JAKARTA, ASPPUK- Indonesia sebagai negara yang memegang Presidensi Group of Twenty (G20), perlu memanfaatkan momen tersebut untuk mengajak seluruh dunia agar bersama-sama mencapai pemulihan yang lebih kuat dan berkelanjutan.
Terutama dalam 3 isu prioritas yaitu arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, serta transformasi digital dan ekonomi.
Hal tersebut disampaikan Co-Chairs C20 Herni Ramdlaningrum ketika berbicara di pada Media Gathering bertema “Mendorong Isu Prioritas Gender Equality and Disability Working Group (GEDWG) dalam Presidensi G20 di Jakarta beberapa hari yang lalu.
Sebagai salah satu kelompok yang terlibat dalam G20, Civil20 (C20) menjadi wadah organisasi masyarakat sipil untuk terlibat bersama pemerintah dalam memberikan pengaruh terhadap penyelesaian isu-isu krusial di dunia melalui forum G20.
“Civil 20 (C20) merupakan salah satu forum penting yang terus memberikan ide dan solusi bagi G20 termasuk menyuarakan aspirasi rakyat dengan para pemimpin G20,” ujar Herni
Ketika C20 merupakan wadah organisasi yang menghubungkan masyarakat sipil dengan pemerintah di forum G20, diharapkan suara-suara masyarakat dapat tersampaikan secara lebih efektif.
Melalui C20, organisasi masyarakat sipil juga ingin memastikan bahwa isu kesetaraan gender, disabilitas dan kelompok marjinal lainnya terintegrasi kedalam sejumlah keputusan dan rekomendasi yang akan diambil.
Saat ini, di C20 terdapat 7 working group, dan keseluruhannya tidak terlepas dari isu gender, disabilitas dan kelompok marjinal lainnya, meskipun working group gender yang paling sering mendiskusikan hal tersebut.
“Kita juga memastikan bahwa working group gender ini mampu melakukan penetrasi isu-isunya kepada working group yang lain,” katanya.
Selama ini, Gender Equality and Disability Working Group (GEDWG) merupakan salah satu working group yang paling aktif di C20. “Saya mencatat kurang lebih 5 kali kegiatan diselenggarakan yang perlu untuk dipertahankan sehingga sampai pada C20 summit atau G20 summit,” terang Herni.
Media gathering menjadi salah satu bentuk kegiatan untuk mendorong isu prioritas gender equality and disability dalam Presidensi G20, meskipun selama ini C20 telah mendorong media sebagai perantara kepada publik
“Itu sebabnya, pengarusutamaan gender melalui media sangat penting dilakukan,” ujarnya.
Hal itu dilakukan, mengingat tantangan untuk mengatasi ketidakadilan gender semakin berat dari hari ke hari, meskipun perjuangan telah dilakukan oleh berbagai komponen, termasuk masyarakat sipil.
“Kita mengetahui persoalan saat ini semakin kompleks ditambah pandemi dalam 3 tahun ini sempat melumpuhkan banyak hal, sehingga membuat cita-cita yang sedang diperjuangkan menjadi tertunda,” urainya.
Sementara itu, di belahan dunia lain terjadi ancaman keamanan dan darurat iklim, seperti yang dirasakan pada beberapa tempat di Indonesia. Situasi kompleks itu menciptakan situasi yang tidak menentu dan kian membuktikan bahwa ada isu yang perlu diperjuangkan bersama-sama, dengan tidak melepaskan persoalan kesetaraan gender.
Hal itu, utamanya bagi kelompok marjinal (perempuan, anak, lansia, penyandang disabilitas dan kelompok lainnya) menganggap kompleksitas yang terjadi sangat merugikan mereka secara keseluruhan. “Tidak hanya menghadapi satu persoalan terkait iklim namun juga marjinalisasi,” katanya.
