NUSA DUA-BALI, ASPPUK – Koordinator Kelompok Kerja C20 yang membidangi Lingkungan, Keadilan Iklim dan Transisi Energi (ECEWG) Lisa Wijayani menyampaikan kelompoknya memiliki sejumlah masalah prioritas yang akan diusung pada KTT G20 2022 yang akan berlangsung di Bali, medio November 2022.
Hal tersebut disampaikan Lisa saat ditemui di sela-sela acara Civil 20 (C20) Summit 2022 di Hilton Bali Resort beberapa waktu lalu.
Lisa ingin memastikan aksi mitigasi, adaptasi, dan akses energi yang inklusif dan terjangkau dengan berperspektif gender bisa diwujudkan terhadap masyarakat rentan (lansia, pemuda, perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat) dan negara-negara yang rawan bencana iklim.
Lisa menitikberatkan pada pembinaan pelaksanaan pemulihan ekonomi hijau dalam memajukan ketahanan iklim dan mitigasi perubahan iklim melalui berberapa cara diantaranya; meningkatkan cakupan dan aksesibilitas aliran keuangan yang berkelanjutan, mempromosikan pertumbuhan pekerjaan hijau dan mempercepat pelaksanaan pajak karbon sebagai peluang untuk mempercepat pencapaian target Net Zero Emission (NZE).
“Selain itu perlu mempercepat perlindungan dan pemulihan ekosistem vital utama untuk membangun langkah-langkah adaptasi iklim,” ujarnya.
Khusus terkait percepatan transisi dari sumber energi berbasis fosil (batubara) menuju energi terbarukan, menurut Lisa dapat dilakukan melalui tata cara yang inklusif, terdesentralisasi, terukur, dan berkeadilan.
Untuk itu, potensi risiko transisi terkait iklim dan dampak finansial pada sektor perbankan batubara sebagai aset terdampar harus diperhitungkan. “serta penerapan teknologi hijau untuk energi terbarukan,” ungkap Lisa.
Khusus terkait transisi energi, Lisa menekankan tentang perlunya penguatan prinsip-prinsip umum transisi energi G20 untuk mengatasi risiko dalam proses transisi. Sejumlah langkah, tidak hanya terbatas pada percepatan dekarbonisasi untuk menghindari penguncian karbon, namun memberi perlindungan dampak sosial-ekonomi saat melalukan transisi.
“Termasuk menyelaraskan transisi energi dengan kelestarian lingkungan,” ujarnya.
Keadilan Iklim
Pada kesempatan yang sama, perwakilan sub ECEWG terkait forestry and other land use (FOLU) Anggalia Putri menyerukan agar pimpinan G20 mengakui pentingnya keadilan iklim dengan mengarusutamakan prinsip keadilan dalam setiap keputusan yang diambil terkait dengan adaptasi dan mitigasi iklim.
Anggalia yang juga Direktur Program Hutan dan Iklim Yayasan Mandiri Berkelanjuan mendorong negara-negara G20 untuk mengambil tindakan kolektif dalam mempromosikan inisiatif ketahanan iklim dan energi yang dipimpin masyarakat untuk meminimalkan risiko maladaptasi.
Selain itu, Anggalia menuntut, “G20 menetapkan rencana aksi yang didedikasikan untuk meningkatkan adaptasi berbasis ekosistem dengan memastikan inklusivitas, dukungan, dan partisipasi masyarakat.”
Untuk itu, kelompok G20 harus membentuk mekanisme di negara masing-masing untuk melindungi ruang sipil dan menghentikan segala bentuk kekerasan dan kriminalisasi terhadap para pembela lingkungan.
Isu Lingkungan
Di momen C20 Summit 2022, Koordinator Internasional ECEWG Sunwoo Lee asal Korea Selatan mendorong negara-negara G20 untuk mempercepat tindakan dalam mencapai 30% perlindungan darat dan laut pada tahun 2030.
“Termasuk menghentikan hilangnya hutan dan kepunahan spesies dan memperluas cakupan Kawasan Konservasi Laut G20,” ujarnya.
Selain itu, Lee mendesak negara-negara G20 untuk mengimplementasikan komitmen nasional yang dibuat dalam Rencana Aksi Sampah Laut G20 dengan menetapkan kerangka waktu untuk mencapai target pengurangan produksi dan konsumsi plastik.
Pembiayaan
Sunwoo Lee juga mengingatkan kembali agar negara-negara G20 segera memenuhi komitmennya terhadap Perjanjian Paris dan G20 Pittsburgh pada tahun 2009 untuk secara rasional menghapus subsidi bahan bakar fosil.
“Sambil tetap memastikan akses energi yang terjangkau dan andal bagi masyarakat miskin,” ungkapnya.
Negara-negara G20 juga didorong untuk menempatkan mekanisme penetapan harga karbon yang tepat, adil, dan transparan untuk mempercepat pencapaian Net Zero Emission (NZE) pada 2050.
Selain itu, Lee meminta agar negara-negara G20 mempelopori adanya penilaian biaya keuangan akibat kerusakan. Adapun sumberdaya yang disediakan untuk mengatasi kerugian dan kerusakan haruslah tersedia dan tambahan untuk janji pendanaan iklim senilai USD 100 miliar dapat dicairkan melalui hibah atas pinjaman bila memungkinkan. (Jekson Simanjuntak)