“Sebagian besar penyaluran dana BOS di daerah-daerah terlambat. Alasan yang disampaikan Dinas Pendidikan daerah macem-macem. Ada yang bilang belum ada juknis atau dana belum turun dari pusat”, ungkap Budi Santoso, dari ORI (Ombudsman Republik Indonesia) dengan miris. Ia melanjutkan bahwa keterlambatan itu jamak terjadi di kebanyakan kabupaten/kota di Indonesia semenjak otonomi daerah.
Sebagaimana diketahui UU no.32 tahun 2004 menyatakan bahwa – selain 5 bidang — roda kepemerintahan pusat telah dilimpahkan kepada kepala daerah kabupaten/kota. Sektor pendidikan menjadi salah satu bidang yang harus didesentralisasi urusannya kepada daerah kabupaten atau kota. “Anehnya, setelah saya cek kepada department keuangan, ternyata mereka telah mengirim dana BOS tepat waktu kepada seluruh rekening keuangan daerah. Ada bukti transfernya. Saya percaya kepadanya karena departemen keuangan itu diaudit dan ada policy yang mengaturnya sebagai kasir negara,” lanjutnya saat mengisi workshop “penyusunan instrument investigasi pengadaan barang dan jasa”, yang diadakan FITRA, tgl 17 – 20 Mei 2012 di Bandung, Jawa Barat. Anggota komisi ombudsman yang puluhan tahun menangani patgulipat kasus pengadaan barang ini mengindikasi bahwa dana yang telah ditransfer ke daerah sengaja disimpan di bank daerah untuk kepentingan politik atau kepentingan pribadi. “Bayangkan coba, satu kabupaten seperti Garut, menerima sekitar 200 milyar dana BOS. Kalau uang itu ditanam di bank dan dibungakan, maka berapa besar yang didapat darinya”, dengan nada sedih ia certikan.
Itulah corak dari fenomena pengelolaan BOS di negri ini. Program ini kini jadi favorit dinas pendidikan dan pemerintah RI di tengah keringnya program kesejahteraan rakyat. BOS merupakan program yang kini digemari masyarakat khususnya bagi kalangan miskin. Ibu-ibu PUK yang tersebar di 67 an kabupaten/kota pun menyiratkan akan pentingnya peranan dana BOS bagi kelangsungan pendidikan anaknya. Meski tidak terlalu besar jumlah uang yang mereka terima, namun itu bagai cucuran air segar di siang bolong untuk menghapus dahaga sejenak. Paling tidak, dana yang dimiliki perempuan basis – yang seharusnya untuk pendidikan — bisa dialokasikan untuk pengembangan modal usahanya.
Hikayat carut-marut implementasi BOS di atas, ternyata senada dengan yang ditemukan Ornop (organisasi non pemerintah) yang melakukan penelitian di kota Aceh, Karo, Klaten, kab. Kupang dan kota Pontianak. Diantara temuannya; terpantau bahwa dana BOS di selewengkan/digunakan berlebihan untuk kepentingan lain (seperti pemasangan AC ruang kepala sekolah/guru, bangun pagar, pembelian buku diluar buku Penjaskes, uang transport kepala sekolah setiap bulan, Operasional Klinik Gigi di sekolah). Selain itu digunakan untuk pembelian buku/barang tanpa ada penawaran dari pihak ke 3, sekolah langsung belanja sesuai dengan pagu dana yang di tetapkan, dan penggunaan kepala sekolah tanpa melibatkan Dewan Guru dan Komite Sekolah. Kemudian adanya indikasi pemotongan dana BOS 10% oleh pihak diknas untuk pembuatan SPJ (Surat Pertanggungjawaban), dan terasa kurang sosialisasi BOS di Masyarakat (Masyarakat tidak tahu adanya dana BOS dan penggunaannya), serta penggunaan dana BOS tidak sesuai dengan juklak dan juknis serta Permendiknas 37/2010. Yang mengherankan, transparansi penggunaan dana BOS di setiap sekolah masih minim. Reaslitasnya Permendikbud no. 60/2011 tentang anti pungutan dalam pendidikan, masih belum dilaksanakan pihak sekolah, karena masih adanya pungutan (seperti masih ada pungutan Uang Gedung, siswa baru masuk dan uang sumbangan bagi siswa yang sudah lulus). Terakhir, kurangnya kapasitas sekolah dalam membuat perencanaan, pengelolaan dan pelaporan dana BOS.
Berbagai fonomena diatas, perlu kiranya semua pihak termasuk pemerintah untuk melakukan berbagai hal ke depan supaya BOS lebih memberi manfaat masyarakat, bukan lahan korupsi aparat pemerintah dan oknum rakyat. Diantaranya; perlu penguatan kapasitas Kepala Sekolah dan Bendahara BOS dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan. Selain itu, diperlukan optimalisasi peran pengawas sekolah, komite sekolah dan inspektorat dalam pengawasan pelaksanaan dana BOS. Kemudian, penyaluran dana BOS langsung oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan tanpa melalui provinsi karena dikhawatirkan menjadi komoditas politik. Misalnya sering di klaim pemerintah incumbent dalam pilkada akan adanya pendidikan gratis, padahal maksudnya adalah dana bos dimana dananya berasal dari APBN yang bersumber hutang negara. Itulah berbagai langkah yang sebaiknya diambil pemerintah yang dirumuskan sejumlah ornop termasuk anggota ASPPUK di 5 daerah bersama fitra dan jaringanya. Namun begitu, perlu juga dicatat bahwa adanya BOS tidak berarti membebaskan tanggungjawab pemerintah RI dalam mewujudkan pendidikan bebas biaya dan berkualitas sesuai dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-udang tersebut negara diamanatkan untuk memberikan pendidikan bebas biaya dan bermutu. “BOS baru menutup biaya operasional sekolah, dan jangan sampai BOS dijadikan “kedok” untuk melepas tanggung jawab negara atas amanat undang-udang”, begitu ungkap Yanti Susanti dari Persepsi, Klaten. (Dilaporkan M. Firdaus, Deputy SEN ASPPUK)