Ilustrasi perempuan perajin batik. Foto : kawulaindonesia.com
JAKARTA, ASPPUK – Sektor usaha kecil mikro yang didominasi kalangan perempuan berperan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, namun mereka juga rentan mengalami tindak kekerasan.
“Banyak sekali perempuan bekerja di sektor usaha kecil mikro. Misalnya mereka menjual gorengan dan sebagainya. Itu adalah usaha kecil mikro yang mereka jalankan,” ujar Program Officer ASPPUK Martina Rahmadani.
Merujuk hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2020, Titin menyebut sebanyak 61,35 persen pekerja perempuan bekerja di sektor informal. Pekerjaan di sektor informal sendiri memiliki dimensi yang sangat luas.
“Sebanyak 61,35 persen atau sekitar 6 dari 10 pekerja perempuan bekerja di sektor informal,” ucapnya Martina yang akrab disapa Titin dalam Live Instagram bertajuk “Women’s Talk I: Pekerja Perempuan dalam Sektor Informal”, Jumat (2/12/2022)
Para pekerja perempuan itu mendominasi pada beberapa sektor pekerjaan, diantaranya, sektor pertanian, kehutanan, perdagangan serta industri pengolahan hingga UMKM.
“Ini kabar bahagia bahwa perempuan sekarang sudah ikut serta dalam proses kegiatan ekonomi dan telah memiliki ruang akses yang baik untuk melakukan pengembangan diri dan meningkatkan skil,” ungkap Titin.
Namun perempuan yang bekerja di sektor informal ternyata memiliki sejumlah kerentanan, terutama terkait pemenuhan hak-hak mereka. Selain itu, perempuan juga rentan terhadap tindak kekerasan.
Saat ini, kata Titin, masih banyak perempuan yang merupakan pekerja informal belum mendapatkan haknya sebagai pekerja. “Misalnya, hak cuti haid, cuti melahirkan, padahal ada masa dimana mereka harus beristirahat,” terangnya.
Bahkan, upah yang sesuai UMR, terkadang tidak didapatkan oleh para perempuan yang bekerja di sektor informal. Hal lainnya, terkait dengan jaminan sosial dan jaminan kesehatan.
“Termasuk jaminan-jaminan lain belum diberikan, karena mereka (pemberi kerja) beranggapan bahwa perempuan itu bukan pencari nafkah utama,” tegas Titin.
Hal itu mengakibatkan banyak perempuan yang bekerja di sektor informal tidak berani menuntut lebih. Mereka cenderung diam dan pasrah dengan upah yang diterima.
“Mereka beranggapan bahwa gaji segini cukup kali, karena hanya bertugas sebagai penopang ekonomi dan yang mencari nafkah utama adalah laki-laki,” paparnya
Selain itu, perempuan juga rentan terhadap kekerasan, baik kekerasan seksual maupun kekerasan fisik. “Misalnya kemarin saya melihat beberapa kasus yang menimpa asisten rumah tangga. Ada yang dipukuli, disetrika. Itu menunjukkan bahwa sebenarnya perlindungan itu harus ada,”ungkapnya.
Hal serupa juga diungkapkan Arum Romzanah, Pengurus SPRT Rumpun Tangsel – Jala PRT. Menurutnya, Pembantu Rumah Tangga (PRT) belum diakui sebagai pekerja, padahal kegiatan PRT memenuhi unsur sebagai pekerja.
“Tidak diakui sebagai pekerja bukti dari tidak adanya perlindungan hukum dari negara. Sementara itu, di dalam UU ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 tidak spesifik menyangkut PRT. Itu sebabnya kita merasa dikecualikan dari UU tersebut,” ungkap Arum yang juga berprofesi sebagai PRT.
Menurut Arum, tidak diakuinya PRT sebagai pekerja menimbulkan sisi negatif yang sangat besar, baik bagi PRT yang bekerja di Indonesia, maupun di luar negeri. Hal itu mengakibatkan PRT mengalami pelanggaran hak, upah yang tidak sesuai perjanjian, termasuk adanya pekerja yang tidak menerima upah.
“Ada juga PRT yang dipotong dengan berbagai alaasan. Itu sudah masuk pada pelanggaran hak,” ungkapnya.
Tak hanya itu, kerap ditemukan PRT yang mengalami berbagai bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, hingga ekonomi. Bahkan, tak jarang ditemukan adanya praktik perbudakan modern serta trafficking (penjualan manusia) yang dilakukan oleh pihak tertentu.
“Bisa melalui penyalur-penyalur yang tidak bertanggungjawab, baik penyalur melalui yayasan atau penyalur pribadi. Itu banyak terjadi kepada PRT,” ungkapnya.
Ketimpangan gender
Saat ini, menurut Arum Romzanah ketimpangan gender di dunia PRT sangat nyata. Hal itu bisa dibuktikan, dari tidak diberikannya jatah cuti haid, cuti hamil dan melahirkan.
“Sejauh ini yang saya dengar belum pernah ada PRT di Indonesia yang mendapatkan cuti tersebut,” tegasnya.
