Sejak bulan Januari 2013 lalu ASPPUK telah menggagas sebuah diskusi publik mengundang sejumlah lembaga masyarakat sipil di Jakarta untuk merespon UU Koperasi baru No 17, yang telah disahkan pada akhir tahun 2012.
Hasilnya, ada respon yang sama antara ASPPUK dengan berbagai pandangan lembaga-lembaga lain yang hadir, diantaranya ada Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I), Kapal Perempuan, Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW), Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Bina Desa dan berbagai jurnalis media yang hadir. Dalam diskusi tersebut kita memaparkan secara umum subtansi UU Koperasi No 17 Tahun 2012 yang merubah dan menciptakan semangat Koperasi menjadi semangat korporasi. Konsep dan prinsip Koperasi dibuat menyesuaikan diri dengan pasar bebas dan juga pasar global dengan semangat kapitalisme. Hal ini jelas akan berdampak luar biasa bagi perkembangan perkoperasian di Indonesia kedepan.
Bila kita lihat dari pasal pertama mengenai definisi koperasi, nampak terlihat bahwa pemerintah tidak lagi memandang koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat. Koperasi kedepan diwajibkan harus berbadan hukum dan tidak bisa sekedar badan usaha. Sejumlah pasal-pasal dalam UU Koperasi baru ini memberikan ruang bebas bagi masuknya arus modal dari luar (non anggota koperasi). Bukankah hal ini akan mengancam kedaulatan segenap anggota koperasi sebagai stakeholder utama? Belum lagi pasal yang mencantumkan adanya lembaga Dekopin sebagai wadah tunggal koperasi di Indonesia. Maka atas berbagai kajian terhadap pasal per pasal dalam UU tersebut, kami bersepakat menggagas sebuah koalisi untuk memprotes UU ini dan bersepakat melakukan Judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sejak bulan Januari 2013 hingga bulan April 2013 ini koalisi koperasi yang memiliki semangat demokratisasi ekonomi ini telah secara aktif melakukan sejumlah rangkaian agenda dan pertemuan-pertemuan terjadwal. Dalam perkembangan koalisi ini disepakati untuk memprioritaskan lembaga-lembaga yang konsern terhadap isu dan masalah koperasi. Adapun lembaga-lembaga yang tergabung dalam koalisi ini diantaranya adalah ASPPUK, Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I), PPSW Sekretariat, PPSW Sumatera, PPSW Pasoendan, PEKKA, Kapal Perempuan, Bina Desa, Bina Swadaya Konsultan, Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) dan LBH Jakarta selaku tim kuasa hukum koalisi ini.
Setelah mematangkan kertas posisi bersama sebagai bahan Judicial Review, koalisi ini pada tanggal 8-9 April 2013 lalu mengagendakan pertemuan Konsinyering di Wisma Hijau Cimanggis untuk mematangkan pasal-pasal gugatan yang akan diajukan dalam Judicial review. Ada 4 poin pasal gugatan dari koalisi ini, yakni Pasal Definisi Koperasi; Modal Penyertaan; Pasal mengenai Non Anggota, Pengurus dan kewenangan Pengawas; dan terakhir adalah pasal mengenai keberadaan Dekopin dalam UU tersebut. Sebenarnya masih terdapat sejumlah keberatan terhadap pasal-pasal lain dalam UU ini, tapi kami hanya memilih fokus pada 4 pasal saja yang kita nilai paling krusial.
Untuk lebih mematangkan draft yang telah dibuat, maka Koalisi Koperasi pun melakukan pertemuan FGD pada tanggal 9 April 2013 dengan beberapa ahli, diantaranya adalah Prof. Dawam Rahardjo dan Pak Bambang Ismawan (Ketua Pembina Yayasan Bina Swadaya). Adapun salah satu peserta koalisi yakni LSP2I, melalui Direkturnya, Suroto Kakaroto, juga kita tunjuk sebagai saksi ahli dalam persidangan di MK nanti. Hasil diskusi FGD di Wisma Hijau kemarin, adalah untuk mendapatkan gagasan, masukan dan pendapat dari Prof. Dawam Rahardjo dan juga Pak Bambang Ismawan, sehingga dapat memperkuat gugatan permohonan koalisi ini di MK.
