“Layananan public adalah hak warga. Rakyat bukan konsumen namun pemilik hak dan pemberi amanat kepada pejabat Negara untuk menunaikannya”.
Itulah ungkapan David Pandie, dosen Fisip Undana, Kupang NTT, saat pelatihan advokasi layanan public tgl 20-22 Agustus 2013, yang terngiang di benak Suryati Adu, warga kelurahan Tarus, kec. Kupang tengah, kab. Kupang. Ungkapan lain yang tak kalah membekas Suryati ialah bahwa baik buruknya pelayanan public, tak sekedar urusan kinerja, namun ia cermin berfungsinya suatu Negara. Ia ingat terus ungkapan itu.
Hingga akhirnya saat ibu Suryati Adu yang juga anggota Jarpuk kab. Kupang, tergelitik saat mengurus surat identitas (KTP: kartu tanda penduduk) di kantor lurah Tarus, kec. Kupang Tangah, kab. Kupang, tanggal 23 Agutus 2013. Berjam-jam ia luangkan waktu untuk mengurus secarik surat identiftas tersebut. Meski fenomena tersebut telah ia dengar dari berbagai ungkap warga dan tetangga cukup lama, namun kini ia mengalaminya. Ia geram dan kesal dengan kondisi kantor lurah yang lambat dalam melayani warganya.
Kekesalan makin lama makin memuncak. Ceramah pak David tentang layanan public melintas di ingatannya. Dalam hatinya ia berujar, “Kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Saya atas nama warga harus mengajukan kebaratan terhadap situasi ini”. Setelah ditunggu beberaja jam, saat yang tepat pun datang. Dengan kegeram yang ditahan, ia datangi ruang pak Lurah Tarus dan berkata, “Pak Lurah, saya protes dengan pelayanan pengurusan surat saya yang bertele-tele. Harusnya aparat bapak yang mengurus surat-surat ini berkewajiban sebagai apara negara. Dan kami sebagai warga harus layak mendapat layanan sebaik-baiknya”.
Pak Lurah kaget dengan sikap berani seorang perempuan warganya. Tidak sebagaimana biasanya, warga desanya yang diam dan menerima kondisi apa pun. Secepat itu, pak Lurah menyanggahnya, “Loh kok ibu berani berkata begitu. Saya dan staff kan pejabat Negara, harusnya ibu mengetahui posisi kami”.
Karena pak Lurah sudah memulai dengan tugas dan peran aparat Negara, maka dengan tidak sabar, ibu Suryati mengungkap apa yang sebaiknya diperankan aparat Negara – meski dalam tingkatan desa – dalam konteks pelayanan public – seperti pengurusan surat-surat – bagi warganya. Itu sudah menjadi kewajiban dan tugas aparat Negara yang diberi amanat rakyat. Dan ia sebagai warga bisa bisa menyampaikan pengaduan kepada lembaga Negara yg berwenang. Suryati menyampaikannya dengan merujuk berbagai aturan pemerintah, yang bahkan sebagian besar layanan public harus menerapkan standar pelayanan minimal (SPM).
Sang Lurah pun tercenggang. ia bagai tidak percaya dengan keterangan yang disampaikan seorang warganya dengan jelas dan percaya diri. Hingga akhirnya ia pun bertanya kepada seorang warganya perihal keterangannya atas layanan public. Ibu Suryati membuka kartunya bahwa ia mendapat informasi tersebut dari pelatihan di YAO, tgl 20-22 agustus lalu. Di akhir dialog, pak Lurah meminta maaf kepadanya atas kelambanan pelayanan. Menurutnya hal itu terjadi karena stafnya makin berumur, sehingga berdampak kepada kecepatan layanannya. Ia pun minta dimaklumi.
Mudah-mudahan kisah ibu Suyati Adu, membuka pintu layanan public makin baik khususnya di level paling dekat dengan warga. Semoga. (Dituturkan Yanti Malek kepada ids)