JAKARTA, ASPPUK –Sebagai salah satu kelompok yang terlibat dalam G20, Civil20 (C20) merupakan penghubung antara masyarakat sipil dengan para pembuat kebijakan di G20 agar suara masyarakat dapat tersampaikan secara lebih efektif.
Direktur Asosiasi Pendampingan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) Emmy Astuti menjelaskan bahwa C20 memiliki beberapa kelompok kerja yang membahas isu-isu yang relevan dan penting, salah satunya adalah Gender Equality Working Group (GEWG).
Working group ini berperan dalam mengawal pengarusutamaan perspektif Gender Equality Disability and Social Inclusion (GEDSI) dalam setiap isu prioritas yang diusung pada presidensi G20. Sejauh ini GEDSI telah memiliki target yang jelas yang disusun di dalam Policy Brief.
Policy Brief adalah hasil analisis terhadap suatu isu strategis dan kebijakan dalam bentuk naskah singkat, untuk meyakinkan policy maker (pembuat kebijakan) agar mengadopsi alternatif pilihan yang diusulkan.
“Khusus terkait Gender Equality Disability and Social Inclusion, kita memiliki target yang telah disusun melalui Policy Brief, diharapkan bisa tercapai,” katanya.
Saat penyusunan Policy Brief, semua dilakukan dengan konsep yang jelas. Tidak bersifat abstrak dan mengawang-ngawang, serta berharap output capaiannya bisa diukur secara pasti.
“Harapannya apa yang kita tuangkan disitu bisa tercapai, seperti isu keadilan ekonomi yang responsif gender atau bagaimana mereka mengadopsi praktik-praktik terbaik dari kelompok perempuan yang selama ini bekerja untuk menghadapi situasi ekonomi global,” paparnya.
Hal senada juga diungkapkan Nanda Dwinta, perwakilan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Menurutnya GEWG telah menghasilkan Policy Brief yang siap diserahkan kepada pemerintah.
Selain itu, GEWG sedang merancang sebuah alat (tools) kerja yang bisa digunakan oleh working group lain. Seperti diketahui, C20 memiliki beberapa kelompok kerja yang membahas sejumlah isu-isu untuk dikawal dalam Presidensi G20.
“Cita-cita kita, hal itu menjadi perspektif dimana semua isu akan menggunakan perpektif gender di dalam rancangan ataupun rekomendasi yang diusulkan,” ungkapnya.
Sejauh ini, working group GEDSI memiliki sejumlah entitas organisasi yang kemampuan dan kapasitasnya berbeda-beda, namun potensi untuk menyumbang pada pencapaian terbaik tetap ada. “Dengan kekhasan organisasi masyarakat dan segala keterbatasannya, kita bisa bekerja bersama-sama,” tegasnya.
Termasuk di dalam kegiatan advokasi GEDSI, Nanda memastikan bahwa agenda yang mereka usung memang terdapat di dalam kerja-kerja organisasi yang menjadi anggota working group.
Perwakilan Institut Kapal Perempuan Justin Gelatik mengamini jika Gender Equality Working Group telah melakukan sejumlah kegiatan, seperti; audiensi, lobi-lobi dan berdiskusi dengan kementerian terkait, termasuk juga dengan working group lainnya.
“Selain berkonsolidasi dengan working group yang ada di C20, kita juga memastikan bahwa perspektif GEDSI ada di working group lain di dalam Civil20,” katanya
Justin menambahkan, “Sekitar bulan lalu kita mengundang Youth20 dan perwakilan engagement lain untuk berdiskusi tentang isu-isu prioritas.”
Sementara itu, Maulani Rotinsulu dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) menegaskan perbedaan GEWG dengan working group lainnya. Menurutnya, GEWG mempertimbangkan berbagai kelompok, tidak hanya antara perempuan dan laki-laki, namun juga kelompok lain yang termarjinalkan, yang seringkali tidak dilibatkan.
