Ilustrasi kondisi pengungsi di Afganistan akibat perang dan situasinya diperburuk oleh perubahan iklim.
NUSA DUA – ASPPUK — Perwakilan Oxfam Asia Sunil Acharya menyampaikan krisis iklim secara global telah mendatangkan malapetaka pada komunitas miskin di seluruh dunia.
Sementara itu, negara-negara kaya (G20) seharusnya ikut bertanggungjawab, karena mereka menyumbang 80% dari emisi GRK secara global.
“Negara kaya bertanggung jawab secara tidak proporsional dan mereka tidak memenuhi bagian mereka yang adil, meskipun dijanjikan berulang kali,” ujar Sunil saat menjadi pembicara pada diskusi “Broken Promises; The Reality of Climate Finance and Urgent Need to Fix It” di Bali beberapa waktu lalu.
Untuk itu, negara maju harus mampu menjaga agar kenaikan suhu Bumi tidak melebihi 2,7ºC yang dianggap oleh peneliti sebagai bencana terbesar pada akhir abad ini.
“Gagal bertindak akan menciptakan krisis hak asasi manusia dan krisis ketidaksetaraan,” ungkapnya.
Untuk itu, pendanaan sangat diperlukan untuk mengatasi krisis iklim, mengurangi emisi, dan mendukung masyarakat untuk beradaptasi, serta membantu mereka pulih dan bangkit kembali.
“Pembiayaan sangat diperlukan untuk mengatasi krisis iklim,” terang Sunil.
Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) yang merupakan panel ilmiah dari para ilmuwan di seluruh dunia dalam laporannya secara tegas mengatakan bahwa masyarakat harus mampu beradaptasi sebagai upaya mengatasi pemanasan global.
“Dan untuk itu dibutuhkan dana yang besar,” katanya.
Secara umum, perkiraan pendanaan iklim yang dibutuhkan untuk negara berkembang bervariasi. Standing Committee on Finance (SCF) – UNFCCC pada 2021 mengatakan bahwa diperlukan dana untuk kegiatan yang digariskan dalam rencana iklim resmi sebesar US$5,8 – 5,9 triliun hingga tahun 2030.
Sementara itu UN Environment Programme (UNEP) (2021) menyebut biaya adaptasi perubahan iklim mencapai US$155 -330 juta pada tahun 2030. “Jumlah itu diperkirakan akan meningkat menjadi US$310 – 555bn pada tahun 2050,” ujarnya.
Adapun biaya kerugian dan kerusakan merujuk pada jurnal Markandya & Gonzalez – Eguino (2019) diperkirakan mencapai US$116 – 435 miliar pada tahun 2020. Diproyeksikan jumlahnya naik US$1 – 1,8 triliun pada pertengahan abad ini.
“Oleh sebab itu janji pembiayaan US$100 miliar sangat kecil dibandingkan dengan investasi yang dibutuhkan,” tegas Sunil.
Kendati demikian, masih ada sejumlah cara untuk mengatasi hal tersebut, diantaranya; meminta negara-negara maju untuk bertanggungjawab terhadap pemanasan global dengan meningkatkan pembiayaan iklim global.
Selain itu, perlu meningkatkan pendanaan adaptasi berbasis hibah, terutama bagi mereka yang paling rentan dan paling tidak siap menghadapi risiko iklim. “Menyampaikan penggandaan dana adaptasi seperti yang dilakukan di Glasgow, juga harus dilakukan,” ujarnya.
Kesenjangan Finansial di Sektor AFOLU
Knowledge Management Manager Yayasan Madani Berkelanjutan Anggalia Putri Permatasari membenarkan bahwa kesenjangan finansial untuk mewujudkan potensi mitigasi dan adaptasi di sektor Agricultural, Forestry and Other Land Use (AFOLU) secara global sangat besar.
“Yang dibutuhkan mencapai USD400 miliar/ tahun, sementara yang tersedia saat ini USD 0,7 miliar/tahun,” ungkapnya.
Anggalia menyebut sektor kehutanan dan tata guna lahan merupakan sektor yang masih berupaya untuk mencapai target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC). Untuk itu diperlukan distribusi beban mitigasi bersyarat dalam NDC yang perlu ditingkatkan
“Sepanjang tahun 2018 – 2030 diperlukan USD285 miliar untuk target NDC bersyarat di semua sektor,” katanya.
Dalam konteks kerentanan yang lebih tinggi, diperlukan dukungan yang jauh lebih besar untuk kegiatan adaptasi. “Diperkirakan potensi kerugian mencapai USD38 miliar akibat perubahan iklim. Sementara itu, kebutuhan pendanaan baru USD11,4 miliar untuk mengimplementasikan peta jalan adaptasi NDC,” ujar Anggalia.
Sejauh ini, Indonesia baru memenuhi 34% dari dana yang diperlukan untuk mengimplementasikan roadmap adaptasi NDC. Dana tersebut digunakan untuk membiayai dua program nasional yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat agar mendapat dukungan dan koherensi yang lebih besar.
