Diskusi people caravan C20. Foto : Jekson Simanjuntak/ASPPUK.
CIREBON, ASPPUK —Salah satu upaya mengurangi dampak perubahan iklim adalah mendorong pembiayaan berkelanjutan. Hal tersebut menjadi isu yang diperjuangkan C20 jelang KTT G20 di Bali November mendatang.
“Kita perlu beralih dari yang sebelumnya ekonomi bersifat business as usual atau ekonomi destruktif menuju ekonomi hijau atau ekonomi yang berkelanjutan,” kata Rico Nurmansyah dari Perkumpulan Prakarsa saat menjadi narasumber pada diskusi C20 Summit People Caravan, di Cirebon beberapa waktu lalu.
Menurutnya, untuk mewujudkan ekonomi hijau, sisi pembiayaan pembangunan juga harus hijau.
Hal itu sejalan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo tentang kebijakan untuk mempensiunkan PLTU. Untuk merespons hal itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah meluncurkan kebijakan terkait Taksonomi Hijau yang merupakan agenda nasional untuk mempercepat transisi energi.
“Transisi dari yang sebelumnya menggunakan batu bara beralih ke energi terbarukan, seperti micro-hidro, tenaga angin, dan sebagainya,” ujar Rico.
Taksonomi Hijau terbagi atas tiga kategori, yakni merah, kuning, dan hijau. Kategori merah menandakan bahwa sektor ekonomi sudah seharusnya dihentikan, dan tidak perlu memperluas usahanya.
“Kalau bisa usahanya berhenti, karena tidak termasuk ke dalam sektor yang berkelanjutan,” ungkapnya. Dipastikan unit usaha tersebut memiliki dampak lingkungan dan dampak sosial yang besar.
Kemudian kategori kuning, merupakan sebuah toleransi. Saat ini, Indonesia mulai melakukan transisi energi dan mencari referensi ke negara luar. “Ternyata mereka (negara maju) hanya memiliki dua kategori, yakni Merah dan Hijau,” katanya.
“Jadi hanya yes or no untuk sektor usaha yang berkelanjutan ataupun tidak berkelanjutan,” imbuh Rico.
Jika mengacu pada negara-negara maju, kehadiran PLTU batu bara seharusnya masuk kategori merah. Namun di Indonesia, unit usaha itu masih masuk kategori kuning.
“Pertimbangannya, demi kebutuhan sumber listrik, meskipun saat ini kita over-suplay. Itu dianggap menjadi kebutuhan yang perlu diproduksi,” ujarnya.
Kemudian, kata dia, PLTU dianggap menjadi pengecualian karena Indonesia baru memulai transisi energi, sebagaimana Kesepakatan Paris.
“Secara tren global, jika diperhatikan, kebanyakan baru melakukan transisi energi. Lalu bagaimana kita mendorong transisi energi terus berlangsung, salah satunya dengan me-ngerem perbankan untuk membiayai PLTU yang menggunakan energi kotor,” jelas Rico.
Hutang luar negeri
Perwakilan Indonesia for Global Justice Audina Permana Putri mengamini pemerintah harus memastikan para investor untuk membiayai proyek-proyek yang berkelanjutan. Secara langsung, hal itu ada kaitannya dengan utang luar negeri dan pajak.
“Semuanya mengarah pada satu poin yaitu keuangan berkelanjutan,” ujarnya.
Dari sisi investor yang menggiring pasar, menurut Audina, bisa dilihat sebagai bagian dari klasifikasi taksonomi hijau. Sementara dari sisi hutang luar negeri, hal itu berkaitan dengan isu PLTU yang ada di Cirebon, misalnya. “Karena seperti kita ketahui, sumberdaya berasal dari kegiatan PLN dan juga bank pembangunan infrastruktur luar negeri, yaitu JBIC asal Jepang,” katanya.
Secara perhitungan kasar, investasi yang dikucurkan di sektor PLTU batu bara sebanyak Rp20 Triliun. Hal itu harus diakui sebagai bentuk pinjaman luar negeri, karena memenuhi sejumlah syarat, seperti pemberi pinjaman berasal dari luar negeri bukan penduduk, dan pembayaran dilakukan menggunakan valas (mata uang asing).