Dalam diskusi FGD tersebut ada beberapa hal penting dari pernyataan Prof. Dawam Rahadjo terkait pemahaman koperasi yang perlu kita pahami bersama, berikut ini saya bagikan kepada kawan-kawan semua. Menurutnya UU Koperasi yang baru ini memang dibuat untuk membuat Koperasi melakukan penyesuaian dan penetrasi ekonomi dengan pasar bebas. Koperasi kini mau disejajarkan dengan BUMN dan prusahaan dan didefiniskan sebagai badan hukum, serta menekankan pada perkumpulan modal dan bukan perkumpulan orang. Soal perjuangan terhadap Koperasi saat ini adalah tergantung pada kekuatan gerakan kita sebagai gerakan koperasi dan bukan pada pemerintah. Secara umum ia juga menyampaikan mengenai koperasi di Indonesia yang dianut dalam dua aliran koperasi. Pertama, adalah koperasi yang diperjuangkan melalui legislasi atau perundang-undangan dan dijalankan oleh pemerintah. Negara jepang adalah contoh untuk kasus ini, yang dengan tegas mengatur perihal perkoperasian di negaranya. Kedua, adalah koperasi yang dijalankan melalui proses kelembagaan, dimana implikasinya tentu saja berbeda dengan yang pertama. Model koperasi dalam konsep ini ditentukan oleh koperasi-koperasi itu sendiri, baik koperasi yang bersifat Primer, Sekunder maupun Tersier, dimana tidak ada bantuan maupun intervensi dari pemerintah dan sifatnya otonom. Koperasi-koperasi ini memiliki pedoman sebagai koperasi dengan jatidiri internasional, yakni mengusung prinsip otonom, menolong diri sendiri, mandiri dan bersolidaritas.
Menurut Dawam, ada sejumlah catatan kegagalan koperasi ketika didorong mengadopsi pasar bebas. Koperasi akan rentan rusak ketika mengijinkan adanya aliran modal besar dari non anggota yang masuk kedalam, dan pastinya akan meninggalkan kepentingan para anggota koperasi tersebut. Modal besar yang masuk kedalam koperasi akan membuat terjadinya konflik kepentingan modal dan gagalnya koperasi tersebut dalam bertahan. Adapun Koperasi yang berhasil besar di negri ini umumnya membutuhkan waktu jangka lama untuk dapat berkembang dan berhasil. Butuh waktu puluhan tahun dan itupun jumlahnya dapat dihitung. Betapa sedikit koperasi yang besar yang berhasil di negri ini, dibandingkan total keseluruhan koperasi yang ada dan beroperasi di negri ini. Itulah dasar pemahaman dibalik pembuatan UU Koperasi ini, yang berupaya mengadopsi sistem perusahaan kedalam koperasi dengan alasan untuk memajukan koperasi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya badan pengawas dengan wewenang besar dalam mengontrol perkembangan koperasi. Namun menurut Dawam hal ini juga akan gagal karena hanya teori dan aturan formal saja. Menurutnya, UU Koperasi yang ada di negri ini adalah peninggalan UU Kolonial. Kita perlu menemukan identitas koperasi sebagai jatidiri gerakan koperasi kita. Bagaimana mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Prof Dawam menghimbau, adalah perlu bagi kita untuk dapat membuat sebuah naskah akademik mengenai koperasi di Indonesia, sebagai bahan ilmiah yang harus dikaji baik-baik. Ia juga memberikan asumsi akan adanya tantangan dan kesulitan dalam memenangkan gugatan permohonan terhadap UU Koperasi di MK, mengingat MK dalam pandangannya tidak memiliki kapasitas pemahaman yang kuat mengenai ekonomi, khususnya perkoperasian di Indonesia. Karena selama ini belum ada landasan UU koperasi yang kuat di Indonesia, walau tetap bisa ditarik melalui Pasal 33 yang mengatur perekonomian bangsa. Dalam Judicial Review ini kita menarik permasalah koperasi yang masuk dalam konteks ilmu dan teori ekonomi yang akan ditarik kedalam konteks hukum. (maeda)