Ilustrasi perempuan di NTT yang membantu mengurus pemenuhan air baku keluarga. Foto : Antara.
NUSA DUA-BALI, ASPPUK – Perubahan Iklim membuat beban kalangan perempuan di Indonesia kian berat. Sebagian perempuan tak hanya mengerjakan urusan domestik keluarga, tapi juga turut membantu perekonomian keluarga di saat kondisi cuaca yang semakin tak menentu.
Program Manager Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Ayu Rahayu menyampaikan perubahan iklim telah berdampak nyata terhadap kehidupan petani di Indramayu.
Hal itu mengakibatkan Indramayu sebagai lumbung pangan bagi Pulau Jawa terancam mengalami kekurangan pasokan. Selain itu, para petani kebanyakan tidak adaptif dan memiliki daya tahan yang buruk menghadapi iklim yang berubah.
“Petani disana tidak adaptif dan tidak memiliki daya resiliensi yang cukup baik ketika dihadapkan pada kondisi saat ini,” ungkap Hayu saat menjadi pembicara pada sesi diskusi bertajuk “Resiliensi Komunitas Akar Rumut Dalam Merespons Perubahan Iklim dan Sistem Pangan Berkelanjutan” di Nusa Dua, Bali beberapa waktu lalu.
Peristiwa bencana alam, seperti banjir, longsor hingga kekeringan telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap petani. Dampak yang sama juga dialami oleh perempuan, yang juga terlibat di sektor pertanian.
“Saat ini sebanyak 60% penduduk adalah petani. Dari jumlah itu, sebanyak 40% – 80% petani adalah petani perempuan. Bahkan jika pun suaminya petani, si istri ikut berperan penting di pertanian,” ungkap Ayu Rahayu yang akrab disapa Hayu.
Hal itu terlihat nyata di Kampung Darim, salah satu desa dampingannya KRKP. Di desa tersebut, laki-laki lebih banyak terlibat pada kegiatan pengolahan lahan (nyangkul, traktor), sementara perempuan aktif di kegiatan ‘derep” atau panen.
“Tapi secara umum, kegiatannya meliputi membersihkan rumput, masa dari tanam sampai menjelang panen. Di masa itu, perempuan memiliki peran yang sangat besar,” papar Hayu.
Selain itu, Hayu menekankan tentang pentingnya local wisdom atau kearifan lokal dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Karena kearifan lokal diturunkan dari generasi ke generasi, maka sejumlah adaptasi telah dilakukan, utamanya menghadapi perubahan iklim.
“Kearifan lokal lebih bersahabat dengan masyarakat dan alam. Ketika menggunakan kearifan lokal, sebenarnya lebih mudah bagi masyarakat untuk beradaptasi,” tegasnya.
Selama ini, perubahan iklim ditandai dengan perubahan musim tanam atau pun musim panen. Hal itu, menurut Hayu, menjadi beban tersendiri bagi perempuan di pedesaan. “Mereka juga harus memikirkan di rumah makan apa, selain ngurus lahan,” jelasnya.
Situasi sulit itu yang mengakibatkan banyak petani terpaksa mencari peruntungan lain. Ada yang menjadi buruh di kota atau bekerja di sektor lain. Sementara perempuan, tak sedikit yang memilih menjadi pekerja migran di negara lain.
Hal itu diamini oleh Moh. Firdaus yang merupakan staf Ahli ASPPUK. Menurutnya, ketika perempuan bekerja, bukan berarti semua persoalan selesai seketika. “Banyak kemudian rentetan yang terjadi. Itulah yang selama ini disaksikan oleh ASPPUK,” terangnya.
Selama hampir 20 tahun mendampingi masyarakat, ASPPUK menemukan bahwa perempuan yang memulai usaha, ternyata memiliki beban yang bertambah. Beban itu diakibatkan oleh persoalan di rumah tangga yang tidak segera diatasi.
“Meskipun dia seperti dalam tanda kutip, menyelesaikan masalah ekonominya, sering kali kondisi itu diperburuk ketika kesadaran si suami yang merupakan pasangannya kurang bisa berbagi,” ungkap Firdaus.
Firdaus yang kerap disapa Idos juga menjelaskan peran perempuan saat melakukan kegiatan ekonomi ada kaitannya dengan perubahan iklim. Terbukti di banyak daerah, dampak perubahan iklim sangat dirasakan oleh perempuan, karena mereka yang bersinggungan langsung dengan kegiatan produksi.