“Jadi, mulai saat ini kita setuju bahwa itu adalah hutang luar negeri,” tegasnya.
Sementara itu, pengalaman diskusi bersama pemerintah, kata Audina, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan Dirjen Penjamin Pinjaman dan Risiko Kemenkeu menjelaskan jika utang luar negeri Indonesia telah menurun.
“Nah, komposisi utang luar negeri itu sering dipakai sebagai bahan politisasi. Ketika jumlahnya menurun, karena kita telah membayar bunga utang dari periode sebelumnya,” terangnya.
Belum lagi, jika diperhatikan pasca krisis global, kenaikan utang luar negeri kita meningkat tajam. Oleh sebab itu, di C20 summit, WG Taxation and Sustainable Finance memiliki dua usulan, yakni transparansi dan akuntabilitas.
“Transparansi penting karena bukan hanya negara yang diberikan pinjaman yang harus transparan, tetapi negara yang memberikan pinjaman juga harus transparan,” papar Audina.
Dia mengajak, “Ayo dong! Jepang katanya di G7 terkenal sebagai pioner UNFCCC atau perjanjian hijau internasional, dimana mereka janji mengurangi emisinya, tetapi mengapa pinjaman masih mengucur di Indonesia.”
Bank-bank pembangunan internasional, seperti ADB, JBIC telah memiliki country system safeguard (CSS) yang merupakan standar dalam memberikan pinjaman yang berkelanjutan. “Tetapi pertanyaannya, mengapa standar yang ada bertolak belakang dengan fakta di lapangan,” ujarnya.
Sementara terkait dengan akuntabilitas, WG Taxation and Sustainable Finance secara tegas meminta agar tidak hanya pemerintah yang bisa mengaudit keuangan atau pinjaman luar negeri. “Namun bisa menggunakan independent audit yang berasal dari masyarakat.” ujarnya.
Masyarakat harus dilibatkan dalam negoisasi utang ketika pemerintah ingin menerapkan prinsip inklusif bagi warganya. “Apakah ini utang dapat disetujui atau tidak. Sehingga tidak hanya dari satu sisi, keuntungan swasta saja,” ungkapnya.
Pajak Karbon
Perwakilan Perkumpulan Prakarsa Panji TN Putra menjelaskan bahwa dari sisi perpajakan, pihaknya mengusulkan agar mitigasi kerusakan lingkungan dapat dikenai pajak karbon.
“Kami mengusulkan bagaimana penerapan pajak karbon dilakukan secara efektif,” jelasnya.
Bagi negara-negara anggota G20, kegiatan negoisasi terkait perpajakan sedang berlangsung. “Sifatnya adalah mandatory dimana setiap anggota G20 memaksa menterinya untuk menerapkan kesepakatan yang dicapai,” ungkap Panji.
Dia menambahkan, “Usulan kami terkait pajak karbon adalah dibentuknya inklusi framework atau kerangka inklusi dari pajak karbon yang secara tegas dan transparan.”
Diketahui proses negoisasi di antara anggota G20 terkait keputusan/ peraturan tentang pajak karbon ternyata tidak seinklusif yang diharapkan.
“Contohnya Indonesia. Pajak karbon yang akan diterapkan pada April 2022, ternyata ditunda dan sampai sekarang kita tidak tahu hal itu kapan diterapkan,” terang Panji.
Kasus lainnya di Jakarta, tentang kebijakan pajak karbon. Ternyata hal itu menjadi bahan evaluasi, bahwa proses implementasi yang awalnya menyasar industri, justru memberatkan masyarakat.
“Di sisi transportasi misalnya, jika kita naik ojek. Itu harusnya gojek yang bayar pajak karbonnya, tetapi beban pajak karbon dikonversi menjadi PPN. Artinya, kita yang bayar, padahal target utama dari kebijakan pajak karbon adalah pelaku industri.”ujarnya.
Dengan demikian, proses negosiasi dari pajak karbon harus dilakukan secara efektif agar tidak memunculkan dampak buruk. Juga dilakukan secara akuntabel dan penerapannya harus adil, baik proses implementasi di industri dan tidak membebankan masyarakat. (Jekson Simanjuntak)