FGD dan TA Jurnalis dan Komunitas Kabupaten Takalar 10-12 Oktober 2023 “Kampanye Perubahan Iklim, Keberlanjutan Ekonomi dan Hak Asasi Manusia”

FGD dan Technical Assistance Jurnalis dan Komunitas – Pemetaan isu dan penguatan kapasitas untuk kampanye perubahan iklim, keberlanjutan ekonomi dan hak asasi manusia, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, 10-12 Oktober 2023.

Makassar, 20 Oktober 2023 – Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) mengelar Focus Group Discussion (FGD) yang mengangkat tema “Pemetaan Isu untuk Kampanye Perubahan Iklim, Keberlanjutan Ekonomi dan Hak Asasi Manusia” dan Technical Assistance dengan tema ”Penguatan Kapasitas Jurnalis dan Komunitas untuk Kampanye Perubahan Iklim, Keberlanjutan Ekonomi dan Hak Asasi Manusia” untuk Kabupaten Takalar bersama jurnalis dan komunitas pemuda dan perempuan dari Kabupaten Takalar.

Acara ini berlangsung selama tiga hari, pada tanggal 10-12 Oktober 2023, di Hotel The One Makassar Jl Gunung Latimojong No. 155, Kelurahan Lariang Bangi, Kecamatan Makassar, Kota Makassar Sulawesi Selatan. FGD dan TA ini dihadiri oleh berbagai jurnalis dari berbagai media seperti TV One, Kompas TV, Trust TV.id, iNews TV, TVRI, Bollo.id, SCTV, serta kelompok/komunitas dari Kabupaten Takalar seperti Kelompok Bangkit Bersama, Kelompok Maju Bersama, Kelompok Paraikatte, Kelompok Baji Pamai, Kelompok Assamaturu, Kelompok Panrannuangku Desa Kanaeng, dan Pemerintah Desa.

Dalam Project The Collaborative yang dilakukan ASPPUK ini berkolaborasi dengan Mongabay Indonesia sebagai industri media independen yang berdiri sejak tahun 2012 dan memiliki konsern yang sama mengenai isu lingkungan dan hak asasi manusia. Dalam FGD dan TA ini, Mongabay Indonesia sebagai narasumber membahas berbagai topik seperti Perubahan Iklim di Kabupaten Takalar, Jurnalisme Warga dan Digital Platform, UU pers dan Kode Etik Jurnalistik dalam merespon perubahan iklim di Kabupaten Takalar. Sedangkan ASPPUK memberikan pemaparan terkait Bisnis Berkelanjutan.

Pada hari pertama, ASPPUK sebagai Fasilitator melakukan FGD yang bertujuan untuk melakukan pemetaan bersama jurnalis dan komunitas terkait masalah-masalah perubahan iklim yang terjadi di Kabupaten Takalar, Kota Makassar dan sekitarnya, memetakan isu-isu gender dan perubahan iklim dan dampaknya pada kehidupan perempuan dan kelompok marginal lainya, memetakan strategi kampanye perubahan iklim di daerah pesisir dengan studi kasus Kabupaten Takalar serta menginventarisir kampanye bisnis berkelanjutan yang pernah ditemukan di Makassar dan sekitarnya sehingga bisa dijadikan strategi kampanye atau tema yang akan diusung sebagai panduan.

Pada FGD yang dilakukan di hari pertama, ASPPUK memberikan paparan sebagai pengantar terkait bisnis berkelanjutan dalam merespon perubahan iklim. Menurutnya salah satu bisnis berkelanjutan yang menjadi fokus ASPPUK adalah bisnis yang mempraktekkan ramah lingkungan dalam implementasinya menerapkan 3P sebagai fokus, yang antara lain adalah profit, people dan planet. ”Profit itu berarti biaya dari usaha yang harus dihitung dengan pendapatan, people mengartikan bahwa kesejahteraan pegawai seperti kesehatan mentalnya, ikatasan sosial mereka dan kontribusi amal dan sosial, sedangkan planet adalah karena usaha itu mengkonsumsi sumber daya, penggunaan lahan sehingga bahan baku yang diambil melalui lingkungan sekitar itu bagaimana caranya agar kembali ke lingkungan sehingga memiliki pengelolaan limbah yang membuat lingkungan itu menjadi lestari”.

