harianjoglosemar.com
Berangkat dari keterampilan, hari ini banyak orang yang mampu menghasilkan berbagai macam produk. Untuk terampil memang setiap orang memerlukan proses pembelajaran. Jika semakin sedikit orang yang memiliki keinginan kuat untuk belajar, maka semakin sedikit pula orang yang terampil. Keuntungan Seprei yang dibuatnya kini sudah mampu merambah pasar internasional. Sebut saja Abu Dhabi, Singapura, Malaysia, merupakan negara-negara yang rutin setiap bulan dijadikan tujuan ekspor sepreinya sebanyak lima kodi.
“Saya kebanyakan menjual ke sana. Saya tidak menjual di Solo karena jika dijual di Solo susah laku lantaran harga yang dipatoknya berada di atas harga rata-rata di Solo,” jelasnya.
Selama ini ia tidak kesulitan dalam mendapatkan bahan baku. Bahan baku yang dibutuhkannya banyak tersedia. Namun ia mengeluhkan naiknya harga bahan baku yang sering membuat dirinya sedikit mendapatkan keuntungan.
Kenaikan harga yang dirasa betul-betul memberatkan dirinya yakni saat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998. “Saat itu harga kain yang tadinya Rp 6.000 sampai Rp 6.500 naik menjadi Rp 20.000 per meter,” ceritanya.
Keuntungan yang didapatnya tidak banyak, setidaknya keuntungan bersih Rp 10.000 didapatnya dari penjualan satu set seprei. Namun ia mengaku, keberlanjutan penjualan yang terus terjaga setiap bulannya, membuatnya keuntungan yang sedikit itu mampu memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya.
konfeksi Mamik Memetri, milik Mamik Sumarni yang menjadi anggota Jaringan Perempuan Usaha Kecil (JARPUK) juga memiliki cerita kesuksesan tersendiri. Berangkat dari modal yang hanya Rp 500.000 kini konfeksi batik miliknya mampu meraup penghasilan Rp 15 juta hingga Rp 20 juta per bulannya.
Ditemui di kediamannya yang digunakan untuk usaha konfeksinya, Mamik menuturkan, dulunya ia hanya fokus di konfeksi. Namun saat ini ia sudah berani memasarkannya sendiri. “Saya sekarang sudah banyak belajar soal pemasaran. Oleh sebab itu, saya sudah mulai memasarkannya sendiri. Saat ini saya sudah menyewa tenant di Thamrin City Jakarta,” ujarnya.
Ia bersama 10 karyawan penjahitnya yang berasal dari warga sekitar memanfaatkan keterampilan yang dimilikinya dengan membuat berbagai macam pakaian dari batik. Namun dirinya lebih banyak memproduksi pakaian batik untuk anak-anak SD dan SMP lantaran jarang konfeksi yang membuatnya. Pakaian batik anak-anak pembuatannya jauh lebih sulit ketimbang pakaian batik dewasa.
Mamik menambahkan, dirinya sampai saat ini tidak mengalami kerugian dan kesulitan dalam membangun usahanya. “Semua tergantung cara kita memasarkan dan mengikuti perkembangan harga bahan baku,” tandasnya.
Selain batik, ia juga terkadang memanfaatkan momentum tertentu untuk memproduksi pakaian jadi yang lain. Misalnya saat memasuki masa penerimaan siswa baru, ia memanfaatkannya dengan memproduksi pakaian seragam.
Kenaikan harga kain sering membuat dirinya terpaksa menaikkan harga jual pakaian jadi yang dijualnya. “Bulan Maret nanti kami akan menaikkan harga jual batik yang kami jual karena harga bahan baku melonjak naik,” pungkasnya. n Yasser Arafat