www.kompas.com, Sabtu, 11 Februari 2012 | 03:17 WIB
Di suatu siang yang terik pada 18 Januari 2012 lalu, penulis berkesempatan berbincang dengan seorang petani (wanita) di suatu desa di Distrik Medak, Andhra Pradesh, India. Di hadapan kami terbentang luas ladang yang ditanami sekitar 20 jenis tanaman.
Tanaman-tanaman tersebut tumbuh subur di tengah cuaca kering tanpa hujan selama enam bulan terakhir. Tanah seluas hampir 10 hektar tersebut semula adalah tanah kering tidak produktif yang dibeli bersama-sama oleh kelompok petani wanita (sanghams) dari seorang tuan tanah sekitar 20 tahun silam. Sistem pengelolaan berbasis agroekologi yang mereka lakukan ternyata mampu membalikkan kondisi tanah: dari yang semula tidak produktif menjadi produktif.
Gerakan ”kedaulatan pangan” tersebut perlahan-lahan membesar dan sejak tahun 2000-an mulai diadopsi menjadi gerakan massal petani kecil di India. Mereka mengembangkan benih, membuat pupuk organik, pestisida nabati, menanam berbagai varietas tanaman lokal di ladang-ladang mereka, dan mengembangkan lumbung pangan sendiri. Melalui gerakan semacam itu, terjadi peningkatan produksi pangan yang tinggi di wilayah-wilayah tersebut, yang mampu menopang kebutuhan pangan setempat dan komunitas di luar mereka.
Krisis ketahanan pangan
Kondisi yang bertolak belakang kita alami saat ini di Indonesia. Presiden dalam pembukaan ”Jakarta Food Security Summit, Feed Indonesia Feed The World 2012” menyatakan tidak mudah meningkatkan produksi pangan dunia di masa depan (Kompas, 8 Februari 2012). Alih-alih akan memberi makan dunia (feed the world), perkembangan produksi pangan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini justru mengarah yang sebaliknya.
Apabila kita bandingkan data perdagangan pangan periode 2009/2010 dengan periode 2010/2011, terjadi peningkatan luar biasa impor pangan. Impor beras meningkat 141 persen, jagung 89 persen, dan kedelai 19 persen (USDA, Desember 2011). Impor gandum yang tahun sebelumnya sudah menembus angka di atas 5 juta ton, pada periode sekarang masih meningkat lagi dan mencapai 6,6 juta ton atau peningkatan sebesar 23 persen. Total impor biji-bijian, termasuk tepung, untuk periode 2010/2011 mencapai 17,2 juta ton, suatu angka impor yang fantastis.
Ironisnya, bukan hanya berbagai ”pangan pokok” tersebut, rak-rak supermarket di Indonesia 60-80 persen diisi buah-buahan impor. Impor apel, anggur, pir, dan jeruk pada 2010/2011 meningkat masing-masing sebesar 37, 39, 44, dan 19 persen dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya.
Terdapat berbagai permasalahan besar yang menyebabkan produksi pertanian kita stagnan, bahkan cenderung menurun. Iklim selalu menjadi ”kambing hitam” jika terjadi penurunan produksi pertanian di Indonesia. Tak bisa dipungkiri bahwa pada kondisi musim kering berkepanjangan produksi pertanian biasanya menurun. Akan tetapi, dalam kondisi yang relatif normal, terlalu naif menyalahkan iklim sebagai biang keladi penurunan produksi.
Salah satu penyebab terkait hal tersebut adalah ketidakmampuan kita mengelola air. Hanya 10 persen air irigasi yang bisa dikendalikan, 50 persen jaringan irigasi strategis nasional di Pulau Jawa rusak, dan 27 persen seluruh jaringan irigasi nasional perlu rehabilitasi ringan hingga berat (DA Santosa, ”Waspadai Pangan 2012”, Kompas, 11 November 2011).
