Aksi aktivis lingkungan yang menyerukan penanganan krisis iklim di forum G20. Foto : lppmsintesa
JAKARTA, ASPPUK – Perwakilan Sub WG AFOLU dan Right Anggalia Putri menyerukan pemimpin dunia terutama pemimpin G20 harus mendengarkan, tidak hanya suara yang mewakili pemerintah dan sektor bisnis, tetapi juga proposal dan tuntutan masyarakat sipil terutama terkait keadilan iklim.
“Tujuannya untuk melindungi lingkungan, mempromosikan pembangunan sosial dan ekonomi, hak asasi manusia, dan prinsip tidak meninggalkan yang lain,” ujarnya pada sesi diskusi Calling for Environmental and Climate Justice in G20 yang digelar oleh Sub WG AFOLU and Rights di Jakarta beberapa waktu lalu.
Anggalia mengingatkan krisis iklim telah melipatgandakan ketidakadilan, sehingga perlu untuk menjaga agar tidak terjadi kenaikan suhu 1,5C. Untuk itu, sejumlah hal perlu diperhatikan, seperti; emisi puncak sebaiknya sebelum tahun 2025. Lalu kurangi emisi separuhnya di tahun 2030, termasuk emisi metana hingga sepertiga. Kemudian di tahun 2050 harus mencapai netral karbon.
“Meningkatkan ambisi berdasarkan utang historis dan Common But Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities (CBDR-RC) adalah kunci dalam mencapai keadilan iklim,” ungkapnya.
Prinsip keadilan iklim merupakan kepentingan bersama bagi negara-negara berkembang. Konsep itu telah dicatat sebagai Pakta Iklim Glasgow 2021. Oleh sebab itu, Anggalia menyebut prinsip keadilan iklim harus diakui dan disahkan dalam Komunike Menteri tentang Lingkungan, dan Iklim, dan Keberlanjutan.
“Juga harus masuk dalam pembahasan G20 Leaders Bali Declaration,” katanya.
The Agriculture, Forestry and Other Land Use (AFOLU) menjadi bagian penting yang harus dimasukkan dalam pembahasan G20 terkait iklim dan lingkungan. Pasalnya, negara-negara G20 bertanggung jawab atas sekitar 75% GRK global, termasuk perubahan penggunaan lahan dan hutan.
Data FAO (2020) tentang Penilaian Sumber Daya Hutan Global menyebutkan bahwa sejak tahun 2015-2020, negara-negara G20 telah kehilangan sedikitnya 3,7 juta hektar kawasan hutan per tahun.
Sementara itu, perlindungan dan restorasi hutan, termasuk ekosistem lainnya memberikan potensi mitigasi terbesar, yakni hemat biaya di sektor AFOLU.
Potensi mitigasi AFOLU 2020-2050 dapat dicapai melalui peningkatan perlindungan pengelolaan, restorasi hutan, lahan gambut, lahan basah pesisir, savana, dan padang rumput. Diperkirakan besarannya mencapai 7.3 GtCO2e.
Sementara itu, peningkatan pengelolaan lahan pertanian dan padang rumput, agroforestri, biochar, budidaya padi, nutrisi, dan pengelolaan ternak diharapkan mampu menyerap 4.0 GtCO2e.
Selain itu, mengurangi limbah makanan, menerapkan pola makan sehat, konstruksi kayu, biokimia, bio tekstil turut andil untuk mengurangi emisi GRK. Hanya saja, hal itu tidak bisa mengimbangi pengurangan emisi yang tertunda di sektor lain.
Terbatasnya keuangan, kata Anggalia, menjadi hal lain yang merupakan penghalang untuk mencapai potensi mitigasi sektor AFOLU. “Diharapkan, mobilisasi sumber daya melalui tindakan bersama G20 dapat membantu memperbaiki hal ini,” ujarnya.
Kemudian penting untuk memahami bahwa besaran uang yang dibelanjakan sebesar 0,7 USD miliar/tahun. Sedangkan jumlah yang dibutuhkan mencapai 400 USD miliar/tahun. “Hal itu merupakan temuan di laporan terbaru PCC AR6 WG III, SPM 2022,” katanya.
