Bulan Maret, tepatnya di hari ketujuh, penduduk dunia mengenangya sebagai hari perempuan sedunia. Telukis di bait sejarah, sederet ungkapan yang menempatkannya pada posisi sama pentingnya dengan laki-laki. “if you empower men, you just empower individual, but if you empower women, you empower the nation”, satu ungkapan penulis di awal tulisan di buku, “Mengakhiri Ketergantungan, Membuka Jendela Dunia”, Jakarta: ASPPUK dan Ford Foundation, tahun 2012.
Di bait kata pengantar, Dina Lumbantobing, pendiri dan ex Badan Penurus ASPPUK yang kini kepala Kajian WCC Sinceritas-Pesada, dengan lugas menulis,”Pergilah ke mana saja di seantero bumi Indonesia, PUK (perempuan usaha kecil) selalu ada. Segala istilah dari zaman dulu sampai sekarang, dilekatkan kepada mereka. Di SUMUT, mereka digelari ‘inang-inang’, “parrengge-rengge”; di Jawa disebut “bakulan”; di Sulawesi “ina-ina”; di Maluku “papalele”; sementara media pernah menyebut mereka ‘jenggo ekonomi/jengek”. Semua istilah ini sebenarnya menunjuk kepada PUK yang selalu eksis, gesit, berani serta mampu bertahan dalam segala situasi. PUK mempunyai kelenturan untuk merespons dan menyesuaikan diri dalam segala keadaan, bahkan dalam segala bentuk krisis”.
Bila ditelusuri coretan yang dilukis perempuan dan pendampingnya di buku ini, tersirat dan tersurat kegigihan perempuan untuk mempertahankan kehidupan melalui pengembangan diri dan ekplorasi sumber-sember kehidupannya. Widi Ullu, penjual kripik dari NTT, melalui jatuh-bangun dan berganti jenis usaha ia lakoni hingga mampu menjadi pelatih di tingkat kaum perempuan. PHK (pemutusan hubungan kerja) pernah ia rasakan, sehingga memaksanya untuk memutar otak guna mempergunakan modal sisa, hingga kini menjadi produsen kripik pisang sukses. Lain lagi cerita Fitria Husein, anggota JARPUK Makasar. Selepas ditinggal suami untuk selamanya karena Tumor paru-paru, ia hidup bersama tiga buah hatinya yang masih kecil. Usaha bolu kukus menjadi awal usahanya. Dengan harga jual Rp 1000,- ia titipkan ke sejumlah warung dan ternyata disukai masyarakat. Sejarah pun bermula saat ia bertemu dengan pendamping LML, Makasar (anggota ASPPUK) untuk aktif di kelompok perempuan di tengah aktifitas posyandu. “Kami kemudian bertandang ke kantor LML. Di sana rupanya sedang berlangsung rapat penyusunan rencana pendampingan untuk perempuan usaha kecil. Melihat jalannya rapat, hati saya kontan terpaut. Saya bilang ingin bergabung. Saya bersama 10 teman kemudian membentuk JARPUK di Kelurahan Ba’baengbaeng. Organisasi ini diresmikan pada 25 Januari 2004”, tulisnya di hal. 55.
Membaca tulisan para perempuan dan pendampingnya seolah kita diajak untuk melihat realitas diri dan masyarakat sekitar. Rakyat yang hidup di negara yang dinilai telah menjadi “middle income country”, karena ada belasan manusia masuk dalam deretan 1.426 orang terkaya di dunia, namun kesenjangan antara kaya-miskin makin akut. Kaum perempuan menjadi penerima getahnya. Lihat saja, angka kematian ibu berjumlah 9.500 saat melahirkan dan 157.000 bayi dan 200.000 anak balita meninggal dunia setiap tahunnya. Bahkan di wilayah sulit dan daerah tertinggal, AKI (angka kematian ibu) mencapai 362 per 100.000 kelahiran hidup, melebihi angka batasan nasional sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup.
Paradoknya, para perempuan merupakan deretan dari 60% dari total UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) yang berjumlah 53.823.732. Jumlah itulah yang menyumbang pengurangan angka kemiskinan di Indonesia dan peningkatan kesejahteraanya. Perempuan mampu menjadi katalisator dalam peningkatan kesejahteraan masyakat Indonesia yang makin lebar kesenjangannya. Buku yang menghimpun tulisan perempuan-perempuan gigih dan pendamping LSM mampu menoreh sejarahnya. Kumpulan tulisan tersebut makin bernas dan bertenaga, hasil dari editor kenamaan P. Hasudungan Sirait (wartawan senior) dan Rach Alida Bahawaris (wartawan GATRA). Semoga di hari Perempuan, buku ini menjadi kado bagi kaum perempuan Indonesia. Selamat membaca (ids).