Jakarta, ASPPUK – Kepastian Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT) masih belum terlihat. Padahal, RUU ini memiliki urgensi yang besar sebagai payung hukum para PRT yang kerap mendapat diskriminasi hingga kekerasan.
Sementara itu,kebanyakan PRT ini adalah perempuan. Mereka sering menerima perlakuan tidak adil hingga marginalisasi. Hal tersebut juga tidak lepas dari peraturan perundangan-undangan tentang PRT belum komprehensif.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) Emmy Astuti mengatakan, RUU Perlindungan PRT akan membuat PRT diakui sebagai pekerja. Hak-hak dasar dan kesejahteraan PRT akan ikut dipertimbangkan dalam RUU ini.
“Untuk menjamin perlindungan dan meningkatkan kualitas hidup PRT, termasuk hak mereka atas pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan skil,” katanya.
Sejauh ini ada beberapa alasan mengapa RUU Perlindungan PRT perlu segera disahkan. Pertama terkait dengan kategori PRT. Menurut Emmy, jika RUU ini disahkan akan ada penggolongan PRT ke dalam dua kelompok, yakni PRT paruh waktu dan penuh waktu.
“Karena lingkup kerja PRT yang luas, kategorisasinya bisa didasarkan pada waktu kerja dan beban kerja,” ungkapnya.
RUU PPRT nantinya akan mengatur perjanjian kerja yang lebih berkekuatan hukum, antara pemberi kerja dengan PRT. Mulai dari upah, tunjangan hari raya (THR), waktu kerja, istirahat mingguan, cuti, pelatihan, hingga usia kerja akan ikut diatur.
“Kita tahu, kebanyakan mereka itu kontrak kerja langsung dengan pemberi kerja. Jadi gak ada standarisasinya,” kata Emmy.
Pendidikan dan Pelatihan bagi PRT juga diakomodir dalam RUU Perlindungan PRT. RUU ini nantinya akan mengatur agar PRT mendapat pendidikan dan pelatihan sebelum bekerja. Selain pendidikan tentang pekerjaannya, mereka juga akan dididik untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan yang berbasiskan perlindungan.
Pendidikan dan pelatihan ini bisa dilakukan secara gratis melalui Balai Latihan Kerja yang difasilitasi oleh pemerintah. “Tiap calon PRT bisa mengakses fasilitas terebut di wilayah asal ataupun di wilayah kerja,” katanya.
Hal lainnya, terkait penyelesaian perselisihan. Nantinya, akan ada dua opsi dalam penyelesaian perselisihan PRT. Pertama lewat musyawarah, dan kedua lewat mediasi. “PRT juga diperbolehkan untuk bergabung dengan serikat pekerja, baik sebagai anggota maupun pengurus,” ujar Emmy.
Pengawasan juga akan terwujud untuk menjamin perlindungan bagi PRT. RUU akan nantinya akan mengatur kewenangan dari Dinas atau Satuan Kerja Perangkat Daerah di bidang Ketenagakerjaan. “Mereka akan dibantu oleh pihak RT/RW setempat,” jelasnya.
Kemudian terkait dengan informasi kerja dan penyedia jasa. Hadirnya RUU Perlindungan PRT akan menjadi sumber informasi kerja yang dipusatkan pada balai latihan. Informasi rencananya akan diatur agar dapat diberikan secara berkala.
Selain itu, penyedia jasa penyalur PRT juga akan dilarang. “Mereka hanya dapat mengelola informasi mengenai permintaan PRT, namun tak boleh merekrut, memberi pendidikan dan pelatihan, serta tak boleh menempatkan PRT,” terangnya.
Terakhir terkait sanksi bagi penyalur yang terbukti melakukan tindak perdagangan manusia. Selain itu, agen penyalur juga akan mendapatkan sanksi jika kedapatan melakukan perdagangan manusia, mempekerjakan dan memalsukan identitas, merotasi, termasuk menyekap PRT.
“Ini alasan terkahir mengapa RUU Perlindungan PRT harus segera disahkan,” tutupnya ***