“Seharusnya nanti kita juga menampung suara-suara dari kelompok lainnya yang mereka tereksklusikan karena sifat kegenderan mereka,” ungkapnya.
Ketika working group lain hanya fokus terhadap perempuan, GEWG justru fokusnya lebih kepada social inclusion yang mempertimbangkan banyak sekali pihak-pihak yang termajinalkan. “Namun dipastikan bakal ada cross issue yang akan menjadi modal untuk bisa terkoneksi,” katanya.
Selanjutnya, setiap working group di C20 akan memiliki keterkaitan diantara mereka. “Jika tidak memiliki itu, maka pertanyaannya, mengapa kita ngumpul di CSO20 (C20) ini. Pasti ada koneksinya saya pikir untuk saling mendukung dan melengkapi,” ujarnya.
Target Capaian
Nanda Dwinta menjelaskan jika setiap target yang ditetapkan telah dikomunikasikan secara baik di dalam masing-masing working group. Menurutnya, khusus di GEWG, ada empat isu pokok yang menjadi prioritas yakni; mengupayakan keadilan ekonomi keluarga, kepemimpinan perempuan, kesehatan reproduksi dan penghapusan kekerasan seksual, disabilitas.
“Keempat isu itu sebenarnya kita membagi peran di anggota working group agar hal-hal itu menjadi perhatian dan diberikan perhatian khusus oleh pemerintah,” terangnya.
Semua tujuan tersebut, kata Nanda, tidak bisa dibebankan begitu saja kepada CSO (organisasi masyarakat sipil), dan bukan CSO yang berkewajiban mengerjakan hal itu. Tugas mereka hanyalah menyampaikan temuan/ data dari lapangan terkait isu-isu tertentu kepada pemerintah.
“Isu kasus dengan sejumlah temuan dan sejumlah rekomendasi harus dibahas dan didudukkan bersama dengan pemerintah,” ujarnya.
Jika pemerintah tidak memberikan perhatian, imbuh Nanda, “Itu capek aja. Seharusnya tidak begitu. Kita menyisir semua temuan di lapangan, Ini datanya, bagaimana respons pemerintah, mari kita diskusikan bersama.”
Selanjutnya, apa yang menjadi peran publik/ masyarakat, peran pemerintah dengan mandatnya dapat dikolaborsikan secara baik. “Tidak hanya melihat dari apa yang sudah dilakukan CSO saja. Lagi-lagi, karena CSO punya keterbatasan,” katanya.
CSO selama ini memiliki sejumlah keterbatasan, diantaranya terkait dengan cakupan kerja. Akibatnya tidak bisa menjangkau lebih banyak wilayah atau melakukan pendampingan di semua wilayah.
Keterbatasan lainnya terkait dengan pendanaan. “Itu juga catatan. Sementara pemerintah punya keleluasaan dan harusnya peduli dengan data dan rekomendasi yang diberikan oleh masyarakat sipil,” ujarnya.
Target tersebut, menurut Nanda, untuk mengukur sejauh apa perspektif yang diusung GEWG masuk menjadi isu-isu prioritas tidak hanya di masyarakat, namun juga pemerintah.
“Dengan begitu, sudah ada penyadaran, ada perspektif di dalam menyusun rencana program di working group atau di masing-masing organisasi atau kementerian terkait,” ungkapnya.
Lebih jauh, Nanda mengatakan hal itu menjadi bagian dari pengarusutamaan gender yang harus dilihat sebagai perspektif utuh, ketika yang terjadi di lapangan adalah tidak inklusi. Tidak melihat keterlibatan kelompok lain, misalnya. Karena gender bukan hanya dibedakan atas perempuan dan laki-laki.
“Target kami, semua pihak, baik di working group maupun di masyarakat memahami dengan baik isu gender ini,” ujar Nanda sekali lagi.
