“Habis..bis..bis…dagangan saya kala itu. Dagangn saya di pasar gede yang telah dibangun bertahun-tahun habis dalam sekejap, karena terbakar api saat 1998”, kenang Sri Handayani, warga solo yang mangkal di Pasar Gede, Surakarta bertahun-tahun. Ia tertunduk sejenak sebelum melanjutkan ceritanya, “Mungkin bisa dibilang saya akan menjadi calon kaum miskin yang suka ngantre BLT, kalau LKP tidak menolong dengan memberi pinjaman modal untuk memulai usaha kembali”.
Itulah sepenggal cerita dimana kerja ekonomi bisa menolong perempuan yang hampir jatuh dalam kemiskinan secara mendadak, bisa beranjak ke level kesejahteraan. Ibu Sri handayani merupakan potret hidup penduduk sederhana yang tersebar di belahan Indonesia, bahkan masyarakat di sekitar kita. Ia tidak bisa hidup bila tidak bekerja dan memiliki penghasilan. Disitulah kemudian LKP sebagai lembaga koperasi, selain mensuport permodalan juga membantu pening katan kemampuan dirinya. Persis apa pernah dikatakan Gus Dur, mantan presiden RI keempat, bahwa perekonomian masyarakat akan tumbuh secara alami bila pemerintah yang korup tidak ikut-ikutan. Dalam nagara kesejahteraan, pemerintah sejatinya mensejahterakannya. Yang kita alami malah sebaliknya. Adanya Kementrian Koperasi misalnya, bukan memperdayakannya, malah memperlambat tumbuhnya koperasi yang sehat dan baik.
Beberapa kondisi paradox itulah yang dipotret ASPPUK selama 2 bulan terakhir ini. Kegelisahan ASPPUK sejatinya telah dirasakan NGO yang selama ini bekerja dalam pemberdayaan ekonomi rakyat di level akar rumput. Bantuan pemerintah kepada rakyat tiap tahun naik bagai gelombang tsunami, namun berdampak kecil bagi penurunan kemiskinan. Sebagai contoh, terlihat di APBN 2011 yang mensyaratkan kemiskinan menjadi 11,5-12,5% dari13,33% tahun 2010, namun data BPS memperlihatkan persentase kemiskinan tahun 2011 hanya turun 12,49 %. Hal itu berarti setiap tahun kemiskinan menurun dibawah 1 %. Padahal anggarannya setiap tahun naik. Dimulai tahun 2006 sebesar 4,2 triltun, tahun 2007 sebesar 46,6 triyun, 2008 sebesar 53,1 trilyun, 2009 sebesar 60,6 trilyun, 2010 sebesar 80 trilyun, 2011 sebesar 84 trilyun dan 2012 sebesa 99 trilyun. Apa yang salah dengan ini ?
Salah satu temuan draft kajian ASPPUK memperlihatkan bahwa minimnya grand desain pengembangan UMKM sebagai strategi penanggulangan kemiskinan menjadi akarnya. Ditemukan program permodalan bagi perempuan atau yang dinamakan SPP (simpan pinjam perempuan) – salah satunya — yang menjadi bagian dari PNPM berada dibawah Kementrian Dalam Negri. SPP merupakan program permodalan bagi perempuan melalui pendekatan kelompok. Banyak masyarakat yang menolak termasuk kepala desa, karena takut tidak bisa mengembalikannya. Ini bisa dipahami karena tidak ada kegiatan pendudukung yang “menggoreng” permodalan yang di dapat. Setelah dilihat dalam RK KL (rencana kerja kemenrtian dan lembaga), kegiatan yang mengirinya seperti peningkatan kemampuan kelompok masyarakat termasuk perempuan dalam berusaha, berada dibawah kewenangan Kemenkop UKM, Mentri Perindustrian, Mentri Social, Mentri Ekonomi Kreatif, bahkan Kementrian Pulau dan desa Tertinggal pun memiliki pemberdayaan ekonomi serta Kementrian Pemberdayaan perempuan dan anak. Sebagaimana diketahui bersama, koordinasi antar departemen dan kementrian belum berjalan baik. Akibatnya mereka berjalan bak tidak ada konduktornya. Sehingga kemiskinan pun melambat bagai kura-kura.
Itulah salah satu point temuan ASPPUK yang disampaikan pada FGD, tgl 18 september, 2012, di hotel Cemara, Jakarta Pusat. Acara yang dihadiri kalangan CSO yang selama ini bergerak di pemberdayaan ekonomi dan advokasi anggaran, pendampingan perempuan, asosiasi jurnalis, Bappenas, Kementrian PP, seperti tersadar akan informasi itu. Peserta pun memberi masukan dan memperkaya temuan serta analisis berdasarkan pengalamannya. Bahkan ada peserta yang mengakui pernah melakukan kajian serupa dengan waktu yang cukup lama di tahun sebelumya dan ada juga yang sama namun daerahnya berbeda. Mereka bilang temuannya tidak jauh berbeda. Saling memberi pengkayaan menjadi ajang berbagi dan saling menguatkan dintara CSO dan pihak pemerintah untuk saling berkomunikasi.
Di akhir-akhir acara, mereka bersepakat bahwa informasi seperti itu harus terus didalogkan dengan kementrian terkait dan juga anggota DPR RI, dimana merekalah yang selalu mengkritisi tugas-tugas pemerintah dalam pembangunan nasional. ASPPUK sejatinya telah mengudang anggota dewan dari komisi VIII (yang membidangi pemberdayaan perempuan), namun beberapa saat sebelum acara, dia membatalkan karena memiliki agenda mendadak dengan kemenrtrian agama, begitu bunyi sms yang dikirim kepada penulis. Padahal di pertemuan pertama, mereka hadir dengan sejumlah informasi. Namun begitu, hasil temuan ini akan disampaikan kepada legeslatif meski melalui tenaga ahlinya.
(Dilaporkan M. Firdaus, deputy sen ASPPUK)