dampaknya muncul aneka pangan lokal yang sehat, ramah lingkungan, kuat kandungan gizi dan berbahan local sebagai alternative makanan di tengah gempuran produk yang tak sehat.
Pengalaman menarik yang dilakukan Ibu Sayon, penenun berumur 61 tahun dari Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Ia hidup bertahun-tahun di sekitar hutan danau Sentarum dengan minim pengetahuan tentang kemanfaatan aneka tanaman sekitar. Menjadi kebiasaan masyarakat dan pemerintah setempat untuk “mengekploitasi” pepohonan untuk beragam keperluan. Berkat “sentuhan” berbagai pihak, kini ia memanfaatkan lahanya untuk ditanami aneka tanaman yang menghasilkan warna alami bagi produk tenun. Dahulu, masyarakat dan pemerintah abai terhadap pelestarian areal hutan dengan berbagai tanaman. Engkerebai, Rengat, Jangau, Beting, Mengkudu, Kemunting, Empait, Rengat Akar, Engkerebai Laut dan Mengkudu kayu merupakan contoh tanaman yang selain menjaga ekosistem lahan, juga menghasilkan warna alami bagi produk tenun (https://asppuk.or.id/2015/10/22/keanekaragaman-hhbk-tanaman-pewarna-kekayaan-dan-identitas-budaya-dayak-iban/)
Pengalaman ASPPUK bekerja bersama perempuan produsen ramah lingkungan guna membangun ekonomi rendah karbon, memunculkan pengalaman berharga. Salah satunya, pengembangan ekonomi rendah karbon dan situasi kemiskinan perempuan harus dilihat hari-hati. Menciptakan produk sesuai “selera” pasar – seperti ilmu dasar ekonomi – mesti ditafsir ulang dengan melihat berbagai sudut pandang. Produk perempuan miskin sekitar hutan eksis turun menurun. Tenun dengan berbagai motif, pewarnaan alam, dan teknik produksinya berdampingan dengan kemiskinan. Di sini, perlu kearifan bagi siapa pun untuk tidak mengganti sumber ekonominya meski tidak “marketable”. ASPPUK melakukan negosiasi antara tuntutan pasar dan realitas lapangan. Hasil negosiasi membuahkan kerjasama antara ASPPUK dan desainer terkenal dalam bidang tenun. Hasilnya tercipta produk yang marketabel dan diterima pasar berkat sentuhan desainer. Melalui perjalanan panjang, kini tenun pengrajin dampingan ASPPUK melalui toko D’PUK dikenal secara nasional.
Pasar, Pendidikan Vokasi yang Ramah Lingkungan, dan Adil Gender
Dari berbagi upaya tersebut, ada baiknya point berikut menjadi perhatian kita semua. Pertama, perempuan merupakan aktor vital pengelolaan hutan. Sayangnya, keterlibatannya dalam pengambilan keputusan belum sejalan dengan reformasi sistem politik dan ekonomi yang luas. Faktanya, kaum perempuan merupakan kelompok rentan, miskin, serta bergantung kepada hutan sebagai sumber bertahan hidup, jaring pengaman dan pendapatan. Mereka terpinggirkan dalam proses pembuatan kebijakan dan distribusi manfaat sumber dayanya. Pengambil kebijakan cenderung memikirkan keuntungan dan dampak positif semata. Mereka tidak melihat dampak dan kemampuan perempuan miskin dalam meresponnya. Mereka juga minim dilibatkan dalam perumusan inisiatif untuk menghadapi dampak dan resiko lingkungan. Makanya, kebutuhan untuk memahami dan memperbaiki peran, partisipasi, akses, kontrol dan manfaat kaum perempuan yang adil terhadap sumberdaya hutan mendesak untuk diatasi, meski beratnya tantangan budaya.
Kedua, dalam upaya mendorong kesejahteraan masyarakat – kelompok perempuan khususnya – sekitar hutan, harus dikaitkan dengan pengendalian kemiskinan. Umumnya, analisa pasar mendahului produksi. Bila pemasarannya jelas, produksi dimulai. Faktanya, perempuan miskin seringkali tidak memikirkan analisa pasar di awal produksi. Usahanya ada dan secara turun menurun menjadi tumpuhan hidup. Hal itu dimungkinkan karena kelimpahan bahan baku dan tidak ada pilihan untuk mempertahankan hidup. Artinya kemiskinan, kerentanan, ketidakadilan gender, pengorganisasian masyarakat, dan strategi pemasaran perlu di”dekonstruksi” secara kritis dan integrative guna mensejahterakan masyarakat rentan. Inisiatif disesuaikan kondisi dan lentur terhadap perubahan guna mampu mensejahterakan perempuan miskin sebagai produsen produk bernilai tradisi ramah lingkungan. Selanjutnya, formula kebijakan menyediakan “lingkungan social-potical” secara komplemetari untuk mendorong program ekonomi rendah karbon.
Ketiga, pemerintah sedang memperluas dan mendanai pendidikan vokasi (termasuk pendidikan lifelihood), sebagai strategi pengurai pengangguran. Mengaitkan pendidikan vokasi dengan upaya pelestarian lingkungan menjadi opsi penting. Contohnya, pengembangan produk bernilai budaya. Setiap daerah yang memiliki keunikan secara turun menurun berpotensi menciptakan peluang kerja. Sayangnya, pemerintah dan stake holder lain belum memberikan perhatian maksimal terhadap produk bernilai budaya. Di sini, ASPPUK memberi contoh dengan mendorong pemuda putus sekolah untuk telibat dalam pengembangan produk bernilai budaya sebagai regenerasi. Upaya ini didukung pemda untuk bersama membangun “learnng centre” sebagai tempat belajar komunitas.
Keempat, gerakan pengembangan produk ramah lingkungan dan lestari. Dari berbagai pameran produk – baik makanan dan tekstil serta craft – sepanjang tahun 2017 mencerminkan keanekaragaman dan kekayaan alam Indonesia. PARARA (13-15 Oktober 2017), Market Even MCAI (Desember 2017) menyebut contohnya. Kini, di setiap sudut Indonesia muncul inisiatif untuk menjaga kelestarian lingkungan dan adil gender melalui produknya. Mempertemukan gerakan lokal berbagai kelompok masyarakat dengan trend global dalam mendorong ekonomi rendah karbon dan adil gender menjadi tantangan selanjutnya. Upaya ini optimis bisa terwujud. Ini mengingat, perlahan generasi millineal berperan aktif dalam upaya tersebut. Melalui software simple yang ramah bagi produsen produk ramah lingkungan misalnya – yang diinisasi generasi ini –, menjadi trobosan dan menjadikan produk ramah lingkungan tidak tertinggal dari perubahan. Bisa dibayangkan bila situasi pertemuan itu tercipta yang didukung generasi millineal yang sadar, maka pemeliharaan bumi ini makin lestari. Pekerjaan selanjutnya, bagaimana melibatkan generasi millineal dalam gerakan ini. (Mh. Firdaus, Tenaga Ahli seknas ASPPUK [sekretaraiat nasional asosiasi pendamping perempuan usaha kecil-mikro])