Kemudian pada paparan berikutnya, Mongabay Indonesia yang diwakili oleh Lusia Arumingtyas sebagai Youth Outreach Officer membahas terkait perubahan iklim di media massa. Lusia menjelaskan bahwa Mongabay Indonesia hadir dengan visi dan misi untuk menggaungkan isu lingkungan itu sendiri di indonesia, menceritakan masyarakat yang tidak pernah terdengar suara dan inisiatif yang dilakukan oleh mereka dalam merespon isu lingkungan. Ia juga mengungkapkan bahwa, komunitas, media dan pemerintah adalah ekosistem yang saling memberikan umpan balik. ”media adalah perantara untuk bisa menyuarakan isu perubahan iklim yang dialami serta juga dapat menyuarakan apa yang ada di komunitas sehingga kemudian sampai ke telinga publik dan pemerintah, yang pada akhirnya akan memunculkan sebuah kebijakan, seperti surat edaran ataupun lahirnya perubahan kebijakan seperti berita tentang kematian beruntun gajah di Barumun yang teman-teman Mongabay beritakan”.

Eko Rusdianto sebagai narasumber kedua yang mewakili Mongabay Indonesia, membahas terkait perubahan iklim di Kabupaten Takalar. Eko mengatakan bahwa sebenarnya perubahan iklim yang terjadi disekitar bukan merupakan hal yang baru, melainkan telah terjadi pada ribuan tahun yang lalu khususnya di daratan Sulawesi Selatan, menurutnya ”perubahan iklim itu bukan sesuatu yang baru, ribuan tahun yang lalu sudah terjadi dan leluhur kita sudah merasakannya, seperti pada 2015 sekelompok peneliti yang melakukan pengeboran sedimen danau di Luwu Timur dan menemukan bahwa pada 60.00 tahun yang lalu daratan Luwu Timur adalah daerah sabana, artinya kemungkinan wilayah Matano dan Towuti, bukan subur seperti sekarang. kalau begitu pertanyaannya adalah yang mana sebenarnya iklim kita, apakah yang kering atau yang sekarang lagi suburnya atau bahkan apakah yang sekarang adalah fenomena atau anomali cuaca?”.

Pada akhir FGD yang dilakukan, ASPPUK memfasilitasi diskusi dengan membagi peserta dalam kelompok diskusi yang terbagi dalam kelompok komunitas dan jurnalis dengan fokus utama diskusi yaitu memetakan perubahan iklim yang terjadi dan dampaknya serta menganalisis prioritas perubahan iklim apa saja yang terjadi sebagai panduan strategi kampanye perubahan iklim dan sebagai topik-topik utama kampanye perubahan iklim di kabupaten Takalar.

Hasilnya, dari perubahan iklim yang diidentifikasi antar kelompok mencakup lima isu prioritas, pertama adalah cuaca yang menjadi runtutan dalam isu krisis air dan pangan, kemudian isu lingkungan dan isu pembangunan sebagai dampak perubahan iklim dan aktivitas manusia. Perubahan iklim berupa cuaca ini dirasakan berupa kekeringan, cuaca panas dan kebakaran sehingga menjadi dampak berupa krisis air bersih dan tanaman banyak yang mati, terdapat juga krisis pangan yang dalam hal ini berkurangnya ikan di sekitar laut Galesong, buah jeruk mengecil di Pangkep, perubahan harga rumput laut, lobster budidaya banyak yang mati, dan produksi pangan yang berkurang drastis serta gagal panen.

Sedangkan dampak perubahan iklim ke lingkungan adalah abrasi pantai yang terjadi di bibir pantai Galesong dan Takalar, banjir Rob, rumah warga yang roboh akibat banjir, pengikisan bibir pantai, hingga sampah yang menumpuk di pesisir pantai. Dalam sisi pembangunan terdapat maraknya tambang galian ilegal, debu sekitar area pertambangan, peralihan lahan persawahan menjadi perumahan atau alih fungsi lahan.