Komitmen G20 tentang AFOLU
Sebagai bentuk komitmen G20 tentang AFOLU, Anggalia mengingatkan untuk menjaga keanekaragaman hayati dan ekosistem alam. Oleh karena itu, Indonesia dituntut untuk menghentikan dan membalikkan hilangnya keanekaragaman hayati pada tahun 2030.
Pemerintah juga perlu meningkatkan implementasi solusi berbasis alam atau pendekatan berbasis ekosistem secara inklusif dan melalui partisipasi Indigenous Peoples and Local Communities (IPLC).
“Hal lainnya dengan menanam 1 triliun pohon secara kolektif, dengan fokus pada ekosistem yang paling rusak,” terangnya.
Tak hanya itu, perlu untuk mengupayakan terjaminnya konservasi, perlindungan, dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Termasuk memerangi pembalakan liar, penambangan ilegal, perdagangan satwa liar ilegal, dan pergerakan serta pembuangan limbah dan zat berbahaya secara ilegal.
Pemerintah juga harus berkomitmen untuk mengambil tindakan lebih lanjut pada dekade ini untuk merumuskan, menerapkan, memperbarui, dan meningkatkan Nationally determined contributions (NDC).
“Jika perlu, NDC 2030, dan merumuskan strategi jangka panjang,” ujarnya.
Khusus terkait maraknya degradasi lahan, Anggalia meminta warga agar mendukung Ikrar para pemimpin terkait dengan kelestarian alam dengan memastikan 30% daratan dan laut lestari di tahun 2030.
Kemudian perlu upaya untuk mencapai netralitas degradasi lahan pada tahun 2030, serta menegaskan kembali ambisi bersama untuk mencapai pengurangan 50% lahan terdegradasi pada tahun 2040 secara sukarela.
“Juga penting untuk merancang strategi implementasi pada Inisiatif Global G20 tentang pengurangan degradasi lahan dan meningkatkan konservasi habitat terestrial,” ungkapnya.
Restorasi Mangrove dan Gambut
Restorasi gambut dan mangrove menjadi hal penting lainnya, karena aturan telah dikeluarkan oleh Presidenan Indonesia. “Menghentikan hilangnya lahan gambut dan mangrove yang ada serta hutan alam yang tersisa juga harus ditekan,” ucap Anggalia.
Selanjutnya perlu meningkatkan tindakan berbasis darat dan laut untuk melindungi sejumlah sumberdaya yang tersisa. Data menunjukkan bahwa 5 negara G20 teratas telah kehilangan tutupan pohon sejak 2001 hingga 2020, meliputi: Rusia 69.50 juta Ha, Brasil 59,80 juta Ha, Kanada: 44.10 juta Ha, AS: 42,20 juta Ha dan Indonesia 27,70 juta Ha.
“5 anggota G20 berkontribusi terhadap hilangnya tutupan pohon sebesar 87%, jika dikurangi Uni Eropa,” ujarnya.
Sementara itu, Laporan IPCC menyoroti bahwa hutan tropis masih mengalami kerugian, dimana banyak negara mengalami kehilangan hutan primer di tahun 2020. Negara-negara itu meliputi; Brasil, Cina, Bolivia, Indonesia, Peru dan Kolumbia.
Selain itu, penting untuk memerangi perdagangan satwa liar. Hal itu akan membantu untuk menghentikan kepunahan spesies.
Pengakuan dan perlindungan hak tenurial masyarakat adat
Anggalia mengingatkan bahwa pengakuan dan perlindungan hak tenurial masyarakat adat harus menjadi bagian dari kesepakatan dalam semua tindakan berbasis darat dan laut, pemulihan berkelanjutan, dan mobilisasi sumber daya alam.
“G20 harus berusaha menutup kesenjangan ganda, yakni kesenjangan dalam pengakuan,” katanya.
