Diskusi Perubahan Iklim Summit C20 di Nusa Dua Bali menghadirkan narasumber dari ASPPUK bersama Komunitas Teras dan KRKP. Acara digelar Oxfam Indonesia ini juga disiarakan melalui IG Live pada 7 Oktober 2022. Foto : dok ASPPUK
NUSA DUA, ASPPUK – Pada Pertemuan Puncak C20 di Bali, ASPPUK terlibat aktif dalam mensukses acara tersebut, mulai dari pembahasan komunike C20 terutama terkait dengan GEDWG (Gender Equality And Disability Working Group).
Perwakilan ASPPUK juga terlibat sebagai pembicara di paralel meeting Konferensi Tingkat Tinggi Civil 20 (C20) di Nusa Dua Bali. Selain itu, ASPPUK bersama Komunitas Teras dan KRKP juga terlibat dalam memeriahkan C20 Summit melalui diskusi perubahan iklim yang digelar Oxfam Indonesia yang juga disiarakan melalui IG Live pada 7 Oktober 2022. Diskusi tersebut bertema “Resiliensi Komunitas Akar Rumput Dalam Merespon Perubahan Iklim dan Sistem Pangan Berkelanjutan”.
Berbagai kegiatan tersebut, dimanfaatkan aktivis ASPPUK berbagi pembelajaran menarik tentang kepimpinan perempuan terutama di bidang penguatan ekonomi perempuan pelaku usaha mikro kecil dan berbagai inisiatif ASPPUK dalam penanganan dampak perubahan iklim.
Tim Komunikasi (Tim Com) ASPPUK juga turut membantu disiminasi informasi seputar pelaksanaan acara C20. Mulai dari liputan Road to C20 Summit: People Caravan Roadshow” lintas Jawa-Bali dari 12 September 2022 hingga acara puncak C20 pada tanggal 5-7 Oktober di Bali, Indonesia. Seluruh reportasi tulisan dishare melalui website dan medsos ASPPUK, jejaring media online yang dikelola iMedia.co.id yang selama ini menjadi media partner ASPPUK.
Staf Ahli Sekretariat Nasional Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) Mohammad Firdaus menyampaikan inisiatif yang dilakukan ASPPUK telah berhasil mengatasi berbagai masalah yang dialami perempuan, seperti ketidakadilan ekonomi, kekerasan berbasis gender dan hak kesehatan reproduksi. Salah satunya dengan mendorong hadirnya kepemimpinan perempuan di masyarakat.
Selama ini, kepemimpinan perempuan telah ada, namun jumlahnya masih sedikit. “Itu sebabnya, dalam konteks pemberdayaan perempuan diharapkan tumbuh jiwa kepemimpinan. Bahasa inggrisnya women agency,” kata Firdaus ketika ditemuai disela-sela pertemuan C20 di Nusa Dua Bali beberapa waktu lalu.
Anggota kluster gender and dissability ini menjelaskan kepemimpinan perempuan disini dimaksudkan agar perempuan mampu mempengaruhi kebijakan, mau memberdayakan dirinya untuk berusaha dan memiliki kesadaran kritis.
“Kita mendorong kepemimpinan perempuan di level bawah, karena dengan women agency berbagai persoalan bisa ditanggulangi,” katanya.
Melalui kepemimpinan perempuan (women agency), perempuan menjadi berani untuk bersuara, berani bernegoisasi di rumah tangga, termasuk bernegoisasi dengan aktor-aktor di tingkat desa.
“Misalnya terlibat di Musyawarah Desa (Musdes) untuk merencanakan alokasi dana desa. Jika perempuan tidak terlibat, dia tidak mendapat alokasi dari desa,” papar Firdaus.
Oleh sebab itu, pada Konferensi Tingkat Tinggi Civil 20 di Bali, ASPPUK membagikan praktik baik yang telah dimiliki. ASPPUK berharap inisiatif tersebut bisa direplikasi dan dikembangkan di seluruh daerah di Indonesia.
“Karena dengan kepemimpinan perempuan, nilai keadilan gender akan tumbuh. Dari keluarga, masyarakat hingga level yang lebih tinggi,” ujarnya. Hal itu juga sejalan dengan isu yang diusung oleh GEDWG (Gender Equality And Disability Working Group) yang juga mendorong kepemimpinan perempuan.
Ia menuturkan ketidakadilan jender kerap berkaitan dengan keadilan ekonomi, kekerasan berasis gender, dan hak kesehatan reproduksi. “Jika tidak ada kepemimpinan perempuan, tiga isu itu tidak bisa diselesaikan,” tegasnya.
Keadilan ekonomi, menurut Firdaus adalah ekonomi yang punya afirmasi. Perempuan selama ini tertinggal sehingga perlu ada afirmasi. Untuk itu perlu perlakuan khusus ketika perempuan ingin memulai usaha.
“Karena di kesepakatan terkait gender harus ada target yang dikenal sebagai Brisbane Consensus, dimana usaha-usaha yang dimiliki perempuan harus naik jumlahnya,” paparnya.
Untuk itu, perempuan harus meningkatkan volume dan jumlah usaha yang dimiliki. “Kenaikan itu lagi-lagi harus ada kepemimpinan perempuan di level tapak,” tegasnya.
Sementara terkait dengan kekerasan berbasis gender, hal itu terjadi karena kondisi gender yang tidak adil. Dengan kepemimpinan perempuan, kekerasan bisa diselesaikan dengan baik.
“Untuk itu, perempuan harus berani speak up, berani mengajukan ide. Karena tanpa itu, tidak akan tumbuh ekonominya, jika ia mengalami kekerasan,” terangnya.
Khusus terkait dengan kesehatan reproduksi, menurut Firdaus, hal itu penting untuk dibicarakan, ketika ada kepemimpinan perempuan. Selama ini perempuan tidak berani bersuara, karena sejumlah alasan.
“Disana harus ada kepemimpinan perempuan untuk menghasilkan keputusan terbaik. Misalnya, kapan perempuan akan hamil. Itu kan perlu diatur. Dengan begitu, suaminya akan disadarkan,” ungkap Firdaus.
Dengan pengalaman yang dimiliki, ASPPUK berharap pertemuan C20 menjadi momentum yang tepat untuk mendorong hadirnya kepemimpinan perempuan di level terkecil, yakni keluarga.
Selain itu, ASPPUK mendorong terwujudnya pemberdayaan perempuan. Perempuan perlu mengorganisir diri, termasuk membentuk kelompok untuk membangun kesadaran kritis. Karena dengan berkelompok, posisi tawar menjadi lebih baik, ketimbang berjuang sendirian.
“Itulah mengapa, di setiap pemberdayaan perempuan, ASPPUK selalu menggunakan strategi pengorganisasian di level bawah,” pungkasnya (Jacko/Wan)