Ilustrasi perbudakan modern. Foto : Traffiking In Persons Office USA
JAKARTA, ASPPUK- Praktik perbudakan modern yang memposisikan para pekerja sebagai milik majikan, modusnya beragam dan melibatkan banyak aktor.
“Kamu kan seperti barang. Jika mau diapa-apain, kamu punya saya. Itu perbudakan modern menurut saya, sehingga si majikan ibarat pemilik barang,” kata Program Officer Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) Martina Rahmadani saat menjadi narasumber pada IG Live dengan tema “Pekerja Perempuan dalam Sektor Informal” yang digagas BEM FH UI beberapa waktu lalu.
Menurut Martina Rahmadani yang akrab disapa Titin, contoh-contoh perdagangan manusia masih marak terjadi, meskipun saat ini informasi yang beredar di media massa tidak masif. Saat ini, modus perbudakan modern lebih beragam dengan melibatkan banyak aktor.
“Sekarang mungkin lebih halus modelnya, tidak langsung dikrim melalui kapal dan sebagainya,” ujarnya.
Salah satu jenis perbudakan modern, menurut Titin adalah perdangangan manusia (trafficking). Kebanyakan menimpa pekerja migran ilegal yang didatangkan tanpa dokumen resmi.
“Bahkan, tanpa sepengetahuan si pekerja merupakan bentuk dari perdagangan manusia atau perbudakan modern,” jelas Titin. Ini banyak ditemukan ketika pekerja tidak mengetahui secara detil isi dari perjanjian kerja yang ditandatanganinya.
Bentuk perbudakan modern lainnya, menurut Titin adalah kerja paksa atau bekerja diluar kewajaran tanpa diberi upah. “Mungkin kita dengar apa itu Romusha di zaman dulu. Ternyata model-model kerja paksa masih banyak terjadi saat ini,” ungkapnya.
Modusnya dengan menuntut para pekerja untuk mengejar target tertentu. Kadangkala, upaya untuk mengejar target mengakibatkan para pekerja mengalami kelelahan bahkan jatuh sakit. “Nah, kamu sakit atau sehat, diberikan target tertentu. itu merupakan bentuk dari kerja paksa,” jelas Titin.
“Saya melihat itu terjadi di dalam negeri. Tapi saya juga melihat kerentanan yang sama terhadap pekerja perempuan di luar negeri.”tambahnya.
Di Indonesia, kata Titin, tidak mudah bagi perempuan untuk melepaskan diri dari praktik kerja paksa, karena minimnya perlindungan terhadap mereka. “Dari sisi hukum juga belum berpihak,” ucapnya.
Sementara bagi pekerja migran, ada kendala terkait ‘bahasa’. Hal itu menyulitkan pekerja untuk menyampaikan pendapat dan protes terhadap majikan yang memberlakukan sistem kerja paksa.
“Belum lagi jika dikaitkan dengan relasi dan hak yang terbatas menyebabkan para pekerja migran mengalami hambatan. Itu diperburuk ketika mereka adalah pekerja migran ilegal,” terangnya.
Selain itu, ada juga praktik pekerjaan yang terikat pada suatu perjanjian. Perjanjian itu seperti perjanjian karena faktor ekonomi yang erat hubungannya dengan hutang piutang. “Misalnya, kamu bekerja karena punya hutang dengan saya. Jadi kamu harus bekerja untuk melunasi hutangmu,” katanya.
Biasanya, mereka yang tidak mampu membayar hutang dipaksa bekerja dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Akibatnya, pekerja terikat pada pihak tertentu, bukannya pada perjanjian kerja yang lazim dan sah.
Hal lainnya, menurut Titin adalah pernikahan paksa, yang juga berkaitan dengan faktor ekonomi. Praktik-praktik tersebut banyak ditemukan di desa-desa di wilayah timur Indonesia.
Ketika orang tua si anak tidak memiliki harta, lalu ada orang yang datang untuk melamar dengan membawa sejumlah uang dan harta benda, biasanya pernikahan disetujui.
Sayangnya, kebanyakan anak tidak mengerti, karena merasa masih kecil dan belum siap untuk menikah. “Pemaksaan seperti itu masuk kategori perbudakan modern, karena ada timbal balik disitu,” jelas Titin.
Lagi-lagi, menurut Titin, praktik buruk tersebut terjadi karena faktor kemiskinan. Lokasi mereka yang sulit dijangkau, membuat banyak perempuan muda tak kuasa menuntut hak apalagi melapor ke pihak berwenang.
“Ketika perempuan ingin meminta bantuan tetapi tidak bisa. Hal itu menyebabkan ketakutan di diri mereka untuk melaporkannya ke polisi,” ujar Titin.
Selain itu, banyak perempuan tidak berani bersuara, karena ketika kasusnya diproses oleh petugas, maka dirinya juga akan ikut diperiksa. Hal itu menyebabkan korban lebih memilih diam, meskipun hal itu melanggar hak anak yang diakui undang-undang.
“Keberanian ini yang perlu ditanamkan secara bersama-sama kepada semua perempuan, bahwa kita punya hak untuk berontak, jika kita tidak mau menerima perlakuan buruk,” jelasnya.
Senada dengan itu, Pengurus SPRT Rumpun Tangsel – Jala PRT Arum Romzanah tidak menampik jika perbudakan modern merupakan bentuk perlakuan yang merujuk pada eksploitasi.