Sementara itu, Maulani Rotinsulu sangat optimis jika strategi yang dipersiapkan dengan matang dapat mendukung semua target yang ditetapkan. Oleh sebab itu, dia mengusulkan agar CSO yang tergabung di working group harus berani melakukan ekspansi ke luar, yakni menghubungi CSO dari anggota-anggota G20.
“Tidak hanya ngumpul di sesama orang Indonesia, ngomongin isu yang ingin kita angkat supaya menjadi isu mainstream di pembicaraan pemerintah, tetapi juga melobi teman-teman di negara-negara yang menjadi anggota G20,” terangnya.
Menurut dia, anggota GEWG memiliki jaringan yang luas, sehingga pembicaraan tentang isu Gender Equality Disability and Social Inclusion bisa digaungkan di ASEAN dan sejumlah negara Asia lainnya.
“Pada Juni besok, kita akan membawa teman-teman dari ASEAN dan India untuk mempengaruhi negara maju dan handling over hambatan perjuangan kita selama ini,” ucapnya.
Harapannya, dengan standar minimum yang dimiliki, GEWG akan menginklusikan GEDSI di setiap kebijakan G20. Caranya dengan mengajak negara-negara yang tergabung di G20 untuk ikut bersinergi.
“Jika belum berhasil atau barangkali masih ditengah jalan, barangkali bisa di hand over kepada teman-teman di India, mengingat di sana gerakan CSOnya cukup kuat,” papar Maulani.
Hal senada diungkapkan Justin Gelatik. Menurutnya, working group terkait pengarusutamaan perspektif Gender Equality, Disability and Social Inclusion tidak hanya dimiliki oleh Indonesia.
“Kita punya member internasional. Itu yang menjadi suara untuk bisa mengangkat dan menjadikan isu-isu prioritas menjadi lebih kencang lagi. Tidak hanya di bicarakan di Indonesia tetapi di dunia internasional,” ungkapnya.
Sejumlah hal yang telah dilakukan, kata Justin, seperti beraudiensi dengan sejumlah pihak dan melakukan konsultasi pubik. “Itu merupakan cara yang kami pilih untuk terus menyuarakan agar perspektif GEDSI dengan 4 isu prioritas,” ujarnya.
Adapun target tertingginya, masuk di dalam dokumen G20. “Tapi kan, setidaknya di dalam target minimum, isu tersebut selalu dibicarakan. Diangkat dan masuk di dalam forum G20 dan dibicarakan,” paparnya.
Lebih jauh, Justin memastikan bahwa working groupnya akan menghasilkan komunike bersama. Komunike bersama berupa dokumen pernyataan sikap dari setiap working group yang isinya menjadi alat untuk terus menyuarakan isu-isu prioritas.
“Sehingga ada banyak cara yang kita pakai. Selain audiensi, kita menggelar banyak kegiatan. Kita juga melakukan lobi-lobi. Ini merupakan bentuk dari pembagian peran dari anggota working group. Itu yang kita lakukan,” jelasnya.
Nanti sampai puncaknya di November, Justin berharap isu terkait GEDSI akan masuk di dalam pembahasan forum G20.
Nanda Dwinta setuju dengan pemaparan Justin terkait sejumlah hal yang telah dan akan dilakukan. Dia juga optimis, GEDSI akan menjadi pembahasan di forum G20. “Kita menyusunnya dari langkah kecil agar menjadi langkah besar. Kita optimis, tetapi langkah kami pelan-pelan dan punya target supaya dapatnya besar. Semoga sih,” imbuhnya.
Sementara itu, Emmy Astuti menitikberatkan tentang pentingnya kampanye yang dilakukan terus menerus, karena narasi terkait gender equality, disability dan social inclusion tidak hanya berakhir di forum G20.
“Kedepannya kita perlu memperkuat kampanye. Hal itu perlu dilakukan agar narasi gender equality, disability dan social inclusion semakin mendapat banyak dukungan dari publik,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)