“Otonomi” merupakan kata subtantif dan sarat makna di kelembagaan koperasi. Ia mewarnai aura kelembagaanya. Secuil praktek itu telah dilakukan sejumlah koperasi yang baik, sehingga ia mampu menjadi organ otonom, independen, mandiri dan mampu memberdayakan ekonomi-politik warga guna meningkatkan kesejahteraan secara ekonomi dan berdaya kesadaran-kritisnya.
“Saya sudah bertahun-tahun di dalam koperasi. Kami tidak pernah didukung pendanaan, terutama oleh Pemerintah. Kami bisa dan itulah yang kami percayai dalam koperasi, bahwa kami perlu memupuk kemandirian, sehingga kami tidak mudah diintervensi”, ungkap Tisna Ansari, sesepuh Inkopdit (Induk Koperasi Kredit), yang memiliki 2 jutaan anggota di seluruh Indonesia, Selasa, tgl 19 Februari 2013, di rumah makan Munik, Matraman, Jakarta, di tengah-tengah aktifis, pelaku gerakan koperasi dan pengacara, saat safari telaah atas UU N0.17 Tahun 2012 tentang perkoperasian.
“Sayangnya, elemen penting itu tidak secara jelas mewarnai dalam setiap pasal di UU koperasi yang baru”, lanjut Tisna. Hal senada diugkap Mia Arriayana, sekretaris eksekutif nasional ASPPUK yang memfasilitasi ribuan perempuan usaha kecil dalam bentuk koperasi. Baginya kemandirian dalam berbagi bentuk terutama dalam hal permodalan di koperasi hal merupakan hal mutlak. Bercermin dari pengalaman lanjutnya, koperasi yang pendirianya disuntik dana dari dari pihak luar (pemerintah misalnya) tidak berlangsung lama. KUD (koperasi unit desa) sebagai contoh. Abas Iliat, manager Inkopdit, yang hadir dalam pertemuan juga mengatakan senada bahwa UU ini menyimpan persolan di definisi, peran badan pengawas dan permodalan.
Anehnya, seperti terungkap dalam Bab I pasal 1 UU N0.17 2012, terungkap bahwa “koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perorang atau badan hokum koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi kebutuhan bersama dalam bidang ekonomi, social, budaya sesuai dengan nilai dan prinsipnya”. Penjelasan kata “otonomi” di situ masih samar-samar, sehingga muncul pasal yang membolehkan pihak luar terutama pemerintah dalam pendanaan. Pasal 1 ayat 11 membahas tentang modal penyertaan yang berupa modal atau barang dari perorangan dan lembaga untuk memperkuat permodalan koperasi. Ayat ini menjadi karpet merah bagi permodalan luar untuk ikut mempengaruhi indepensi koperasi sebagai lembaga demokrasi ekonomi rakyat.
Di sisi lain, UU ini masih mendukung keberadaan Dekopin (dewan koperasi Indonesia) yang menjadi satu-satunya organisasi koperasi. Sejatinya, dewan koperasi tumbuh dari bawah dan dibiayai koperasi-koperasi yang menjadi anggotanya. Di tahun 2013, sebesar Rp 1.450.497.547.000,- teralokasi untuk pengembangan koperasi termasuk perkuatan Dekopin dari APBN.
Itulah beberapa pasal yang dinilai aktifis gerakan koperasi melenceng dari jatidiri koperasi sesuai ICA. Pertemuan di rumah makan MUNIK, merupakan safari pertemuan yang membahas tentang keprihatianan aktifis, gerakan koperasi dan ekonomi kearakyatan, yang telah berlangsung maraton. Dimulai dengan diskusi yang berbarengan dengan penyampaian siaran pers kepada jurnalis, digagas ASPPUK di warung daun TIM, Jakarta, Senin 21 januari 2013. Sontak issue ketidakberesan koperasi menyeruak ke media. Saat itu penggiat koperasi, NGO yang konsen terhadap gerakan ekonomi kerakyatan sepakat unutk mengadakan pertemuan lanjutan guna mengkritisi pasal krusial UU yang disahkan pada Oktober 2012.
Sebuah tim kecil mendiskusikan dengan inisitaif sendiri sejumlah pasal kritis di kantor secretariat PPSW (Pusat Pengambang Sumberdaya Wanita), Jakarta. Hasilnya dibawah ke arena pembahasan lanjutan di kantor Bina Desa di Jalan otista, Jakarta Timur, akhir Januari 2013. Dari rentetan pertemuan, lahirlah sejumlah pasal yang tidak sesuai dengan jatidiri koperasi. Kebutuhan akan lembaga yang konsen di bidang hukum seperti LBH (lembaga bantuan hokum) mendesak untuk digandeng.
Loby dan diskusi informal dilakukan dengan kawan-kawan LBH, hingga akhirnya mereka berkenan hadir untuk mendengarkan keluhan penggiat gerakan koperasi terhadap UU ini. Setelah berdiskusi intensif, LBH berkomitmen untuk mendukung gerakan perubahan kebijakan koperasi yang tidak sesuai jatidiri. Edi, dari LBH, bahkan meyakinkan penggiat koperasi bahwa sejumlah pengacara pro-ekonomi rakyat siap mendukung gerakan untuk mengugat kebijakan UU no.17 2012 yang tidak sesuai dengan jatidiri koperasi. Perjuangan pun layak ditunggu. (diberitakan oleh ids)