JAKARTA, ASPPUK- Salah satu isu penting lainnya dalam agenda G20 adalah perubahan iklim dan transisi energi untuk mengurangi dampak buruk pemanasan global.
“Jika melihat G20 dengan tiga pilarnya, yaitu arsitektur kesehatan, transisi energi dan digital ekonomi, tentunya itu semua sangat kental dan terkait dengan isu gender, apalagi isu perempuan ada di dalamnya,” kata Deputy Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Lenny N. Rosalin pada acara konsultasi publik “Memastikan GEDSI dalam Komitmen Penguatan Ekonomi, Mitigasi Perempuan Iklim dan Energi Transisi dalam Agenda G20” di Jakarta beberapa waktu lalu.
Lenny menjelaskan, perempuan berperan penting dalam mendukung isu transisi energi yang menjadi salah satu pilar Presidensi G20 Indonesia. Terbukti, perempuan merupakan pengguna energi sekaligus berperan sebagai pahlawan energi.
“Kita tahu Indonesia memiliki 74.962 desa dimana pelayanan energi masih relatif lambat. Bahkan di beberapa daerah ditemukan perempuan yang mengumpulkan kayu bakar untuk memasak, dan untuk menerangi rumah mereka,” katanya.
Terkait dengan konsumsi energi rumah tangga, sangat penting untuk mengurangi polusi yang diakibatkan oleh rumah tangga. Hal itu, kata Lenny, penting dilakukan agar konsumsi energi rumah tangga menerapkan prinsip ramah lingkungan
“Disini kita bicara tentang efisiensi yang tidak hanya aman bagi kesehatan, tetapi juga efisien, murah, mudah dijangkau dan tentunya peran perempuan bisa didorong berperan aktif untuk turut menciptakan energi alternatif yang murah dan terjangkau,” ungkapnya.
Lenny menambahkan, “Karena mereka menjadi bagian dari proses yang nantinya didorong untuk menjadi champion lokal.”
Dengan demikian, pemerintah perlu memastikan akses perempuan secara aktif di dalam isu energi yang bersih, terbarukan dan terjangkau. Harapannya, kegiatan itu akan memunculkan multiplier effect yang positif.
“Penggunaan energi bersih di tingkat rumah tangga akan memberikan dampak positif terhadap kesehatan keluarga. Jika ada energi dalam bentuk listrik yang semula anak-anak belajar dengan lampu minyak, misalnya, sekarang dengan listrik, berarti kita memberikan kesempatan anak untuk belajar lebih baik dan berkontribusi pada generasi masa depan,” papar Lenny.
Dengan begitu, hadirnya listrik telah mengurangi waktu bagi para perempuan untuk memperoleh energi. “Misalnya, dia yang semula harus mencari kayu ke hutan, kini tidak perlu lagi. Dia bisa melakukan aktivitas lain,” ujarnya.
Juga dari sisi produktivitas dan mengisi luang, para perempuan bisa memanfaatkannya untuk hal-hal produktif lainnya. “Ini yang didorong untuk menjadikan akses perempuan terhadap berbagai hal yang terkait energi sangat penting,” ujarnya.
Senada dengan itu, Co-Chair Civil 20, Aryanto Nugroho menjelaskan tentang isu transisi energi yang harus dibarengi dengan pendekatan Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya.
Transisi energi yang dikenal sebagai adjust energy transision atau energi yang berkeadilan, menurut Aryanto, berkaitan erat dengan transisi ekonomi. Tak hanya itu, transisi energi akan berkaitan dengan transisi teknologi, transisi sosial, hingga transisi budaya.
Namun jika tidak melakukan transisi energi atau terlambat melakukannya, ditengarai akan berdampak terhadap perubahan iklim. “Jika perubahan iklim terjadi, maka siapa yang paling terdampak? Yang paling terdampak adalah perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya,” terang Aryanto.
Aryanto mencontohkan, dimulainya proyek panel surya sebagai bentuk transisi dari energi fosil menjadi energi terbarukan. Dipastikan kegiatan tersebut membutuhkan teknologi, khususnya baterai lithium yang berasal dari tambang nikel.
“Otomatis akan ada pembukaan tambang nikel disana. Akan ada smelter, akan ada pabrik baterai, akan ada pabrik mobil listrik, misalnya,” kata Aryanto.
Dari semua itu, pihak yang paling rentan terdampak akibat proses transisi energi adalah perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya.
“Sehingga transisi energi membutuhkan pendekatan GEDSI dalam perjalanannya. Ini baru dari sisi kita bicara soal penggunaan solar panel, misalnya,” ucapnya.
Sementara itu, Paradipha perwakilan dari Women20 sangat setuju jika perspektif gender equallity, disability and social inclusion (GEDSI) selalu dibahas dan menjadi prioritas di dalam engagement group dan working group di dalam presidensi G20 Indonesia.
Di dalam perspektif pembangunan berkelanjutan (digagas UNDP) yang didalamnya terdapat isu transisi energi, perempuan seharusnya terlibat secara otomatis, baik sebagai fokus pembahasan, sebagai agen perubahan ataupun pembuat keputusan.
“Oleh karena itu, seharusnya di dalam energi transisi yang adalah isu-isu pembangunan itu sendiri, kita harus selalu mengikutkan dan membawa perempuan dalam pembahasan,” ungkapnya.
Dengan demikian, diskusi-diskusi di forum G20, menurut Paradipha seharusnya menjadikan perspektif GEDSI diusung oleh masing-masing delegasi, termasuk mengulasnya di topik-topik pembahasan.
Hal itu sejalan dengan tujuan utama Women20, yakni meningkatkan partisipasi aktif perempuan dalam perekonomian dunia. Secara umum, tujuan tersebut diturunkan dalam 4 isu prioritas, yaitu: penghapusan diskriminasi dan gender, inklusi ekonomi, perempuan pedesaan dan perempuan penyandang disabilitas dan pelayanan kesehatan yang setara bagi perempuan.
“Jika dukungan dan akses telah setara maka perempuan bisa lebih mudah masuk ke dalam ekosistem perekonomian dunia secara berkelanjutan yang sekarang sedang kita kejar,” katanya.
Dengan begitu, pemberdayaan perempuan menjadi sangat penting dan harus didukung agar perempuan memiliki kemudahan dalam mengakses energi, sehingga nantinya mampu mencapai transisi energi, dengan tetap memperhatikan dampak lingkungan.
“Sudah saatnnya kita selalu bersama – sama untuk menyukseskan program-program gender, khususnya terkait dengan transisi energi,” pungkasnya.***