Kupang (ANTARA News) – Penyelenggara “Temu Bintang Pengembangan Ekonomi Lokal dan Kemandirian Desa” Sofia Malelak de Haan berpendapat sudah saatnya bagi pemerintah untuk menerapkan akses perempuan dalam bidang ekonomi untuk meretas kebuntuan dalam pengembangan ekonomi lokal.
“Secara umum akses perempuan dalam bidang ekonomi telah diakomodir, namun dalam penerapannya baik di tingkat nasional maupun lokal masih menjadi persoalan yang perlu dikaji secara terus menerus,” kata Sofia yang juga Direktur Yayasan Alfa Omega Kupang itu, di Kupang, Selasa.
Kegiatan “Temu Bintang Pengembangan Ekonomi Lokal dan Kemandirian Desa” itu diselenggarakan oleh sebuah program kerja sama antara pemerintah Australia dan Indonesia, “Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme” (ACCESS) yang akan berlangsung di Kupang, NTT sampai 26 Januari 2012.
Sofia menjelaskan kegiatan tersebut untuk mewujudkan serta mengapresiasi inisiatif, aksi dan kontribusi kaum perempuan dalam mendukung ekonomi lokal dan kemandirian desa di Nusa Tenggara Timur, sehingga penerapan akses bagi kaum perempuan itu menjadi sebuah keharusan.
Menurut dia, membuka dan menerapkan akses perempuan dalam bidang ekonomi ini penting, karena pada prinsipnya perempuan juga memiliki hak yang sama seperti laki-laki.
Ia berpendapat pengembangan ekonomi lokal pada dasarnya merupakan proses dimana pemerintah daerah dan atau bersama kelompok masyarakat mengelolah sumber daya dan melakukan kerja sama dengan pihak swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang kegiatan ekonomi yang lebih baik.
“Masih mandeknya penerapan akses perempuan menjadi roda perekonomian di Indonesia dalam bingkai budaya patriarki, karena lebih mengutamakan laki-laki, sehingga perjuangan perempuan di bidang ekonomi tidak jauh berbeda dengan perjuangan di bidang lainnya,” katanya.
Menurut Sofia, hal ini terjadi karena masih minimnya perempuan di lembaga-lembaga pengambil keputusan, sehingga menjadi masalah besar ketika berbicara tentang kebijakan publik yang berpihak pada perempuan.
Ia menambahkan sebagian besar perempuan hanya berkiprah di sektor informal dan ekonomi mikro dengan ciri modal kecil, produk yang dihasilkan adalah jenis komoditas bahan mentah yaitu bahan jual yang tidak lagi diolah sehingga meningkatkan harga jual.
“Usaha sederhana dengan alat yang sederhana pula, produk yang dihasilkan tidak sepenuhnya untuk kebutuhan pasar, tetapi untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, serta pemasaran yang terbatas pada pasar domestik,” katanya.
Selanjutnya, faktor kurangnya akses perempuan terhadap informasi tentang ekonomi dan ketenagakerjaan, adanya “stereotype” atau stigma yang menempatkan perempuan sebagai pekerja domestik dan laki-laki sebagai pekerja publik.
Adanya peraturan perundang-undangan yang belum berpihak pada perempuan terlebih dalam pengembangan ekonomi lokal, rendahnya pendidikan dan keterampilan perempuan, konsep diri perempuan yang negatif seperti rendahnya motivasi perempuan untuk maju, sikap memerima dan pasrah, serta rendah diri dan apatis.
Ia menegaskan kemandirian desa akan semakin kokoh apabila didukung oleh kemandirian ekonomi lokal khususnya perempuan yang makin meningkat, seperti penguatan organisasi warga, manajemen usaha, kepemimpinan perempuan serta jaringan usaha telah berkembang semakin baik dan menjanjikan harapan pasar yang semakin luas.
Untuk itu, katanya, sumber daya manusia menjadi aset yang bergerak aktif mengembangkan potensi lingkungan yang dimiliki desa, sehingga pemberdayan perempuan di bidang ekonomi akan berujung pada upaya untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan kepemilikan, dan kontrol perempuan terhadp sumber daya ekonomi dan non ekonomi. Editor: Ella Syafputri