Program tersebut adalah program Perhutanan Sosial yang merupakan akses kelola masyarakat yang diimplementasikan melalui lima skema, yaitu: Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), dan Kemitraan.
“Sepanjang perjalanannya, program Perhutanan Sosial dianggap strategi kunci untuk mencapai Indonesia FOLU net sink 2030,” ujarnya. Program ini dianggap mampu untuk mencapai ketahanan ekosistem dan lanskap di NDC.
Program berikutnya adalah Program Kampung Iklim (Proklim). Program nasional ini diharapkan mampu memperkuat kapasitas adaptif dan pengurangan emisi di tingkat tapak dengan fokus pada partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.
Menurut Anggalia, pelaksanaan Perhutanan Sosial dan Proklim telah membuka beberapa peluang ekonomi bagi masyarakat lokal. Hal itu bisa dilihat dari dukungan pemerintah daerah untuk menyalurkan dana desa dalam perhutanan sosial.
Hal lainnya, terbangunnya kerjasama dengan BUMDes untuk memperluas pemasaran produk, dukungan perangkat bisnis dari pemerintah di daerah hingga mobilisasi pemuda untuk kegiatan pengembangan bisnis.
Kegiatan itu, membuktikan bahwa tanpa investasi dalam memfasilitasi proses sosial dan membangun kapasitas kelembagaan masyarakat, maka tidak ada aksi iklim di tingkat akar rumput yang layak dan berkelanjutan.
“Sumber daya untuk memfasilitasi proses masyarakat berpartisipasi tersebar sangat kecil dan tindakan ini mungkin tidak akan memberikan hasil iklim dalam jangka pendek,” terangnya.
Membangun Ketahanan di Garis Depan
Perwakilan Global Network for Disaster Risk Reduction (GNDR) Hepi Rahmawati membeberkan tentang pentingnya mengurangi risiko bencana di masyarakat rentan. Hal itu terangkum dalam laporan terbaru GNDR bertajuk “Views from the Frontline” yang memberi rekomendasi tentang upanya mengurangi risiko bencana di seluruh dunia.
“Rekomendasi telah diinformasikan melalui wawancara dengan lebih dari 100.000 orang yang tinggal dan bekerja di 750 komunitas yang berisiko bencana,” ungkapnya.
Saat survei dilakukan, GNDR menemukan bahwa sebanyak 84 aktor lokal telah terlibat untuk mengatasi dan mengakses ancaman dengan mempersiapkan kebijakan dan rencana, termasuk mengambil aksi untuk mengurangi ancaman tersebut.
“Ini merupakan pengecualian dari meningkatnya masyarakat rentan dimana mereka tidak menyadari nilai dari informasi yang seharusnya bisa mereka akses sebelum dan selama bencana terjadi,” kata Hepi.
Selain kisah dari komunitas, laporan juga berbicara tentang pemerintahan setempat. Hasilnya cukup mengagetkan, bahwa 50% pemerintah lokal telah merespons dengan mengatakan mereka tidak memiliki mekanisme yang legal untuk melakukan fasilitasi dan perjanjian bagi pembangunan komunitas yang tangguh.
Selain itu, sebanyak 60% responden yang merupakan anggota komunitas dan juga 47% dari pemerintah lokal menganggap local investment project tidak mempertimbangkan risiko lokal. “Sehingga tidak ada pengetahuan tentang pengembangan risiko,” katanya.
Komunitas juga mengakui jika mereka tidak memiliki akses langsung terhadap pendanaan untuk menghasilkan ketangguhan seperti yang diinginkan. “Ini yang mengakibatkan mereka kesulitan mengakses dana yang dibutuhkan,” tegas Hepi.
Bahkan terkait dengan penggunaan anggaran bencana yang telah dialokasikan oleh pemerintah lokal, komunitas sering memiliki kekurangan terkait dengan kompetensi dan sumberdaya untuk menyalurkan dana bencana tersebut.
Khusus di Indonesia, pendanaan untuk adaptasi dan kerugian dan kerusakan disalurkan melalui kebijakan nasional, seperti Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) dan Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC).
Adapun pembiayaan publik dan swasta sebaiknya diarahkan ke tingkat lokal. Pengambilan keputusan tentang bagaimana pembiayaan dibelanjakan harus didorong dari tingkat lokal.
“Dipandu oleh pengetahuan dan keahlian lokal dari mereka yang berada di garis depan risiko iklim,” ungkapnya
Serta tidak ketinggalan memberdayakan organisasi masyarakat sipil demi memperkuat aksi iklim yang efektif di lapangan. Organisasi masyarakat sipil (CSO) memiliki peran dalam mengkoordinasikan tindakan adaptasi dan kehilangan dan kerusakan secara efektif.
CSO juga harus dilibatkan dalam negosiasi, pengambilan keputusan, dan implementasi di semua tingkatan. “CSO harus mendapat manfaat dari dukungan keuangan untuk memberdayakan masyarakat lokal dalam proses peralihan kekuasaan dan pembangunan kapasitas,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)