Mardiana Deren, salah satu masyarakat adat di Barito Timur ketika berbicara C20 secara daring beberapa waktu lalu.
JAKARTA, ASPPUK-Masyarakat adat yang sebagaian besar berdomilisi di sekitar hutan, berkontribusi besar dalam pelestarian hutan, karena kehidupan mereka sangat tergantung pada hutan.
Hal itu didasarkan atas kesadaran bahwa lingkungan tempat mereka tinggal telah mendukung kehidupan mereka sehingga harus dilestarikan.
“Kami mempertahankan ini karena bumi sudah melahirkan segala sumber kehidupan dan nafas kehidupan bagi masyarakat adat,” kata Mardiana Deren, salah satu masyarakat adat di Barito Timur ketika menjadi narasumber pada sesi diskusi “Calling for Environmental and Climate Justice in C20” yang digagas oleh working group lingkungan, keadilan iklim, dan transisi energi C20.
Menurut Mardiana, masyarakat adat sangat erat hubungannya dengan alam, hutan, dan mahkluk hidup di dalamnya. Alam menyediakan semuanya dan mereka telah menggunakannya secara arif. “Kami sangat mencintai alam, Bumi, karena kami tahu Bumi sudah melakukan banyak untuk kami, “imbuhnya.
Oleh karena itu, Mardiana menolak tegas segala tudingan yang menyebut masyarakat adat sebagai perusak alam. Menurutnya, hal itu tidak benar dan mereka tidak pernah melakukannya. “Kami dituduh sebagai perusak alam, pembabat hutan, perusak lingkungan,” ujarnya.
Padahal, setiap membuka lahan, masyarakat adat melakukan ritual, sebagai bentuk penghormatan terhadap alam dan nenek moyang. “Izin kepada Bumi. Ritual adat utk mohon izin. Setelah itu, kami meminta restu dari dari alam melalui mimpi,” terangnya.
Biasanya, pemberitahuan melalui mimpi atau simbol dibawah pohon menjadi penanda, apakah masyarakat adat boleh membuka hutan atau tidak. Setelah ada izin, mereka membuka lahan.
“Saat buka ladang, kami mengumpulkan kayu-kayunya di bagian tengah. Kami gotong royong membuat sekat bakar dengan masyarakat dan pemilik kebun disekitar,” ungkap Mardiana.
Setelah pembersihan lahan dilakukan dengan cara tradisional, masyarakat adat memulai proses berikutnya, yakni menanam padi. Seperti sebelumnya, kegiatan ini pun dilakukan secara bersama-sama.
“Di pinggir ladang biasanya ditanam sayur, umbi-umbian, dan pohon pisang. Itu penting sementara menunggu panen,” ucapnya.
Saat panen tiba, warga kembali bergotong-royong. Semua hasil dikumpulkan di suatu tempat, lalu dibagi rata. Sisanya dipilih untuk menjadi bibit yang akan ditanam pada musim berikutnya.
“Setelah panen, dipilih orangnya utuk mencari bibit padi ladang. Setelah itu, kami melakukan ritual ungkapan terima kasih dan syukur kepada alam. Ritual dilakukan di tapal batas desa,” ujarnya.
Sebelum perusahaan perkebunan sawit dan pertambangan batu bara datang ke wilayah mereka, menurut Mardiana, hutan menyediakan banyak hal yang dibutuhkan. Salah satunya bahan obat-obatan.
“Ada obat-obatan di hutan masih tersedia. Ada bunga-bunga hutan yang bagus. Ini bunga sempat diselamatkan dari perkebunan kelapa sawit dan tambang batu bara,” katanya.
Kala itu, masyarakat adat hidup rukun dan damai. “Tak punya uang, hidup kami sejahtera. Sekarang apa yg kami rasakan. Setelah masuknya perkebunan sawit dan tambang batu bara, hidup kami terhimpit dan tidak merdeka,” paparnya.
Namun ketika kalangan pemodal datang, hutan yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat, perlahan tapi pasti terus mengalami pengundulan, alhasil masyarakat setempat kehilangan sumber mata pencaharian mereka.
“Kami kehilangan sumber kehidupan, sumber ekonomi. kehilangan lumbung padi, sumber kesehatan, buah-buah hutan, kehilangan air bersih, kehilangan ikan, bahkan buaya sudah tidak ada,” ucap Mardiana.
“Kami bernafas dalam debu. Bermandikan limbah. Tidak ada sehat dan sejahtera bagi masyarakat adat,” keluhnya.
Pada kesempatan tersebut Mardiana juga menolak ketika masyarakat adat dituding sebagai penghambat pembangunan, sementara hutan yang tersisa sangat sedikit. Atas dalih pembangunan, pengusaha telah merusak hutan, sementara pemerintah lokal memberikan izin kepada pengusaha.
“Kami harus berhadapan dengan tulisan ‘Kopassus’ di pertambangan. Kami melawan PM, polisi dan pemerintah daerah,” ungkapnya.
Bagi perempuan berusia 64 tahun itu, keberanian dan semangat juangnya melebihi kaum laki-laki. Terbukti pada tahun 2006, Mardiana mendampingi masyarakat adat di Desa Dayu, Balawa, Murutuwu, Sarapat dan Pulau Patai.
“Tahun 2007 kami sudah berjuang melawan kelapa sawit dengan dalih pembangunan. Saat itu tanah dihargai cuma Rp300rb/ per Ha. Sekarang mungkin sudah naik. Alam kami sudah habis,” ujarnya.
Pada tahun 2011, Mardiana juga ikut andil mengadvokasi masyarakat di Gunung Karasik, Bahalang, Lalap, Bentot, Betang Nalong, kemudian di Janah Mansiwui, Danau, Biwan, Ampari dan Janah Jari.
“Hutan dan rawa kami dipindahkan untuk kebun sawtit. Di pertambangan, mata air kami hilang. Sungai dipindah, padahal air adalah sumber kehidupan,” ungkapnya.
Hal itu menurut Mardiana sebagai bentuk pengkhianatan kepada Tuhan. Hanya karena sifat serakah sekelompok manusia, masyarakat adat menanggung akibatnya. Itu sebabnya, dia meminta agar semua izin perkebunan dan pertambangan di Barito Timur ditinjau ulang.
“Bayangkan, kebun sawit ada di tengah kota, hanya beberapa kilometer dari kantor bupati. Untuk itu kami minta dievaluasi. Kembalikan hak hidup kami atas hutan. Pulihkan hak hidup kami. Kami siap membantu pemerintah,” terangnya.
Sikap tegas nenek 4 cucu itu kerap membuat gerah oknum perusahaan. Di mata pemerintah, Mardiana dianggap menghambat pembangunan. Tak heran jika turut memperjuangkan hak hidup masyarakat adat, ia selalu berhadapan dengan penegak hukum.
“Padahal kami hanya meminta sumber perekonomian, sumber kehidupan kami. Perizinan seperti virus kanker yang menyerang Bumi. Kami mohon stop pembalakan liar. Stop izin-izin baru,” papar Mardiana.
Lebih lanjut, dia meminta agar pemerintah tidak menyalahkan masyarakat adat. Pasalnya kerusakan lingkungan terjadi karena ulah pemerintah sendiri yang mengobral izin kepada perkebunan sawit dan pertambangan batu bara secara serampangan.
“Jangan melegalkan segala cara. Jika ingin negara ini sejahtera, sahkan segera RUU Masyarakat Adat. Akui dan lindungi kami,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak/Wan)