Kepemimpinan Perempuan
Di sisi lain pada konteks pencapaian The Sustainable Development Goals or Global (SDG’s), jika menggunakan pengertian global, maka hanya menyisakan 8 tahun lagi untuk melakukan peningkatan keadilan gender.
“Yakni sampai tahun 2030. Jika kita mau memanfaatkan kesepatakan global itu, waktunya semakin dekat,” ujarnya.
Poin-poin yang terdapat di SGDs, khususnya tujuan nomor 5 tentang kesetaraan gender, menurut Herni, sudah mendekati yang diinginkan. “Yang paling mendekati pencapaian kesetaraan gender baru pada indikator keterlibatan perempuan dalam pemerintahan lokal,” pungkapnya
Di berbagai negara, keberhasilan tersebut dirayakan seiring kemajuan yang cukup signifikan, tentang peran dan partisipasi perempuan dalam pemerintahan lokal. “Tetapi bagaimana di 16 indikator lainnya, ini ternyata masih menghadapi banyak tantangan,” kata Herni.
Terkait dengan prinsip, perempuan menanggung beban krisis dan konflik yang lebih berat ketimbang laki-laki, dia mengamininya. Oleh sebab itu, dalam situasi krisis atau konflik, perempuan harus menjadi bagian dari kepemimpinan kolektif.
“Kecuali kita mewujudkan kesetaraan gender, saya yakin dunia tidak akan pernah bisa mengatasi kelaparan dan perubahan iklim,” terang Herni
Lebih jauh, dia mengatakan, hanya dengan kehadiran perempuan saja, perundingan damai bisa dilakukan. Partisipasi dan kehadiran perempuan dalam kebijakan sosial dan ekonomi akan berdampak langsung bagi semua orang.
“Kue dari pembangunan akan dirasakan secara sama dan keadilan juga akan kita nikmati bersama,” imbuhnya.
Hal senada diungkapkan Mike Verawati, Koordinator GEDWG Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia. Menurutnya, penting untuk menguatkan kepemimpinan perempuan secara inklusi.
“Dan tidak melihat bahwa kepemimpinan perempuan itu pada level tertentu saja,” katanya
Kemudian diharapkan, kepemimpinan perempuan dalam G20 mampu merangkul para pemimpin lainnya dalam berbagai level. “Jika perlu sampai pada tingkat akar rumput,” ungkap Mike.
Saat perempuan mampu berjuang dan menghasilkan kepemimpin yang kuat, Mike berkeyakinan, sejumlah perubahan-perubahan penting dan mendasar di akar rumput akan terjadi.
“Bagaimana mereka menguatkan ekonominya, mereka memperkuat akses terhadap hak dasar,” ucapnya
Kepemimpinan perempuan juga harus diakui, bukan hanya sebagai sebuah kontribusi belaka, seperti adanya sosok perempuan, namun harus diakomodir sebagai bagian dari agenda G20. “Kita arahnya kesana,” kata Mike.
Bukan Hanya Angka
Mike Verawati mengingatkan bahwa forum G20 merupakan momentum yang sangat baik untuk dimanfaatkan seiring adanya ruang-ruang yang harus diisi, sehingga tidak terjebak hanya membicarakan persoalan ekonomi semata.
Selama ini, pertemuan G20 selalu berbicara tentang isu ekonomi yang konteksnya makro. Sementara faktanya, bicara ekonomi tidak hanya terkait angka. Disitulah peran C20 dengan working groupnya hadir untuk mewarnai dan ikut memberikan gagasan/ rekomendasi secara efektif untuk menggambarkan situasi terkini dari lapangan.
“Salah satunya bagaimana memastikan gender equality, disability and social inclusion yang sering disebut sebagai GEDSI,” katanya.
Sudah jamak diketahui, saat berbicara tentang pembangunan, lebih sering diletakkan dalam konteks yang sangat besar (makro), padahal di dalamnya ada persoalan yang saling terkait, seperti pentingnya kesetaraan gender di masyarakat.