Tidak berhenti disitu, setiap kelompok yang terbentuk juga mengidentifikasi usaha-usaha nyata yang telah dilakukan untuk merespon dampak yang terjadi, usaha-usaha tersebut antara lain hujan buatan menggunakan garam, suplai air bersih oleh BPBD Kabupaten Takalar, masyarakat membuat pembuatan sumur bor dan sumur tadah hujan, menyediakan pompa untuk mengairi sawah, kebun Hydroponic, rekayasa genetik tumbuhan, resettlement bagi warga rumah terdampak, membangun tanggul di sepanjang bibir pantai, modal usaha dari pemerintah, phase out coal, dan membangun kebun bibit rumput laut.

Sebagai penutup, ASPPUK mengajak para peserta untuk menguraikan berdasarkan pengalaman bertemu atau mengetahui pelaku usaha yang memiliki prinsip bisnis berkelanjutan yang berada di Takalar, Makassar dan sekitarnya. Hal ini demi menginventarisir bentuk-bentuk usaha yang menerapkan bisnis berkelanjutan dengan prinsip 3P sehingga bisa menjadi sebuah panduan dalam kegiatan Technical Assistance berikutnya. Pada hasilnya terdapat beberapa usaha seperti bisnis yang memproduksi tas yang fashionable berbahan dasar sampah plastik di Kota Makassar, bisnis Rumah Kedua di Rammang-Rammang Kabupaten Maros yang mendaur ulang minuman botol dan Ecobrick, serta kerupuk rumput laut di desa Ujung Baji Kabupaten Takalar.

Pada hari kedua dan ketiga, ASPPUK melakukan Technical Assistance dengan tujuan memperkuat pemahaman jurnalis muda dan komunitas tentang perubahan iklim terkait masalah-masalah dan isu-isu yang muncul serta dampak yang ditimbulkan terkait perubahan iklim di Kabupaten Takalar, sharing praktek-praktek terbaik komunitas masyarakat khususnya perempuan dalam menjalankan aktivitas ekonomi dan pengembangan model bisnis alternatif yang ramah lingkungan dan menghargai HAM, meningkatkan wawasan dan pengetahuan serta keterampilan jurnalis muda dan komunitas tentang platform kampanye digital yang dapat digunakan dan membuat konten kreatif untuk media komunikasi dan kampanye, serta meningkatkan kapasitas jurnalis muda dan komunitas dalam penulisan dan peliputan berita terkait isu perubahan iklim menggunakan platform digital (IG, FB, Blog).

Mongabay Indonesia diwakili oleh Lusia Arumingtyas sebagai narasumber memaparkan materi terkait reportase. Dalam prosesnya Lusia membagi peserta dalam 4 kelompok yang tiap kelompoknya tercampur atas peserta jurnalis dan komunitas untuk melakukan wawancara oleh para peserta jurnalis kepada komunitas demi mendapatkan gambaran dan pembelajaran mengenai bagaimana caranya menggali ide atau cerita tentang reportase melalui wawancara. Masing-masing kelompok diminta agar menggali informasi dari teman-teman komunitas terkait Kabupaten Takalar sehingga apabila ada hal yang menarik dan ingin disampaikan, maka seperti apa caranya dan cerita seperti apa yang ingin disampaikan. Hasilnya, terdapat beberapa topik reportase yang diambil masing-masing kelompok, salah satunya terkait ”Transformasi UMKM di Tengah Perubahan Iklim di Takalar”.

Dalam refleksi dan diskusi, Lusia menekankan bahwa terdapat poin penting dalam jurnalisme yaitu jangan menambahi sesuatu yang tidak ada karena ketika menulis kita tidak diperbolehkan untuk menambah opini sendiri yang berarti jangan menipu audiens karena perlu transparan, harus orisinil dan tidak mengambil atau menduplikat. Menurutnya ”sebenarnya menulis melalui reportase itu menyajikan segala apa yang kita ketahui dan pada dasarnya menulis itu adalah perlu berani akan sesuatu apa yang kita ketahui”.

