Menenun bagi kebanyakan perempuan Indonesia di masa lampau menjadi aktifitas sakral. Ia dipenuhi puja-puji, pengharapan dari produknya menjadi karya agungnya yang akan dipersembahkan bagi sang pujaan. Maka tak ayal, dalam selembar kain tenun, si perempuan mencurahkan tenaga, pikiran dan cucuran keringat demi selembar kain.
Karena keseriusan nya itulah, tak pelak satu kain tenun bisa selesaikan penenun dalam hitungan minggu, bahkan bulan. Saking sakralnya, terkadang kalimat puja-puji, seperti dzikir dalam Islam, beberapa pujian nak hikmat dari agama lain mengiringi saat penenun duduk tenang di depan ATBM (alat tenun bukan mesin). Dalam kidung yang didendangkan, sang penenun — yang kebanyakan perempuan — bersimpuh di hadapan ilahi agar kain tenunnya menjadi “persembahan” penuh nilai bagi pujaan hatinya.
“Sejarah tenun dalam kehidupan perempuan Indonesia sarat dengan nilai dan energi yang mengandung kesungguhan perempuan atas kerjanya“, ungkap ibu Cut Kamaril, dari CTI (Cita Tenun Indonesia) yang juga dosen desain pada satu Universitas di Jakarta, dalam satu bincang-bincang dengan NGO jaringan ASPPUK yang bekerja di wilayah aktifitas tenun, 25 April 2013 di Bogor. Maka tak heran, memang hasil tenun yang diproduksi kaum perempuan di masa lalu langgeng dan memiliki nilai “magis”. Seakan kain itu sarat akan aura yang tak lekang dengan waktu. Seolah-olah, menenun layaknya kegiatan beribadah dalam artian sehari-hari. Karena dalam berkarya, seluruh jiwa raga sang penenun tercurahkan kepada karyanya dengan iringan doa dan puja-puji yg sakral.
Nilai dan sarat pesan itulah yang mengiringi produksi selembar kain tenun saat itu. Alam dan harapan akan kelangsungan kehidupan untuk generasi mendatang menjadi satu kesatuan dalam kain tenun. Warna-warna yang memancar darinya terbuat dari ramuan dahan dan daun pohon yang tumbuh di alam sekitarnya. Sehingga ia mampu menghasilkan perpaduan warna elok nan indah. Pancaran pewarnaan alami serasa meneduhkan mata yang melihatnya. Seakan-akan ia turut menghipnotis manusia dengan pesan yang terkandung di dalam kain.
Sayangnya kenangan itu sedikit-sedikit redup seiring perjalanan waktu. Kini, produksi tenun lambat namun pasti hilang aura magisnya seiring dengan derap konsumerisme yang memerlukan barang serba instan. Apalagi dengan menjamurnya produk tenun massal yang diproduksi pabrik yang memakai bahan sintetis, membuat kain tenun yang sarat nilai kian terpinggirkan. Seakan kehidupan global telah didominasi produk tenun massal buatan pabrik dengan biaya murah. Konsumen pun tidak mempunyai pilihan lain, karena memang minimnya informasi akan bahaya maraknya produk tenun sintetis dibanding tenun yang ramah lingkungan.
Atas dasar itulah, sebelum Indonesia meratapi akan kehilangan daya nilai dan megis dari produk tenun tempo dulu, ASPPUK berinisiatif untuk mendalami dan menggali kekayaan alam warisan leluhur tersebut. ASPPUK ingin kekayaan tenun yang menyimpan sejumlah nilai kian langgeng dan berguna bagi kehidupan alam secara keseluruhan. Tenun juga ternyata menjadi tumpuhan bagi 1/3 perempuan miskin berekonomi rendah di Indonesia dalam mempertahankan kehidupan ekonominya selain warisan kekayaan alam budaya dan nilai. Oleh karenanya bersama lembaga lain, seperti CTI (cita tenun indonesia), NTFP, dan Hivos, ASPPUK bekerja sama dengan Uni Eropa berinisiatif untuk memberdayakan dan mengembangkan tenun yang ramah lingkungan di 16 kabupaten di 8 propinsi di Indonesia, melalui NGO anggota yang memiliki aktiftas penenunan yang telah berlangsung lama. Semoga sumbangsih ASPPUK berguna bagi kehidupan Indonesai yang lebih baik. (ids).