“Masalah gender itu yang sebenarnya kita perjuangkan di Gender Equality and Disability Working Group (GEDWG) dalam forum C20,” ungkap Mike.
Selain itu, ketika bicara tentang keadilan ekonomi, pembangunan ekonomi Indonesia sudah mengarah kepada hal-hal yang transformatif, seperti penggunaan digitalisasi, dan lain sebagainya. Namun harus dipastikan apakah konteks penguatan ekonomi yang dilakukan saat ini, baik di Indonesia maupun oleh negara-negara anggota G20 merupakan penguatan ekonomi yang melibatkan semua unsur, termasuk perempuan dan kaum marjinal lainnya.
“Apakah melakukan transformasi sistem ekonomi ke sistem digital akan serta merta menarik atau merangkul semua pihak? Padahal kita tahu masih banyak ketimpangan, dimana kita menghadapi kesulitan terkait literasi digital,” terangnya.
Melihat lebih jauh persoalan gap literasi digital, maka ditemukan kelompok marjinal sebagai pihak yang dirugikan. Mereka merupakan pihak yang terpinggirkan. Mereka adalah perempuan, penyandang disabilitas, lansia, termasuk masyarakat adat.
“Apakah semua itu sama? Bagaimana pengetahuan digital seharusnya bersama-sama dan setara?” tanya Mike.
Sementara itu, Herni menilai ajang G20 acap kali disebut sebagai forum ekonomi negara-negara maju. “Namun kami ingin perspektif yang berbeda, bagaimana ekonomi itu diperdebatkan,” katanya.
Tidak melulu hanya mengenai angka, tetapi bagaimana keadilan itu merasuk pada sendi-sendi seluruh warga negara Indonesia di mana pun ia berada.
Oleh karena itu, isu gender, disabilitas, dan kelompok marjinal lain yang selama ini tereksklusi dari pembangunan, tereksklusi dari peran mereka sebagai aktor pembangunan, tereksklusi dari proses pembangunan dan tereksklusi dari manfaat pembangunan, harus disuarakan bersama di momentum G20.
Lebih jauh Herni mengatakan, pihaknya sudah mengawali semua itu sejak lama. Jauh sebelum forum G20 ada, mereka menganggap hal itu sebagai jantung persoalan, termasuk ketika stigma di masyarakat muncul dengan menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua.
“Perempuan bukan tidak mampu berkompetisi di pasar kerja, namun yang merupakan persoalan mendasar adanya Second Class,” terangnya
Bahkan, para pemimpin seringkali gagal merekognisi dari jantung permasalahan tersebut. Segala konsep, ide dan peta jalan terkait dengan tenaga kerja dan lapangan pekerjaan seringkali tidak mengenali adanya hambatan disana. “Dan itu tidak terselesaikan,” ujar Herni.
Uniknya, pasar juga salah memahami bagaimana peran perempuan dalam aktivitas ekonomi. Oleh sebab itu, sebagai bagian dari Civil 20 yang memiliki mandat penting, bukan saja untuk menyuarakan civil society di Indonesia, tetapi perannya jauh dari itu, yakni merangkul dan membangun solidaritas serta merekognisi persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan di seluruh dunia.
“Makanya kita berdiskusi terus menerus, tidak hanya dengan sesama pemerhati isu perempuan dari Indonesia tetapi juga dari luar Indonesia. Kita ingin mengetahui dari kaca mata interseksionalitas apa yang menjadi persoalan di seluruh dunia,” ungkapnya.
Beruntung forum C20 memiliki momentum untuk terus menerus menyuarakan persoalan yang dihadapi perempuan, disabilitas dan kelompok marjinal lainnya. “Terutama di dalam situasi yang sulit, dalam konteks perubahan iklim, risiko lingkungan dan kebencanaan ini selalu menjadi arus utama,” pungkasnya (Jekson Simanjuntak)