“Karena itu, di dalam konteks perubahan iklim, perempuan dekat sekali dengan perubahan iklim,” tegasnya.
Lebih jauh, Idos menjelaskan bahwa pada momentum C20 Summit mendorong ASPPUK untuk bersuara tentang pentingnya hak kesehatan reproduksi bagi perempuan. Hal itu ada kaitannya dengan temuan di sektor kelapa sawit, ketika pendekatan yang dilakukan perusahaan disana sangat maskulin.
“Saat ini di industri sawit, cara berpikir dan cara kerja yang male, maskulin itu telah berdampak pada kehidupan masyarakat,” ungkapnya.
Akibatnya, tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan yang bekerja di sektor industri ekstraktif seperti kelapa sawit dan tambang menjadi sangat tinggi.
“Itu terjadi dengan pola kerja yang sangat maskulin, dari pagi sampai sore. Juga ditambah dengan caring ekonomi yang tidak dipahami oleh pasangannya, membuat potensi kekerasan semakin besar,” terang Idos.
Menjawab persoalan itu, ASPPUK hadir dengan ide Fair For All (Adil Untuk Semua). Melalui konsep keadilan untuk semua, perempuan menjadi lebih berdaya dan memiliki posisi tawar yang lebih baik di rumah tangga dan lingkungannya.
Salah satu yang berhasil diinisiasi ASPPUK adalah mengolah tandan kosong sawit yang selama ini dianggap limbah menjadi berbagai produk yang bermanfaat bagi lingkungan.
“Bagaimana ibu-ibu dalam konteks ini memanfaatkan tandan sawit yang selama ini dibuang, ternyata bisa dimanfaatkan untuk pupuk, budidaya jamur dan juga ikan,” jelasnya.
Menurut Idos, hal itu menjadi salah satu inisiatif bagaimana perubahan iklim dapat ditanggulangi melalui inisiatif kecil tanpa harus bergantung kepada pihak lain. Pola-pola inisiatif seperti ini yang juga harus dikembangkan di daerah lain.
Hal serupa juga diutarakan oleh Mutmainnah, perwakilan Komunitas Teras yang banyak melakukan pendampingan di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Menurutnya, perempuan mengalami dampak langsung akibat perubahan iklim di wilayah yang diapit oleh dua industri besar, yakni pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
“Perempuan sangat erat hubungannya dengan perubahan iklim adalah betul,” tegasnya.
Dari beberapa desa yang mereka dampingi, ternyata ditemukan banyak laki-laki yang akhirnya memilih bekerja di sektor tambang. Sementara itu, anak laki-laki usia muda dan orang tua lebih fokus di perkebunan kelapa sawit.
“Akibatnya yang tertinggal dan memiliki relasi langsung dengan alam lebih banyak dilakukan oleh perempuan,” tegas Mutmainnah.
Dari fakta itu, menurut Mutmainnah yang sering dipanggil Cimut, perempuan ternyata lebih banyak terlibat dalam membantu suami di kegiatan pertanian. Sayangnya, keterlibatan perempuan belum dianggap sebagai sebuah pekerjaan.
“Hal itu masih sebagai kegiatan untuk membantu suami saja,” ungkapnya.
Munculnya kesenjangan saat melihat peran penting perempuan di sektor pertanian, menurut Cimut, menjadi pintu masuk bagi Komunitas Teras untuk melakukan pendampingan.
“Kita melihat itu sebagai satu gap yang bisa kita bantu untuk melakukan penguatan. Kita masuk melalui kelompok tani perempuan atau kelompok wanita tani,” terang Cimut.
Hal itu penting dilakukan, karena kegiatan konservasi wilayah untuk adaptasi perubahan iklim kebanyakan dipelopori oleh perempuan. “Itu terjadi karena berhubungan langsung dengan lahan pertanian. Mereka yang mengelola, sehingga cukup banyak yang kita lakukan sebagai bentuk untuk resiliensi dan adaptasi perubahan iklim,” jelasnya.
Dari sisi ekologi, kehadiran industri ekstraktif harus dimaknai sebagai tantangan untuk tumbuh dengan baik. Karena itu, Komunitas Teras berupaya mendampingi dan menyadarkan masyarakat tentang arah yang ingin dicapai.
