Ilustrasi ragam benih lokal. Foto : nationalgeographic.
JAKARTA, ASPPUK – Penggerak pemula dan pendiri Koperasi KOBETA Dewi Hutabarat mengatakan bahwa sejak awal didirikan, Kobeta memiliki relevansi yang besar di dalam konteks merespons atau menghadapi krisis iklim yang terjadi sekarang ini.
Kobeta atau Koperasi Benih Kita Indonesia inisiatifnya berasal dari dua jaringan, yakni komunitas Benih Lokal Berdaulat (BLB) yang merupakan kumpulan para pegiat benih lokal dan jaringan Desa Mandiri Tanpa Korupsi (DMTK) yang didalamnya berkumpul sejumlah aktivis/ pegiat anti korupsi.
“Itu sebabnya di Kobeta ada nama-nama seperti Tri Mumpuni, Prof Erani, Hendri Saragih (SPI), Nurudin (API), hingga Siti Fikriah (aktivis perhutanan sosial). Inisiatifnya timbul karena kepedulian bersama untuk mewujudkan apa yang selama ini didiskusikan. Singkat cerita kita bikin lah Kobeta,” terang Dewi.
Dari para pegiat benih lokal, para pengurus menjadi paham bahwa keberlangsungan spesies manusia, dalam situasi krisis iklim seperti sekarang ini, sangat bertumpu kepada kemampuan alam untuk melestarikan benih-benih lokal.
“Benih lokal sendiri adalah benih yang tumbuh secara alami di alam yang membentuk keanekaragaman,” ujarnya.
Indonesia sendiri merupakan negara dengan keanekeragaman hayati terbesar di dunia. Dengan demikian, Indonesia memiliki modal atau kekayaan berupa keanekaragaman genetika yang sangat melimpah.
“Itu gak banyak diantara kita yang menyadarinya. Menyadari bahwa semua benih unggul yang ada saat ini berasal dari beragam benih lokal yang gennya dirakit sesuai keinginan manusia,” papar Dewi. Gen tersebut diambil dari stok gen yang tersedia di alam.
Misalnya mangga, jika menginginkan ukuran yang sedang, manis, tidak banyak serat, dan dikupas gampang, maka benih lokalnya berasal dari jenis yang berbeda-beda. Baru kemudian gennya direkayasa untuk menghasilkan jenis buah yang diinginkan.
“Jika ingin memiliki benih unggul, maka harus punya gen dasar yang akan diutak-atik atau disilangkan,” ucapnya.
Lestarikan Benih Lokal
Dewi Hutabarat menegaskan bahwa benih lokal adalah benih yang adaptif terhadap iklim setempat. Terbukti, benih tersebut bisa tumbuh dengan baik, yang berarti memiliki kemampuan adaptasi terhadap iklim yang saat ini.
“Gen-gen yang sudah adaptif itu, penting untuk disilangkan, sehingga menghasilkan benih unggul,” kata Dewi.
Seiring iklim yang terus berubah dan percepatannya sangat mengkhawatirkan, maka ketergantungan terhadap alam untuk menyediakan keanekaragaman genetika menjadi begitu besar.
Keanekaragaman itu menjelaskan bahwa dibutuhkan stok gen yang beragam yang bisa dikawin-silangkan di masa depan. Dengan begitu, kebutuhan pangan akan tercukupi, ketika gen yang dimiliki terbukti adaptif terhadap kondisi iklim pada saat itu.
“Itulah mengapa benih lokal merupakan keanekargaman hayati,” tegas Dewi. Bukan hanya dalam konteks sekedar benih lokal, namun proses keanekaragaman hayati yang alami terjadi di alam sudah seharusnya dipelihara dan dipertahankan agar terjadi terus menerus.
“Sehingga sebagai manusia, bisa selalu memanen gen yang memang adaptif terhadap iklim dan bisa nyilang-nyilangin sesuai kebutuhan,” ungkapnya.
