“Kita ini sebanarnya kaya bahan alam. Apa yang tidak kita punya coba? Terhamparnya hutan tropis di belahan Indonesia, pastinya kita memiliki kekayaan tumbuhan tak terhingga? Sebelum warna sintetis masuk dibawa Belanda, nenek moyang kita sudah terbiasa dengan warna alam”, ungkap pak Hendri Suprapto, ahli warna alam dari Yogyakarta.
Statemen ahli pewarna alam yang mantan Desprindag diungkapkan di depan penenun dari 18 kabupaten/kota di pelatihan “Pewarnaan Alam dan Pengenalan Pemakaian Bubuk dan Extract dari Bahan Pewarnaan Alam”, di saung Dolken, Bogor, tgl 16 – 20 Septmber 2013. Miniarni, penenun asal Donggala Sulteng, berada di deretan penenun yang jadi peserta.
Bayangan Miniarni langsung melayang kepada kebiasaan perempuan penenun anggota kelompok di desa Limboro, Salubomba dan Towale, kab. Donggala, Sulteng yang menjadi wilayah kerja KPPA. Jika diwilayah lain penenun menggunakan tawas atau kapur sebagai pengikat warna, maka di Donggala menggunakan minyak tanah dan kanji. Sementara pewarnaannya menggunakan pewarna tekstil yang dibeli dari toko, karena alasan kepraktisan.
Yang menyedihkan Miniarni – setelah sadar lingkungan – aktifitasnya dilakukan di rumah. Sehingga limbahnya dibuang ke tanah, kesaluran dan sungai. Ini karena, memang para penenun belum memahami dampak terhadap kelangsungan ekologi tanahnya. Menurut penuturan ahli, dalam sekian puluh tahun, air sumur milik warga akan tercemar, sungai juga ikut tercemar meski airnya mengaliri persawahan dan tumbuhan lainnya. Salah satu berakibat adalah tumbuhnya kanker kulit di tubuh manusia yang penyebarannya memakan waktu 10 tahun.
Berdasarkan bayangan itulah, setelah ia sampai di tanah kelahirannya, bersama Adriani, pendamping KPPA, Palu, melakukan sosialisasi teknik pewarnaan alam bagi tenun kepada kelompok perempuan penenun di desa Salubomba, Towale, dan Limboro, pertengahan Oktober 2013. Berkat diskusi intensif dan tumbuhnya kesadaran penenun di Dongala, kini telah terbentuk 2 kelompok penenun di desa Limboro, yang sebelumnya berjumlah 4 kelompok. Sehingga jumlah kelompok perempuan penenun kini menjadi 6 kelompok dengan masing-masing kelompok berjumlah antara 12 hingga 15 orang.
Melalui diskusi – berbentuk sosialisasi – diketahui bahwa sarung Donggala yang dinamakan “Buya Sabe”, sekitar tahun 1793 terbuat dari kapas yang ditanam penduduk local dan dipintal perempuan penenun sendiri hingga menjadi kain sutra. Menurut penuturan tokoh setempat, kearifan local masih terdapat di desa Limboro, desa Saluomba, Tosale, Towale dan Kolakola, di kecamatan lain yang masih di kab. Donggala. Untuk melindunginya, Pemerintah Kabupaten Donggala mengeluarkan peraturan daerah, berupa setiap hari Sabtu Pegawai Negeri Sipil (PNS) diwajibkan memakai kemeja atau atasan yang dibuat kain Buya Sabe.
Hasil diskusi dengan berbagai kalangan ini, membuat hati Miniarni dan Adriani makin yakin bahwa pewarnaan alam di produksi tenun menjadi kebutuhan mendesak. Mereka bersepekat untuk makin meluaskan jaringan dengan berbagai pihak guna mengkampanyekan penggunaan tenun Buya Sabe yang menggunakan warna alam. Itu semua demi kelangsungan hidup anak cucu kelak. Bahkan hal itu sudah dipraktekkan nenek moyangnya. (Dirangkum Ids dari laporan bulanan KPPA, Palu)