Melakukan perjalanan di pedalaman tanah uncak kapuas memang memberikan kesan tersendiri, betapa tidak, satu sisi melihat kondisi sosial masyarakat pedalaman yang masih jauh dari kata sejahtera di sisi lain kita melihat bahwa di tengah era globalisasi dengan berbagai kemajuan teknologi diperkotaan, masih ada masyarakat yang tetap mempertahankan budaya warisan leluhur yang sebagian orang menganggap sangat jauh ketinggalan dan terkesan primitip.
Dayak Iban adalah satu diantara etnis/masyarakat asli yang mendiami perbatasan Indonesia–Malaysia di Kabupaten Kapuashulu. Semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas antara lain rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan) dan seni tari serta satu lagi, yang menjadi ikon kebanggaan suku dayak adalah kain tenun.
Tenun merupakan kekayaan budaya suku Iban di Kapuashulu. Dalam proses pembuatan kain tenun memerlukan waktu yang tidak sebentar selain ritual khusus yang harus dilakukan untuk tenun tertentu. “Ada jenis tenun tertentu yang dalam proses pembuatannya memerlukan ritual tertentu dengan tujuan agar si pembuat dijauhkan dari segala mara bahaya” tutur Pak Tutong Kadus Ngaung Keruh Desa Labian.
Para wanita Iban membuat kain tenun di sela-sela pekerjaannya bercocok tanam di sawah ataupun ladang. Walaupun hanya pekerjaan sampingan namun memberikan efek yang positif bagi sosial maupun ekonomi untuk masyaraka antara lain memperkenalkan budaya masyarakat ke dunia luar selain manfaat dari segi ekonomi. Lebih jauh lagi bahkan sudah ada masyarakat yang telah mendapatkan pendapingan dan pembinaan dari asppuk dalam rangka melestarikan kain tenun Iban yang konsepnya menggunakan pewarna alami dan sudah mulai dipasarkan.
Indonesia merupakan negara dilalui garis khatulistiwa dengan sinar matahari sepanjang tahun sehingga memungkinkan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi antara lain fauna, tumbuhan yang unik dan khas serta kebaradaannya sangat terbatas (endemik). Salah satu kekayaan alam Indonesia adalah tumbuhan pewarna alam. Tumbuhan pewarna alam adalah tumbuhan atau bagian tumbuhan yang digunakan untuk mewarnai dan atau memperbaiki bahan, biasanya kain atau benang. Bagian tumbuhan yag digunakan antara lain daun, kulit kayu, akar, bunga dan bagian lainnya dengan melalui proses perebusan.
Seiring dengan kemajuan informasi dan teknologi, Zat pewarna alam yang di dapat dari tumbuhan pewarna alam dianggap kurang praktis dalam penggunaannya karena memalui proses yang agak panjang tidak seperti jika menggunakan zat pewarna sintetis. Namun dibalik kekurangannya tersebut zat warna alam memiliki potensi pasar yang tinggi sebagai komoditas unggulan produk Indonesia dengan daya tarik pada karakteristik yang unik, etnik dan eksklusif. Untuk itu, sebagai upaya mengangkat kembali penggunaan zat warna alam untuk kain tenun, maka dilakukanlah pendataan atau survey mengenai tumbuhan pewarna alam sebagai langkah awal untuk melakukan upaya perbanyakan tumbuhan tersebuat. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari Program Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Melalui Pelestarian Tanaman Pewarna Yang Berperspektif Gender Dan Berkelanjutan Di Kabupaten Kapuas Hulu Propinsi Kalimantan Barat Melalui Konservasi Eksitu kerjasama antara TFCA kalimantan dengan ASPPUK.
Pendataan dilakukan di enam lokasi dusun/kampung di wilayah Kecamatan Embaloh Hulu dan Lanjak Deras Kabupaten Kapuashulu. Menggali informasi dari masyarakat yang notabene adalah penenun, bahwa mereka masih menggunakan tumbuhan pewarna alam untuk memberi warna pada kain tenun buatanya. “Saya tetap menggunakan tumbuhan dari hutan untuk mewarnaii kain tenun ikat saya, karna warnanya lebih alami dibangdingkan wantek (red : pewarna sintetik)” kata Ibu Marta, satu di antara penenun dari Desa Labian. Selain warna yang dihasilkan oleh tumbuhan tahan lama dibanding wantek, penggunaan tumbuhan sebagai pewarna kain tenun sangat ramah lingkungan karena bahannya dari alam.
Macam tumbuhan yang biasa digunakan untuk pewarna antara lain: Engkerebai, Rengat, Jangau, Beting, Mengkudu, Kemunting, Empait, Rengat akar, Engkerebai Laut dan Mengkudu kayu yang masing-masing menghasilkan warna yang berbeda-beda. Warna merah dari daun engkerebai, kulit kayu beting, Engkerebai Laut, jangau dan empait, warna Hitam kebiruan dari daun dan bunga kemunting serta daun Rengat dan Rengat akar, warna kuning dari akar mengkudu dan mengkudu kayu.
Pengamatan dilakukan pada tempat yang ditemukan banyak tumbuhan pewarna berdasarkan informasi dari masyarakat. Namun tidak semua tumbuhan tarsebut ditemukan di lokasi pengamatan yang sama bahkan ada tumbuhan yang tidak ditemukan sama sekali di semua lokasi, namun ada di pekarangan rumah seperti mengkudu dan rengat dengan jumlah sangat terbatas. Ini cukup memberikan informasi bahwa pertama, masing-masing tumbuhan membutuhkan persyaratan tempat tumbuh yang berbeda-beda. Kedua, ada indikasi bahwa tumbuhan tertentu saat ini berada dalam ambang kepunahan akibat exploitasi yang berlebihan dan tidak menerapkan kaidah konservasi, sehingga ini menjadi pertimbangan untuk tindakan selanjutnya.
Beberapa masyarakat sudah mulai sadar bahwa tumbuhan pewarna sangat penting keberadaannya. “Ini saya tanam setahun lalu dan sekarang sudah bisa digunakan untuk pewarna tenun” kata Ibu Sayon, penenun berumur 61 tahun sambil menunjukan tanaman di depan rumah betang.
Ini adalah suatu kearifan lokal yang patut dipertahankan dan dilestarikan, ditengah kemajuan jaman dengan berbagai teknologi yang semakin memanjakan manusia namun belum tentu berdampak baik bagi budaya dan alam kita, ternyata masih ada suatu komunitas yang senantiasa memegang dan melestarikan warisan budaya orang tua atau leluhur, bukan karena mampu atau tidak mampu tapi kebanggaan memiliki kekayaan dan identitas budaya. (sandi)