“Gimana ya….? Apa yang harus saya lakukan mengawali langkah guna menyelesaikan masalah yang ada di tengah masyarakat ?”, keluh Leny ray rihi, saat ngobrol santai seteleh makan siang bersama Delmyser M. Ndolu (aktivis YAO).
Keluhan Leny, warga Tarus, kab. Kupang, anggota JARPUK kab. Kupang meluncur begitu saja di tengah obrolan antara Delmy, penulis dan tiga perempuan desa lain partisipan TOT “strategi advokasi mempengaruhi Kebijakan Pelayanan Publik”, Rabu, 21 Agutus 2013. Ia menyatakan bahwa kini dengan temannya tengah mendirikan TK di bangunan SD yang tidak terpakai. Hal itu didasari karena posisi desanya jauh dari jalan besar, sementara pendidikan bagi anak-anak usia dini tidak tersedia di lingkungannya. Berdasarkan itu, dengan rasa ketulusan ia mendirikan TK secara pelan-pelan bersama teman perempuan. Namun ternyata, tidak semua orang tua menyetujui gagasannya. Bahkan ada yang mencibirnya.
“Saya bingung. Harus kemana saya mengadu persoalan ini. Niat saya hanya membantu masyarakat sekitar. Untung, hari ini saya ikut pelatihan advokasi layanan public ini, “ lanjutnya. “Pertama sih saya tidak mengerti materi ini. Namun lama-lama, kok bagus ya. Ternyata saya juga sedang mempunyai masalah yang perlu diadvokasi”, ceritinya dengan semangat. Ia mengaku belum pernah mengikuti pelatihan apapun sebelumnya. Awalnya sih ia hadir ke pusdiklat Yayasan ALFA Omega hanya ingin bertemu dengan kawan-kawan YAO dan forum integritas untuk berdikusi bagaimana menyelesaikan masalahnya. Namun karena ada pelatihan ini, ia pun bergabung. Pelatihan peningkatan kesadaran ini memang diikuti sejumlah kader perempuan dari berbagi organisasi, aparat desa, dan tokoh masyarakat, berlangsung dua hari (tgl 20 – 21 Agustus 2013), di pusdiklat YAO, kab. Kupang, NTT.
Delmy, penulis dan tiga perempuan mendengarkan seksama curahan Leny. Para perempaun yang duduk di sebelahnya memberi pengalamannya selama melakukan advokasi untuk menyelesaikan masalah di kampungnya. Delmy, yang memiliki pengalaman panjang dalam advokasi problem masyarakat, memulai cerita pengalaman serupa di lokasi dampingan di desa lain. Dari ceritanya, Delmy memasukan juga langkah-langkah simpel sebagai inspirasi Leny dan teman-temannya di waktu dekat. Ia menegaskan bahwa kawan-kawan YAO siap membantu dalam menyelesaikannya. Sorot matanya memberi keyakinan Leny bahwa bila ia yakin dan tulus, lambat laun masyarakat dan orang tua murid akan mempercayainya.
Setelah cerita TK, perempuan sebelahnya menyampaikan masalah yang terjadi di lingkungan rumahnya. Menurutnya di dekat rumahnya, yang berdampingan dengan sekolah SMA, telah dibangun lokalisasi. Ia dan beberapa masyarakat resah dengan keberadaannya. Orang tua muri dan guru sekolah risau. Dengan spontan ia berucap, “Apa yang harus saya lakukan ?” Secara ramah, Yati dan Delmy menyampaikan langkah dan pengalamannya yang bisa membantu menyelesaikan masalah tersebut.
Itulah fenomena masyarakat. Aktfitas advokasi – khususnya atas layanan public sejatinya lekat dengan siapa saja yang hidup di masyarakat. Ia secara sadar atau tidak akan melakukan advokasi, minimal untuk kehidupan diri, masyarakat dekat, maupun lingkungan yang terjangkau dengan kehidupannya. Layanan public pun sejatinya dekat dengannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena ia menjadi hak warga setelah mereka membayar pajak, dan Negara wajib menunaikan kewajibannya dengan pelayanan yg baik. “Pelayanan layanan public adalah wajah Negara”, ungkap pak David Pandie, pembantu rector I Undana, saat memberikan masukan di pelatihan. Pelatihan diatas menjadikan advokasi atas layanan public menjadi hal yang dekat dengan kehidupan warga khususnya kaum perempuan miskin. (ids)