Elizarni dan Salmiah Ariyana prihatin akan nasib perempuan korban konflik di tengah pandemi virus corona. Mereka melihat, perempuan dan anak-anak paling merasakan dampak dari situasi terburuk pada saat pandemi.
WASHINGTON DC (VOA) — Pandemi virus corona membuat kehidupan perempuan korban konflik semakin rentan.
Elizarni, pegiat isu perempuan, prihatin akan nasib perempuan di tanah kelahirannya, Aceh. Ia kemudian bergabung dengan Beujroh, organisasi pemberdayaan perempuan korban konflik Aceh, termasuk ‘kampung janda’ di Pidie.
Pada awalnya, kata Elizarni, ia dan Beujroh berfokus pada perempuan-perempuan pedagang kaki lima yang berperan ganda sebagai kepala rumah tangga selama lebih dari 30 tahun setelah suami mereka terbunuh dalam konflik militer. Fokus meluas setelah tsunami melanda pada Desember 2004, dan kini pandemi membuat para perempuan itu kesulitan keuangan karena tidak banyak orang membeli barang dagangan mereka, bahkan mereka sering tidak berjualan ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan.
“Saya sendiri, sebagai perempuan, pernah mengalami konflik dan tsunami. Perempuan menjadi pejuang kehidupan dari masa konflik. Mereka dirugikan secara ekonomi ketika rumahnya dibakar, tempat mereka bekerja hilang akibat perang, juga menderita saat tsunami,” kata Elizarni.
Walaupun sedang jauh dari tanah air untuk menempuh pendidikan doktoral pada program Comparative Education and Leadership di Ohio University, Elizarni tidak tinggal diam. Bersama beberapa teman, secara virtual, ia menggalang dana bagi Beujroh yang didirikan pada Januari 2005 di Banda Aceh.
Pada akhir April 2020, penggalangan dana online GoFundMe dilakukan dengan target pengumpulan dana bantuan senilai $15.000. Dana sementara yang terkumpul sebesar $305 itu diserahkan kepada pengurus Beujroh yang kemudian membuat paket-paket sembako, terdiri atas, antara lain, beras, minyak, dan gula. Paket-paket itu diserahkan kepada sejumlah anggota Beujroh yang beranggotakan lebih dari 900 perempuan dari 9 kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
“Saya berharap bantuan tersebut dapat memenuhi kebutuhan untuk meneruskan hidup karena tidak tahu kapan pandemi COVID-19 berakhir,” tambahnya.
Sementara itu, di Kendari, Sulawesi Tenggara, Salmiah Ariyana, membuat program Cepat Tanggap untuk membantu perempuan-perempuan korban konflik, yang usahanya juga terimbas pandemi virus corona.
Untuk menjalankan programnya, sejak tahun 2000, Salmiah bergabung dengan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), yang tersebar di 22 provinsi di Indonesia, untuk memfasilitasi pembentukan lembaga keuangan dan kelompok diskusi bagi kaum perempuan.
Salmiah menjelaskan, anggota ASPPUK ada di daerah-daerah bencana dan konflik. Mereka mengumpulkan data dan mencari tahu jumlah perempuan dan anak yang menjadi korban.
Sejak tahun 2000, Salmiah Ariyana bergabung bersama ASPPUK (Asosiasi pendamping perempuan usaha kecil mikro) dan kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif LSM tersebut. Perempuan yang meraih gelar master Kajian Gender dari Universitas Indonesia itu berkomitmen dalam pemberdayaan perempuan.
Berikut link wawancara VOA dengan Direktur ASPPUK Salmiah Ariyana