Tenun Ikat Dayak Iban merupakan salah satu identitas seni budaya Suku Dayak Iban yang masih tetap dipertahankan yang sebagian besar ditenun oleh kaum perempuan Dayak Iban. Penenun Perempuan Dayak Iban percaya bahwa tenun memiliki nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dan juga bernilai ekonomi tinggi. Hal ini terwujud melalui motif unik yang mereka tenun yang menggambarkan kepercayaan dan penghormatan kepada kehidupan.
Tenun ikat Suku Dayak ada yang bermotif dasar naga, buaya, tanaman, manusia, sungai, atau perpaduan beberapa motif tersebut yang proses menenunnya membutuhkan dua minggu sampai satu buah lebih untuk menenun selembar kain tenun yang mana tergantung dengan panjang dan lebar kain tenunnya. Tenun ikat Suku Dayak menggunakan pewarna alami. Mereka melanjutkan warisan dari nenek moyang mereka yang mewarnai benang, kain, dan produk kerajinan lainnya dengan menggunakan tanaman pewarna alami dari lingkungan rumah dan hutan.
Namun saat ini ketersediaan tanaman penghasil warna alami bagi penenun perempuan Dayak Iban semakin berkurang akibat ahli fungsi lahan dan masuknya industri benang sintetis yang membuat penenun perempuan Dayak Iban berahli dari praktek menenun dengan pewarna alami yang lebih ramah lingkungan menjadi menggunakan bahan pewarna sintetis yang berpotensial merusak kesehatan dan lingkungan.
Oleh sebab itu, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) bersama Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan Yayasan Kehati melalui Kegiatan Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di kawasan Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat yang berada di lima desa yaitu Desa Mensiau, Lanjak Deras, Labian, Sungai Abau, dan Manua Sadap bertujuan agar kelompok perempuan penenun dapat melakukan konservasi tanaman HHBK sebagai bahan pewarna alami tenun ikat Dayak Iban untuk melestarikan dan menjamin keberlanjutan produksi tenun dengan bahan pewarna alami.
Adapun Tanaman pewarna alami yang termasuk HHBK yang mulai terancam punah yang telah dimanfaatkan oleh Penenun Perempuan Dayak Iban menjadi pewarna alami tenun yang berhasil teridentifikasi oleh ASPPUK adalah tarum padi (Indigofera arrecta), tarum daun lebar (Indigofera Marsdeniatinctoria), Marek/Jangau (Symplocos Cerasifolia), Engkerebai (Psychotria Viridiflora), Mengkudu Kayu (Morinda Citrifolia) dan Jerenang (Daemonorops draco). Tanaman ini menghasilkan warna alami seperti warna merah, biru, coklat, dan kuning.
Selain melakukan gerakan konservasi tanaman HHBK sebagai bahan pewarna alami tenun ikat Dayak Iban, ASPPUK dan TFCA Kalimantan Yayasan Kehati juga membantu mempromosikan hasil karya tenun ikat kelompok penenun perempuan Dayak Iban dengan mendukung melalui kegiatan pameran, workshop, dan fashion show.
Melalui acara Perhutanan Sosial Nusantara (PESONA) pada 27 November 2019 di Gedung Manggala Wanabakti digelar fashion show Yurita Puji yang berbahan kain tenun ikat pewarna alami hasil karya Perempuan Dayak Iban. Fashion show ini selain bertujuan menampilkan hasil karya penenun perempuan Dayak Iban juga harapannya dapat membuka peluang pasar baik lokal, nasional maupun internasional yang dipromosikan oleh ASPPUK dan TFCA Kalimantan Yayasan Kehati. Pasar menyambut sangat baik Tenun ikat yang ramah lingkungan hasil karya perempuan Dayak Iban. Perempuan Dayak Iban berharap terjadi perubahan yakni peningkatan ekonomi bagi keluarga mereka.
Sebelumnya ASPPUK juga pernah bekerjasama dengan desainer Yurita Puji dalam New York Fashion Week (NYFW) 2017 dan Jakarta Fashion Week (JFW) 2017 Senayan City. Fashion show pada acara PESONA ini merupakan kerja sama yang kelima kalinya dengan desainer Yurita Puji. ASPPUK dan Desainer Yurita Puji memiliki fokus tujuan yang sama yaitu mempromosikan hasil tenun tangan karya penenun lokal agar dapat meningkatkan ekonomi keluarga para penenun dengan meningkatnya penjualan tenun hasil karya penenun lokal yang ada di Indonesia.