Selain tentang reportase, Lusia juga membawakan materi terkait Media sosial dan Komunitas dalam topik Digital Platform Jurnalisme Warga pada hari ketiga. Menurut Lusia dalam menggunakan media sosial sebagai platform pemasaran produk, penting untuk memahami terlebih dahulu produk apa yang ingin dijual kemudian memperkenalkan apa saja keunggulan atau keunikan dari produk yang ingin dijual, ”ceritakan apa yang disampaikan ke pembeli, apa keunggulan asli dari rumput laut Takalar, seperti rumput laut yang ada di sepanjang musim, kualitas dan manfaat kesehatan, dari segi rasa yang enak ketika sudah diolah, rasa uniknya ada ketika tanpa bahan pengawet misalnya, jadi kira-kira apa yang unggul dan unik untuk diceritakan ke calon pembeli, ceritakan itu dalam membuat caption, seperti rumput laut tanpa pengawet, harga dan manfaatnya. Jadi ketika ingin memasarkan produk perlu dipahami dulu produk yang ingin dipasarkan”.

Eko Rusdianto sebagai narasumber kedua yang juga mewakili Mongabay Indonesia, membawakan materi dengan tema Kode Etik Jurnalistik. Dalam paparannya Eko mengatakan bahwa, etika seperti rules atau pedoman dalam melakukan kerja Jurnalistik, ada banyak etika yang perlu dijaga seperti sopan dan rendah hati, jujur pada fakta serta berpihak pada kebenaran. Menurutnya ”yang paling utama dari etika itu ialah sopan dan rendah hati, kita tidak bisa semena-mena dalam melakukan kerja jurnalistik seperti halnya apabila kita ingin meliput atau wawancara, kita perlu menghindari rasa sombong dan superior contohnya wartawan yang tidak membeli tiket karena ingin meliput ataupun memaksa seseorang untuk bersedia diwawancarai”.

Lebih lanjut dalam laporannya, seringkali bias dalam sebuah jurnalisme adalah yang paling sulit dihindari oleh seorang penulis karena penilaian akan pandangan politik, identitas suku, ras dan agama dan gender masih menjadi hal yang sulit dilepaskan oleh seseorang dalam menuliskan suatu cerita. ”Identitas harusnya memperkaya bukan mempertajam, celakanya kita sampai sekarang masih melakukan itu. Inilah yang agak rumit kita lepaskan dalam menulis, karena kadang seseorang mencari kesalahan pihak tertentu dalam menulis, dalam hal ini biasanya orang tau tidak boleh ada unsur SARA, tapi kita tidak bisa melepaskan itu, disinilah proses yang paling susah”

Selain tentang Kode Etik Jurnalistik, Eko juga membawakan materi terkait Data dan Fakta dalam Jurnalisme Warga. Dalam paparannya Eko menerangkan bahwa apapun informasinya dalam menguji data bisa menggunakan teknik dasar yaitu 5 W + 1 H. What menjelaskan terkait Plot atau alur cerita, When menjelaskan tentang Kronologis, Where mengenai Setting cerita, Why menjelaskan Motivasi, Who mengenai Karakter, dan How menjelaskan tentang Narasi atau jalan cerita. Selain itu, menurutnya analogi dalam menulis yang baik adalah berbentuk kerucut kebawah, lebih jelasnya ia mengatakan bahwa ” kalau memberi informasi itu perlu berbentuk segitiga terbalik, menulisnya bagian atas dan awal itu yang penting sekali, selanjutnya penting, kemudian biasa saja dan akhirnya tidak begitu penting, jadi ketika teman-teman ingin mempromosikan produk usahanya bisa menggunakan cara ini, bagian awal itu adalah yang penting agar tersampaikan, bagian bawah itu bagian informasi, jadi bentuknya kerucut kebawah karena pengalaman teman-teman tidak suka membaca yang panjang”

Pada penutup Technical Assistance selama dua hari ini, perwakilan ASPPUK menerangkan bahwa harapannya buat teman-teman jurnalis, TA ini dapat menjadi penyegaran selain karena telah memahami sebelumnya sebagai dasar Jurnalistik namun bisa sedikit menjadi pengingat kembali dan untuk teman-teman komunitas, beberapa paparan dan diskusi ini harapannya para kelompok komunitas mendapatkan hal baru disini, ”ada pemahaman dan kemampuan yang meningkat dan setelah dari sini teman-teman akan punya skill baru, salah satunya dari sisi jurnalisme dan harapan jadi model untuk melakukan jurnalisme warga dimana teman-teman bisa melaporkan hal-hal yang baik dan memberitakan dengan etika-etika yang telah diulas oleh teman-teman Mongabay”.

Penulis: Farhan Koto, kontributor Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.