Tenun warna ramah lingkungan atau dikenal dengan tenun warna alam, kian diminati konsumen. Lambat laun peminat kain tradisional Indonesia makin terpikat dengan rajutan tenun berwarna alami ini.
Pagelaran Jakarta fashion & food and Festival 2015 yang menampilkan fashion show bertema “Jalinan Lungsi Pakan”, di Mall Kelapa Gading, Jakarta, 26 Mei 2015, menarik pengunjung dari berbagai kalangan. Rancangan tenun yang berbahan warna alami menghipnotis pengunjung. Warna-warna cerah yang biasanya didominasi pewarnaan sintetis, dengan perkembangan teknologi tapat guna, kini mampu mengadopsi warnaan alami sesuai selera konsumen.
Pasar pun mengapresiasi secara meriah. Perlahan konsumen merasa bangga bila memakai tenun ramah lingkungan. Mereka merasa sudah ikut melestarikan ekologi bila menggunakannya. Laksana gula yang terus dikejar semut, tenun ramah lingkungan kini menanjak “manis”. Pengrajin dan pedagang tenun sedang “membidik” tenun ramah lingkungan sebagai “objek” jualannya. Mereka tahu, pasar kini sedang memburunya.
Pengrajin nakal dan pedagang berfikir “jangka pendek” diam-diam memproduksinya. Maka tak ayal, kini banyak pedagang dan pengrajin yang mengaku-ngaku menjual tenun warna alami atau ramah lingkungan. Namun saat dibeli konsumen, warna tenunnya meluntur. Padahal dalam konsep tenun warna alami, zat pewarna yang dipakai tidak akan luntur bila dicuci. “Iya, kamarin saya membeli tenun warna alam kata sang penjual. Namun saat saya mencucinya untuk dipakai kondangan, eh…malah luntur. Malu saya jadinya”, ungkap Siti Mashitoh, penyuka kain tradisional dari Lombok kepada penulis.
Pengalaman Mashithoh bisa jadi merupakan peringatan pengrajin yang memiliki perhatian kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, Hivos, CTI, NTFP-EP dan ASPPUK menjalin kerjasama dengan EU (Uni Eropa) dalam membangun standar kualitas produk tenun ramah lingkungan. Hasil inisiatifnya, memunculkan standar GTP (good tenun practices) atau “produk tenun yang baik”. GTP ini nantinya menjadi standar produk tenun yang memiliki kualitas ramah lingkungan.
Di sisi lain, industri tenun tangan tradisional umumnya merupakan industri mikro, kecil, dan menengah yang menganggap standar kompetensi perajin bukan hal penting. Mereka terbiasa melakukan pekerjaan secara turun menurun, tanpa dokumentasi yang sistematis. Akibatnya terulangnya proses produksi yang tidak sesuai namun “dianggap sesuai”. Makanya standarisasi kompetensi pengrajin dapat mengurangi praktik produksi yang tidak efisien sehingga dampaknya dapat mengurangi biaya produksi, meningkatkan kualitas produk, dan menambah daya saing produk.
Maka, sebagai kelanjutan dari standar GTP, konsorsium pemerhati tenun (CTI, Hivos, ASPPUK, NTFP-EP) didukung EU menjalin kerjasama dengan Kementerian Perindustrian Republik Indonesia untuk mendaftarkan SKKNI untuk perajin tenun tangan tradisional Indonesia. Untuk menuju ke arah pendaftaranya, CTI – anggota konsorsium – mengadakan konvensi RSKKNI (rancangan standar kompetensi kerja nasional indonesia) tenun tradisional Indonesia, tgl 20 Agustus 2015 di hotel Falatehan, Jakarta Selatan. Acara yang dihadiri lebih dari 50 peserta yang terdiri akademisi pemerhati tenun, penenun dari berbagi daerah, kementerian tenaga kerja, kementerian perindustrin, BNSP (badan nasional sertifikasi profesi), jurnalis, dsb. Rusni Erita Manihuruk dan Marlince Sigiro, penenun dari kab Dairi dan Samosir, Sumatera Utara – mitra kerja Pesada anggota ASPPUK –, hadir untuk memberi masukan di konvensi tersebut. Mudah-mudahan surat standar kompetensi dari kementerian segera keluar, sehingga para penenun makin sejahtera (ids).