Fakta menunjukkan bahwa setengah dari lahan di dunia dikaitkan dengan klaim ‘penggunaan tanah adat’, tetapi hanya 10% yang secara hukum berada di bawah kepemilikan masyarakat dan adat.
Kesenjangan dalam pembiayaan juga kerap terjadi. Proyek-proyek yang mendukung tenurial dan pengelolaan hutan menerima dana yang kurang dari 1% untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sejak 2011 hingga 2021.
Selama ini, masyarakat adat dan masyarakat pemegang hak atas tanah melakukan tingkat deforestasi yang lebih rendah. Mereka mampu menyimpan lebih banyak karbon, dan menyimpan lebih banyak keanekaragaman hayati daripada tanah yang dikelola oleh pemerintah atau entitas swasta.
“Sayangnya, mereka hanya memiliki sedikit hak, sementara negara memiliki 73% dari seluruh hutan secara global,” ungkap Anggalia.
Dukungan Adaptasi berbasis ekosistem
Anggalia menegaskan, perlu upaya lebih keras untuk meningkatkan dukungan terkait adaptasi berbasis ekosistem untuk membantu mereka yang paling rentan. Setidaknya ada 3,3 – 3,6 miliar penduduk yang hidup dalam konteks sangat rentan terhadap perubahan iklim.
“Pendekatan berbasis ekosistem merupakan adaptasi yang efisien dan berkelanjutan terhadap perubahan iklim, meskipun pendanaannya kurang,” ujarnya. Bahkan, ditemukan sebanyak tiga perempat deforestasi di daerah tropis didorong oleh aktivitas pertanian.
Sementara terkait peningkatan dukungan terhadap pertanian berkelanjutan berbasis kearifan lokal, bisa dilakukan dengan cara mempromosikan agroekologi ketimbang pertanian industri monokultur.
Melindungi benih petani, pengetahuan tradisional masyarakat adat, dan praktik pertanian berbasis kearifan lokal sangat penting untuk mencapai ketahanan pangan dan kedaulatan pangan.
“Termasuk memajukan hak-hak petani, masyarakat adat, dan pekerja,” ujarnya.
Tak hanya itu, Anggalia meminta dihentikannya segala bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap para pembela lingkungan. Pasalnya sejak 2017-2018, sebanyak 290 pembela lingkungan terbunuh karena melindungi tanah mereka dan sumber daya alam yang memberi mereka kehidupan.
Pun tak kalah penting untuk melindungi alam melalui transisi energi. Sudah saatnya konsumsi mineral diarahkan untuk membangun teknologi energi terbarukan yang diperkirakan dapat meningkat enam kali lipat pada tahun 2050.
“Sebagian besar proyek mineral dan transisi energi dunia berlokasi di atau dekat masyarakat adat atau tanah petani dengan kondisi yang merugikan untuk perizinan, konsultasi, dan persetujuan yang sesuai dengan hak asasi manusia,” papar Anggalia.
Seruan untuk pemimpin G20
Selaku perwakilan Sub WG AFOLU dan Right Anggalia Putri menyerukan beberapa hal penting kepada para pemimpin G20, diantaranya; mengadopsi komitmen untuk memastikan pembentukan sistem yang melibatkan masyarakat, terutama masyarakat rentan.
“Dalam setiap program dan proyek pembangunan, perlu meningkatkan akses informasi dan pengambilan keputusan,” katanya.
Para pemimpin G20 diminta mengadopsi komitmen untuk menghentikan konversi hutan alam, lahan gambut, padang rumput, dan ekosistem keanekaragaman hayati lainnya.
“Juga mengadopsi rencana aksi untuk menghentikan kepunahan spesies dengan memerangi perdagangan ilegal satwa liar dan perusakan habitat,” terangnya.
Pemimpin G20 juga perlu mengadopsi rencana aksi untuk mempercepat pengakuan wilayah dan hak masyarakat adat dan komunitas lokal atas sumber daya alam, termasuk dengan membuat undang-undang tentang masyarakat adat di negara-negara G20 ****