“Contohnya di dunia ART, seperti beban kerja berlebih, jam kerja yang sangat panjang namun tidak dibarengi dengan upah yang layak,” ujarnya.
Memberikan gaji yang jauh dari UMR dengan beban kerja yang besar sering kali terjadi. Termasuk bagi ART yang menginap, dipastikan mereka bekerja hampir 24 jam.
“Saya mengalami sendiri. Istirahat cuma jam 1 malam baru tidur, dan jam 4 subuh sudah bangun. Tidur cuma 3 jam,” terang Arum yang juga berprofesi sebagai Asisten Rumah Tangga (ART).
Tidak hanya itu, ART juga tidak diperkenankan untuk bertanya atau melakukan negoisasi gaji saat akan menjalani hubungan kerja. “Saat kita wawancara kerja, biasanya negoisasi, namun bagi ART terutama yang belum berorganisasi, itu sangat rentan,” ungkapnya.
Arum menambahkan, jika mau bekerja ya tinggal bekerja dengan gaji sekian, dengan jenis pekerjaan tertentu. Uniknya, ketika mulai bekerja, muncul jenis pekerjaan tambahan. Akibatnya, jam kerja menjadi sangat panjang.
Selain itu, ketika ART mencoba bernegoisasi tentang upah, kebanyakan dianggap tidak sopan dan kontraknya sering tidak diperpanjang. Hal lainnya terkait dengan layanan makan dan tempat tinggal yang ternyata seringkali tidak layak.
“Diberi makan hanya makanan sisa. Atau ketika makan bersama majikan, dilakukan pemisahan lokasi. Bahkan ada yang melihat majikan makan, tetapi ART tidak diberi makan,” ujar Arum.
Kondisinya semakin buruk, ketika alat makan dan minum yang akan digunakan oleh ART sengaja dipisahkan. Tujuannya agar ART tidak menggunakan alat makan milik majikan. “Situasi seperti itu masih banyak terjadi,” katanya.
Perlakuan buruk lainnya yang dialami ART adalah pembatasan hak untuk bersosialisasi. Akibatnya mereka tidak bebas untuk bertemu dan berbicara dengan banyak orang.
“Bahkan, ngobrol dengan tetangga dibatasi. Banyak majikan yang curiga dan melarang melakukan itu. Banyak PRT yang dimarahi,” ungkap Arum.
Praktik buruk berikutnya adalah perdagangan manusia (trafficking). Pelakunya adalah para penyalur tenaga kerja, baik yang sifatnya perorangan maupun yayasan.
“Karena jika lewat teman, tidak tertutup kemungkinan terjadinya trafficking karena penyalur (teman) mendapatkan uang dari penyalur utama atau langsung dari pemberi kerja. Kebanyakan tidak memikirkan bahwa mereka sudah melakukan perdagangan manusia,” terangnya.
Contoh-contoh diatas menurut Arum membuktikan bahwa praktik perbudakan modern masih dialami oleh ART. Mereka menjadi korban, karena tidak adanya perlindungan hukum dalam bentuk undang-undang.
“Hingga sekarang masih banyak, apalagi tidak ada UU-nya sehingga mereka merasa bebas melakukan itu,” ucapnya.
Arum menambahkan, ketika tidak ada payung hukum, maka sampai kapan pun, perbudakan modern akan terus ada. Pasalnya, pemberi kerja terbiasa melakukan hal-hal yang kurang baik dan semena-mena terhadap ART.
Sementara terkait dengan penyelesaian kasus kekerasan yang dialami ART, Arum menyatakan bahwa Jala PRT kerap kesulitan. Mereka bingung mau menggunakan produk hukum (tool) yang mana.
“Paling mungkin menggunakan UU PKDRT saja. Sedangkan dibawahnya UU, seperti permenaker juga tidak cukup untuk melindungi PRT,” jelas Arum. UU PKDRT sendiri tidak secara khusus membahas soal ART, sehingga untuk kasus-kasus tertentu yang tidak bisa diselesaikan menggunakan uu tersebut.
“Jadi ya, terus…, pelaku tidak ada takutnya sama sekali,” katanya.
Situasi itu tidak saja dialami oleh ART di dalam negeri, ART di luar negeri juga mengalami hal serupa. Kebanyakan ART di luar negeri mengalami kekerasan oleh majikan karena tidak adanya perlindungan dari sisi aturan hukum.
“Di Indonesia belum ada aturannya. Mau membela pake apa? Itu yang membuat terus langgeng perbudakan modern,” tegasnya.
Menanggapi hal itu, Titin mengamini jika belum ada produk hukum di Indonesia yang khusus melindungi ART dari praktik perbudakan modern. Akibatnya, ketika suatu kasus ingin diusut tuntas, seringkali terkendala pada pasal sangkaan yang akan digunakan untuk menjerat pelaku.
“Maka digunakan UU KDRT yang ternyata tidak cukup kuat untuk menjerat para pelaku. Itu tidak cukup kuat untuk membela hak dan mencari keadilan bagi para ART,” ungkapnya.
Hal serupa menurut Titin sangat mungkin terjadi apabila ingin dikaitkan dengan nasib para pekerja migran yang berada di luar negeri.
“Kita mau melakukan untuk di negara kita saja produk hukumnya belum ada,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak/Wan)