Pada suatu saat saya mengunjungi Dusun Kelayam, saya melihat ibu-ibu pengerajin tenun ikat sedang semangatnya melakukan proses pertenunan. Benang tersebut diperoleh dari bantuan DINAS PENGELOLA PERBATASAN Kabupaten Kapuas Hulu pada anggaran tahun 2014 lalu, tetapi benang tersebut masih ada sampai tahun 2015 sekarang karena menenun dijadikan sebagai pekerjaan sampingan oleh masyarakat di Dusun Kelayam. Alasan masyarakat menjadikan pertenunan sebagai pekerjaan sampingan mengingat hasil tenun tidak dapat membantu kesejahteraan masyarakat yang disebabkan tidak ada atau kurangnya minat pembeli lokal akan hasil tenun pengerajin sehingga pengerajin menjadi malas untuk menenun secara berkesinambungan, kain tenun hanya terjual jika Tenaga Penyuluh Lapangan Industri Kecil dan Menengah (TPL-IKM) Program Beasiswa Angkatan 2010 yaitu saudari Margareta mengikuti pameran keluar kota. Pengerajin tenun di Dusun Kelayam belum pernah bantuan dari dinas terkait untuk membantu mempromosikan kain tenun dayak Iban terutama di Dusun Kelayam itu sendiri, kecuali TPL-IKM sendiri yang berusaha keras untuk membantu pengerajin menjual kainnya sesuai dengan harga yang telah ditentukan pengerajin.
Bercerita tentang proses pertenun sangatlah menarik, baik dari segi pertenunannya sendiri maupun cerita mistiknya. Yang pertama adalah proses menggulung benang. Ibu-ibu akan menggulung benang pada malam hari setelah pulang dari ladang, mereka berkumpul di rumah tuai rumah (bahasa Iban )atau kepala kampung. Hal tersebut dilakukan untuk mempererat kebersamaan dan kekeluargaan serta meningkatkan semangat satu sama lain dengan cara berkumpul sambil bercanda, makan rujak dan lain sebagainya. Benang yang sudah digulung akan ditimbang dengan berat yang sama untuk dibagikan kepada semua anggota penenun agar sama-sama mendapatkan benang yang sama banyak atau merata sehingga tidak ada yang kecewa.
Proses yang kedua yaitu proses menyusun benang pada GEDOGAN atau dalam bahasa Ibannya Tangga Ubung. Sudah menjadi tradisi pada saat melakukan proses penyusunan benang ke gedogan, ibu-ibu menyediakan sesaji (pedara dalam bahasa Iban ) yang disimpan pada piring dan diletakkan di bawah gedogan dengan tujuan agar proses tersebut mendapat ijin atau dukungan dari roh nenek moyang atau Tuhan (PETARA dalam bahasa Iban). Ibu-ibu percaya dengan adanya sesaji maka proses pertenunan mereka akan dilancarkan tanpa kesalahan sedikitpun baik kesalahan prosesnya maupun kesehatan ibu-ibu itu sendiri. Masyarakat percaya jika menenun motif yang dianggap mistik atau motif yang bernama dan nama motif tersebut diperoleh dari mimpi nenek moyang yang menemukan motif tersebut, orang yang menenun motif tersebut jika belum berpengalaman menenun akan sakit. Maka sebelum menyusun dibuatkanlah sesaji tersebut agar penenun tidak sakit atau terjadi hal yang tidak diinginkan.
Proses yang ketiga adalah proses mengikat benang atau membuat motif tenun. Pembuatan motif ini bisa menggunakan motif sesuai kreasi penenun itu sendiri dan jika belum bisa menciptakan motif sendiri penenun akan menjiplak motif tenun yang sudah ada, baik motif milik sendiri atau minjam motif orang lain. Ketika meminjam motif orang lain, yang meminjam motif akan memberikan ayam, besi,uang dan tempayan kecil sebagai bayaran karena telah menjiplak motif tersebut. Penenun itu sendiri sebenarnya tidak perlu minta bayaran dengan ayam, besi, uang dan tempayan, tetapi memang sudah menjadi syarat dari jaman nenek moyang mereka. Jika tidak memenuhi syarat tersebut salah satu diantara yang minjam atau pemilik tenun tersebut akan mendapat musibah. Awalnya penenun tidak percaya dengan mistik seperti ini, tetapi hal tersebut benar-benar terjadi jika tidak dilaksanakan sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Demikian sekilas cerita tentang ketiga proses menenun diatas (Leonardus Nucci, Staf Lapang ASPPUK)