GALESONG, ASPPUK– Hujan deras disertai gelombang tinggi yang terjadi dalam tiga hari berturut-turut di Desa Kanaeng dan Desa Popo, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan menimbulkan abrasi. Abrasi menyebabkan puluhan rumah di dua desa tersebut rusak.
Perwakilan Lembaga Mitra Lingkungan (LML) Saleh Yasin Saleh menjelaskan bahwa masyarakat Desa Popo dan Desa Kanaeng telah memiliki inisiatif untuk membangun tanggul pemecah ombak. Hanya saja, upaya tersebut dianggap tidak efektif, karena gampang rusak.
“Alasannya karena gelombang laut yang lebih tinggi, bahkan sempat merobohkan tanggul di Desa Kanaeng, sehingga menjadi tidak maksimal untuk mengatasi persoalan. Kurang efektif,” ujar Saleh.
Oleh sebab itu, Saleh berharap ada tindak lanjut yang lebih kongkret dari Pemerintah Kabupaten Takalar untuk memikirkan soal perbaikan lingkungan atau pembaruan titik-titik lokasi pemecah ombak.
“Dan dua desa tersebut sangat strategis jika upaya yang dilakukan tidak hanya terkait tanggul. Masih ada upaya lainnya” katanya.
Peristiwa abrasi dan gelombang tinggi yang terjadi, menurut Saleh, berkaitan erat dengan krisis iklim. “Itu yang kemudian menjadi dampak dari perubahan iklim itu sendiri,” katanya.
Secara umum, jika berbicara tentang perubahan iklim, berarti ada dua pendekatan, yakni akibat perilaku manusia dan faktor alam. “Saya kira dampak disitu muncul. Soal bagaimana akibat langsung atau tidak langsung berdampak pada bencana yang lebih khusus, yaitu gelombang tinggi, adalah soal melihat aktivitas manusia di sekitar pesisir,” terangnya.
Hal itu tentu berdampak buruk terhadap lingkungan dan ekosistem. Terbukti, ketika kedua desa, yakni Kanaeng dan Popo yang letaknya berhadapan langsung dengan selat Makassar, terpaksa mananggung dampak yang sangat besar.
“Jadi langsung berhadapan dengan laut lepas. Sehingga tidak ada kegiatan yang lebih mendukung soal bagaimana mengantisipasi dampak gelombang dan sebagainya,” ujarnya.
Menurut pengamatan Salah, peristiwa gelombang tinggi dan abrasi terus terjadi dalam 10 tahun terakhir. Bahkan dari tahun ke tahun, kondisinya semakin mengkhawatirkan.
“Menurut teman-teman pengurus, di dua tahun terakhir ini, dampaknya cukup parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” katanya.
Saleh menambahkan, “Ini merupakan dampak krisis iklim karena ketika berbicara tentang perubahan iklim juga berdampak dari aktivitas manusia yang ada disekitar pesisir. Misalnya bagaimana memanfaatkan sumberdaya laut dengan tidak ramah lingkungan juga turut andil memberi efek negatif.”
Hal itu menjadi poin penting, ketika bencana tak kunjung surut, bahkan terkesan lebih parah dari sebelumnya. Dengan begitu, rencana yang sifatnya jangka panjang harus dilakukan. Karena jika diabaikan, warga yang akan menanggung dampaknya.
Jika dibandingkan dengan peristiwa serupa dalam 20 tahun sebelumnya, frekuensi gelombang tinggi yang mengakibatkan abrasi, tidak separah saat ini. Ini membuktikan bahwa perubahan iklim telah terjadi.
“Curah hujan yang tinggi, gelombang tinggi disertai angin akan berdampak pada desa-desa di pesisir,” ungkap Saleh.
Ketika krisis iklim terjadi akibat ulah manusia, hal penting yang tidak boleh dilupakan adalah intervensi pemerintah. Upaya itu menurut Saleh harus dipertegas, karena selama ini terkesan adanya pembiaran.
Aksi mitigasi, seperti membangun tanggul tidak cukup. Upaya yang lebih ambisius, seperti melakukan penghijauan, justru lebih berdampak signifikan untuk mengurangi abrasi.
“Kita harus mendorong masyarakat melakukan penghijauan dengan menanam mangrove, untuk kedepannya. Ini harus menjadi poin penting bagi pemerintah,” ungkapnya.
Apa yang terjadi dalam 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa perhatian pemerintah sangat minim. Pemerintah hanya datang ketika bencana terjadi. Setelah itu, masyarakat dibiarkan sendiri.
“Dalam 5 tahun terakhir ini hanya datang, lalu memberikan bantuan, kemudian masalah utamanya terlupakan,” paparnya.
Mengingat tidak adanya tindakan yang benar-benar riil terkait aksi mitigasi dan adaptasi penanggulangan abrasi, tidak mengherankan jika peristiwa serupa kembali terulang.
“Tahun depan jika tidak diantisipasi akan terulang lagi dengan kondisi yang sama,” ujar Saleh.
Jika saja pemerintah bertanggungjawab, maka masyarakat akan turut berparitisipasi dalam upaya pencegahan. Pasalnya, mereka yang merasakan langsung dampak dari perubahan iklim.
“Cara-cara yang dilakukan pemerintah selama ini sifatnya seperti emergency dan terkesan seperti pemadam kebakaran,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)