“Mereka kita sadarkan bahwa mereka diapit oleh dua industri besar. Dan semua itu membuat lahan yang tersedia akan habis dengan sendirinya,” ujar Cimut.
Ketika masyarakat mengalami kekurangan lahan untuk ditanami tanaman pangan (padi atau hortikultura), maka bencana yang sesungguhnya sedang terjadi. Untuk itu, masyarakat harus menentukan sikap sesegera mungkin.
“Mereka mau kemana? Mau dapat dari mana sumber pangannya. Bagus jika ada, meskipun harganya mahal. Namun jika tidak ada sama sekali, maka seperti apa?” papar Cimut.
Cimut menambahkan, “Kondisi itu menjadi alat untuk men-trigger masyarakat untuk memiliki kesadaran bahwa tidak bisa semua lahan ditanami sawit. Tidak bisa semua lahan diberikan kepada industri tambang.”
Jika tidak berbenah, hal itu akan memaksa mereka untuk berpindah ke tempat lain. Di saat bersamaan, kesulitan pangan ikut menghantui. Untuk itu, Komunitas Teras hadir melalui pendekatan tentang pentingnya pupuk organik.
Saat ini, menurut Cimut, tidak bisa dipungkiri bahwa aktivitas pertanian di desa telah memberikan sumbangsih besar terkait dengan degradasi lahan. Hal itu berkaitan dengan penggunaan masif pupuk kimia.
“Mereka dimanjakan dengan iming-iming produksi lebih cepat dan hasil maksimal. Sekarang ini orang lebih suka dengan yang mudah dan cepat,” ungkapnya.
Sayangnya, masyarakat desa tidak menyadari bahwa penggunaan pupuk kimia secara terus menerus dalam kurun waktu 5-10 tahun akan berdampak buruk terhadap kualitas tanah.
“Jika tumbuh mungkin tumbuh, tapi apakah produksinya baik sesuai yang diharapkan, itu yang akhirnya mendorong masyarakat untuk cari lahan lain. Akhirnya merambah hutan lagi,” papar Cimut.
Sehingga jangan heran jika dalam 10 tahun kedepan, akan banyak hutan yang dibabat untuk dijadikan lahan pertanian. Ini tentu berkaitan dengan kualitas tanah yang jenuh. “Ini cukup krusial sebenarnya karena selama ini tidak pernah dihitung,” jelas Cimut.\
Selama ini yang dinilai cuma deforestasi atau perambahan akibat aktivitas tambang dan industri kelapa sawit. Padahal aktivitas pertanian masyarakat juga cukup berpengaruh terhadap kualitas lingkungan.
“Kemudian jika dikaitkan dengan ketangguhan dan adaptasi perubahan iklim, kita akhirnya mengajak kelompok wanita tani untuk melakukan pendekatan baru lewat kalender musim,” ungkapnya.
Kalender musim terkesan hanya untuk menentukan waktu menanam dan panen. Namun lebih jauh dari itu, kalender musim ternyata merupakan alat yang bisa digunakan untuk banyak hal.
“Contohnya kemarin bersama ASPPUK menggagas pembuatan kalender musim. Saat itu kelompok wanita tani akhirnya sadar, karena butuhnya bukan hanya untuk membantu jadwal tanam, tetapi untuk mengindentifikasi musim hujan, hujan ekstrem, kemarau dan kemarau ekstrem kapan,” jelas Cimut.
Menurut Cimut, keberadaan kalender musim terkesan menjadi pesaingnya BMKG, namun hal ini jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat, karena sifatnya yang lokal dan bisa diterapkan dengan mudah.
“Ketika menyadari bahwa lahan pertanian mereka akan tenggelam, misalnya, maka harus bersiap dengan rumah yang akan ikut kebanjiran,” ujarnya.
Dengan demikian, warga juga bisa melakukan sejumlah persiapan, ketika nantinya tidak ada hasil pertanian yang bisa dipanen. “Jadi semua itu lebih terkait dengan yang lain,” tegas Cimut.
Sementara terkait dengan kegiatan alternatif yang bisa dilakukan, menjadi praktik terbaik untuk memperkuat peran perempuan menghadapi perubahan iklim. Pendampingan yang dilakukan Komunitas Teras telah memperkuat ketangguhan masyarakat desa dalam menghadapi perubahan iklim. (Jekson Simanjuntak)