Yang terjadi adalah, PRT yang mengalami nyeri haid pada hari pertama dan kedua tetap dipaksa bekerja seperti biasa. “Tidak dikasih libur. Kemudian membeli obat-obatan penghilang nyeri, PRT tetap mengeluarkan uang pribadinya,” jelasnya.
Bahkan, jika ada PRT yang hamil, biasanya akan diberhentikan sementara sampai proses melahirkan. Setelah anaknya berusia beberapa bulan, baru diperbolehkan bekerja kembali. Selama diberhentikan sementara, PRT tidak mendapat upah.
Ketika mereka kembali bekerja, biasanya sistem penggajian dimulai dari awal, persis seperti saat pertama kali mereka bekerja. Ini menyebabkan terjadi penurunan upah, padahal banyak PRT yang telah bekerja cukup lama.
Selain itu, PRT yang telah melahirkan tidak diperbolehkan membawa anaknya ke rumah majikan. “Itu khusus untuk PRT yang pulang pergi. Apalagi yang menginap, sudah pasti tidak diperbolehkan membawa anak,” jelas Arum.
Kondisi itu belum terlalu buruk. Pasalnya, banyak kejadian, ketika majikan mengetahui bahwa PRT-nya hamil, mereka di PHK secara sepihak tanpa ada diskusi sedikit pun. “Tanpa diberi pesangon, atau uang lainnya, itu tidak,” ungkapnya.
Ketimpangan gender, menurut Arum sangat berpengaruh ketika PRT memiliki anak balita. Biasanya, sulit bagi mereka untuk kembali mencari pekerjaan sebagai ART. Peluangnya sangat minim. “Bahkan waktu hamil pun susah. Karena saya pernah mengalami sendiri,” tegasnya.
Selain itu, budaya patriarki menyebabkan PRT mengalami beban ganda. Ketika di tempat kerja mereka harus bekerja keras, sesampainya di rumah, mereka juga harus menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga.
“Apalagi bagi mereka yang budaya patriarkinya masih kental, anak laki-laki tidak boleh mengerjakan pekerjaan rumah. Suami juga tidak boleh, karena laki-laki,” ujarnya.
Apa yang dialami oleh PRT diakui oleh Titin sebagai sebuah fakta yang terjadi di masyarakat. Bahkan, apa yang dialami oleh PRT ternyata dirasakan juga oleh banyak perempuan yang bekerja sektor informal. “Budaya kita yang kental dengan patriarki membuat ketimpangan gender semakin nyata,” ujarnya.
Lebih jauh, Titin mengungkapkan dari sisi pengupahan, termasuk di sektor informal, ternyata terjadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Hal itu terjadi karena pemberi kerja beranggapan bahwa perempuan merupakan warga kelas kedua, yang hadir sebagai pelengkap saja.
“Atau dalam kapasitas untuk membantu ekonomi keluarga,” katanya. Hanya saja, tidak semua perempuan begitu. Banyak ditemukan perempuan sebagai kepala keluarga atau tulang punggung keluarga.
Selain itu, menurut Titin, pekerjaan yang dilakukan perempuan dan laki-laki saat ini cenderung sama. Hanya saja, upah yang diberikan kerap berbeda.
“Ini bukan saja ketimpangan namun bisa dikatakan sebagai bentuk diskriminasi,” tegas Titin. Pasalnya, tak sedikit dari perempuan di sektor informal mengerjakan pekerjaan yang sama dengan laki-laki.
Selain itu, beban ganda juga terjadi di pekerjaan sektor informal. “Bahwa setelah melakukan pekerjaan yang diberikan upah, kemudian kembali ke rumah untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah,”ungkanya.
Hal itu diperburuk ketika perempuan tinggal di lingkungan dengan budaya patriarki yang sangat kuat. Mereka beranggapan bahwa tugas perempuan adalah di dapur, membersihkan rumah, hingga merawat anak.
Atas dasar itu, Titin menjelaskan bahwa perempuan yang menjadi dampingan ASPPUK terus didorong untuk membicarakan tentang pembagian peran kepada suaminya. “Komunikasi dua arah sangat penting,” jelasnya.
Bagi perempuan yang menjalankan usaha kecil mikro dan berproduksi di rumah, sudah sewajarnya jika sang suami atau orang terdekat juga ikut terlibat. Sehingga ketimpangan gender tidak terjadi.
“Di ASPPUK, kita tidak hanya mendorong perempuan untuk berdaya secara ekonomi tetapi kita juga mendorong pembagian kerja adil gender dalam rumah tangga dan rantai nilai usaha yang dijalankan,” papar Titin.
Sementara terkait dengan peluang untuk menjalankan usaha, Titin menilai, perempuan masih mengalami kendala, utamanya mengakses modal dari bank. Banyak perempuan yang terkendala dengan legalitas, ketika sang suami atau orang terdekat tak kunjung memberikan persetujuan. Sehingga, perempuan yang ingin mengajukan modal usaha, harus sepengetahuan suami. “Jika misalnya ada kendala dan sedang cekcok, maka tanpa tanda tangan suami, itu pinjaman tidak bisa cair dari perbankan,” terang Titin.
Hal itu tentunya menghambat kegiatan perempuan sebagai pelaku usaha kecil mikro untuk bergerak maju. “Itu juga masih terjadi,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)