Sayangnya hal itu tidak terjadi, karena kepunahan keanekaragaman hayati sedang berlangsung. Temponya begitu cepat. Bahkan Greta Thunberg, seorang aktivis lingkungan telah berkali-kali mengingatkan status darurat biodiversitas.
“Konsen itu yang memicu, maka dibikinlah Kobeta,” terang Dewi.
Namun kemudian, pengurus Kobeta menyadari bahwa menggapai cita-cita itu tidak mudah. Mampu memelihara benih lokal agar bisa ditanam kembali, dan menyediakan benih lokal untuk kebutuhan masyarakat merupakan perkara lain yang saling terkait.
“Akses terhadap benih-benih yang alami agar masyarakat bisa mengakses, itulah mengapa Kobeta ada,” ujarnya.
Setelah berproses, pengurus menyadari bahwa menyediakan benih lokal membutuhkan sumberdaya yang besar, selain waktu dan tenaga. “Kita mau jualan bukan dalam arti komersil, apalagi badan usahanya koperasi. Kita ingin benih lokal tetap bisa ditanam dan masyarakat yang membutuhkannya punya alternatif,” jelas Dewi.
Dia menambahkan, “Beli benih dari pabrikan tidak masalah, tetapi ada alternatif juga benih-benih lokal yang lebih alami. Kita inginnya bisa menyediakan itu.”
Namun keberadaan benih lokal dalam jumlah tertentu dengan mengandalkan jaringan di tingkat tapak, bukan perkara mudah. Di sisi lain, permintaannya tetap tinggi.
“Apa boleh buat, saya harus mengatakan yang sanggup melakukan itu hanya koorporasi besar,” ungkap Dewi.
Meskipun demikian, Kobeta tetap berproses. Mereka menyediakan aneka ragam benih lokal dalam jumlah terbatas, khusus untuk anggota. “Itu pun hanya benih-benih tertentu dan kebetulan dimiliki saja,” katanya.
Melirik Buah Lokal
Indonesia saking kayanya dengan keanekaragaman hayati, menurut Dewi, hal itu membuktikan bahwa kita tidak kekurangan jenis tanaman pangan. Bahkan jika dikhususkan lagi, beragam tanaman holtikultura dan buah-buahan dengan mudah ditemukan.
“Itu kita bisa takjub ketika menyadari betapa kayanya Indonesia. Seperti lagunya Koes plus, nancapin batang jadi tanaman,” ujarnya.
Dia juga menegaskan, “Setiap kali menanam biji, maka gampang sekali tumbuh, sehingga keanekaragaman hayati kita melimpah dan tidak ada batasnya.”
Setelah kurang beruntung dengan benih lokal, Kobeta kini melirik buah-buahan lokal. Hal itu, kata Dwi, masih sejalan dengan konteks memberi akses terhadap masyarakat yang membutuhkan dan upaya pelestarian keanekaragaman hayati.
Buah yang dipilih pun terbilang spesifik, karena Kobeta tidak ingin menangani semua jenis buah yang ada di pasaran.
“Kita lebih spesifik ke alpukat dan nangka. Baru ngurusi dua jenis buah itu saja, tantangannya luar biasa. Selain itu kesempatan yang ada juga luar biasa,” ungkapnya.
Koperasi Kobeta memilih mengembangkan buah alpukat, karena Indonesia memiliki beragam jenis alpukat dengan produksi yang melimpah. Alpukat juga telah dibudidayakan sejak lama, sehingga proses identifikasi lebih mudah dilakukan, meskipun introduksi dari luar (bibit impor) cukup banyak, yang kemudian ditanam di sejumlah daerah.
Hal itu agak berbeda dengan nangka, karena memang jarang dibudidaya. “Belum ngapa-ngapain, karena tidak ada yang membudidayakan. Nyaris tidak ada yang melakukan identifikasi. Pokoknya nangka, nangka aja gitu!” katanya.
Adapun jenis nangka yang berbeda diketahui terdapat di Banyuwangi, dikenal sebagai nangka merah. Ini membuktikan bahwa proses identifikasi belum pernah dilakukan.