Lahan pertanian merupakan persoalan besar lainnya. Dengan luas lahan pertanian pangan yang hanya 358 meter persegi per kapita untuk sawah atau 451 meter persegi jika digabungkan juga dengan lahan kering, upaya dan terobosan apa pun untuk peningkatan produksi akan mengalami jalan buntu. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Angkanya 100.000 hingga 110.000 per hektar per tahun. Padahal, lahan-lahan pertanian itu sebetulnya sudah ”dilindungi” oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Teknologi peningkatan produksi juga memiliki keterbatasan. Stagnasi peningkatan produksi melalui asupan teknologi tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, yang merupakan salah satu eksportir pangan dunia, produktivitas tiga jenis tanaman utama mereka (gandum, jagung, dan kedelai) tidak banyak berbeda dibandingkan dengan tahun 1980-an. Upaya melalui teknologi transgenik yang sudah diterapkan sejak tahun 1996 untuk empat jenis tanaman, yaitu jagung, kedelai, kanola, dan kapas, juga tidak membawa dampak positif terhadap produktivitas tanaman tersebut.
Membangun kedaulatan pangan
Lalu, bagaimana upaya-upaya yang dapat kita kerjakan pada masa depan? Gerakan petani kecil di India yang diulas sebagai pengantar tulisan ini dapat dijadikan contoh nyata bagaimana upaya pemenuhan kebutuhan pangan seharusnya dikembalikan ke ranah petani kecil.
Konsep yang mereka kembangkan sangat berbeda dibandingkan dengan konsep ketahanan pangan yang menempatkan pangan sebagai komoditas perdagangan serta pemisahan tegas antara produsen, pedagang, dan konsumen. Petani kecil di India memahami kedaulatan pangan dengan bahasa yang sangat sederhana, yaitu pangan lokal, produksi lokal, penyimpanan lokal, dan distribusi lokal.
Melalui gerakan kedaulatan pangan yang dirintis lembaga nirlaba Deccan Development Society (DDS), yang melibatkan para petani di 77 desa, mereka berhasil memproduksi pangan (biji-bijian) ekstra sebesar 2.000.000 kilogram per tahun. Melalui program ini pula mereka menciptakan 250.000 lapangan kerja harian dan mampu menyumbang pangan bagi 50.000 penduduk miskin (DDS, 2008).
Sebagaimana di Indonesia, Pemerintah India dalam upaya penanggulangan kemiskinan juga melakukan program bantuan pangan untuk masyarakat miskin, yang dikenal dengan Public Distribution System. Dibandingkan dengan program pemerintah tersebut, program yang mereka kerjakan jauh lebih efisien. Hanya Rp 1 per Rp 7 rupiah pengeluaran pemerintah yang benar-benar diterima oleh masyarakat sasaran.
Pengeluaran terbesar adalah untuk administrasi, transportasi, dan distribusi pangan. Sebaliknya, melalui gerakan kedaulatan pangan, setiap Rp 1,6 dana yang dikeluarkan, sebesar Rp 1 akan diterima langsung oleh masyarakat sasaran.
Pemerintah India mendukung dan mendanai gerakan kedaulatan pangan yang dimotori oleh lebih dari 500 organisasi akar rumput. Gerakan tersebut menjadi salah satu pilar yang berhasil membantu Pemerintah India menyediakan pangan bagi 1,21 miliar penduduknya. Ketika Indonesia dengan jumlah penduduk 241 juta jiwa harus mengimpor belasan juta ton bahan pangan, sebaliknya India pada tahun 2011 mampu mengekspor beras sebesar 4,5 juta ton, jagung 2,2 juta ton, dan tepung kedelai sebesar 4,2 juta ton.
Indonesia masih memiliki 23,24 juta lahan kering yang bisa digunakan untuk memproduksi pangan, yaitu seluas 8.136.646 hektar di dalam kawasan hutan dan 15.106.234 hektar di luar kawasan hutan (Departemen Kehutanan, 2002). Lahan seluas itu potensial untuk menghasilkan 25 juta ton hingga 50 juta ton biji-bijian atau 75 juta ton hingga 150 juta ton umbi-umbian per tahun.
Petani kecil memiliki potensi besar untuk mengubah hitungan tersebut menjadi kenyataan, bukan korporasi atau para pemburu rente ekonomi. (Dwi Andreas Santosa Ketua PS S-2 Bioteknologi Tanah dan Lingkungan; Aktif di Gerakan Petani)