“Tak hanya itu, kegiatan distribusi, termasuk promosi dan penjualannya masih menyisakan PR besar,” ujar Dewi. Ini sebagai pertanda bahwa kegiatan di rantai pasok harus dibenahi bersama-sama, termasuk upaya menghasilkan buah yang kualitasnya baik.
Dewi menjelaskan bahwa buah yang berkualitas adalah buah yang tahan terhadap iklim. “Artinya disitu terjadi proses identifikasi, bahwa buah tersebut cocok dengan iklim tertentu. Dia sudah adaptif,” ungkapnya.
Atas dasar itu, Kobeta tidak bisa dikatakan gagal, karena masih berupaya melestarikan keanakeragaman hayati yang tersisa. Jika tadinya ingin mengumpulkan benih lokal, sekarang beralih ke buah lokal.
“Tetapi prosesnya sendiri tetap kita lakukan. Mulai dari identifikasi hingga tahapan selanjutnya. Jadi hulu ke hilir,” ujar Dewi.
Bahkan proses belajarnya melibatkan anggota. Mereka belajar dari para pengepul tentang praktik yang baik saat memetik buah. “Memetik buah itu memerlukan skil tertentu. Termasuk treatment buah dan lainnya, sampai proses pemasaran, itu kita belajar bersama,” ungkapnya.
Ketika Indonesia memiliki keragaman buah yang melimpah, top soil yang baik, disertai curah hujan yang tinggi, seharusnya hal itu menjadikannya sebagai salah satu negara penghasil buah terbesar di dunia.
“Sayangnya, yang menguasai suplai alpukat dunia malah Meksiko, Chile, Amerika dan Australia yang sekarang dikenal sebagai pemasok alpukat dunia,” ujarnya
Mengapa Indonesia tidak berhasil, padahal banyak jenis alpukat yang tersedia. “Yang kecil, yang gede, yang rasanya pulen, yang rasanya seperti kelapa, bahkan rasa seperti kacang, semua tersedia. Pokoknya macam-macam di Indonesia. Masak iya, yang kayak gitu, kita gak bisa?” tanya Dewi.
Sementara jika dikaitkan dengan kesadaran bahwa krisis iklim dan perubahan iklim bukan khayalan, Dewi mengingatkan bahwa Indonesia perlu mempertahankan keanekaragaman hayati yang dimiliki.
“Jangan-jangan nanti generasi ketiga setelah kita, sudah tersiksa dengan kondisi dunia yang kering. Dan itu sudah terjadi di beberapa belahan dunia saat ini, ketika top soil sudah hilang, dan sebagainya,” ungkapnya.
Memilih Koperasi
Dewi Hutabarat menjelaskan mengapa Kobeta memilih bentuk koperasi dan bukannya perseroan terbatas. Menurutnya, karena koperasi sama dengan mendeklarasikan bahwa ada pekerjaan yang harus ditanggung bersama.
“Ini tanggungjawab bersama dan sedang menjalin kekompakan. Spirit itu yang mau kita kembangkan,” katanya.
Bahwasanya nanti, unit-unit usahanya setelah dipertimbangkan ada yang memakai badan usaha berbentuk PT atau berkongsi dengan pihak swasta lainnya, hal itu, menurut Dewi, sangat mungkin terjadi. “Bisa banget,” tegasnya.
Bentuk usaha koperasi, sesungguhnya bentuk badan usaha yang basisnya merupakan kesadaran untuk melakukan sesuatu, demi keuntungan, benefit, dan manfaat kepentingan bersama. “Jadi koperasi itu disitu,” terangnya.
Sementara terkait dengan teknis pengelolaan, unit usaha yang harus profesional, hal itu tetap menjadi pertimbangan dan tetap dijalankan. “Justru itu yang menopang nilai dan prinsip koperasi yang menjunjung tinggi kebersamaan dan kepentingan bersama,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)