Sebagai organisasi yang bekerja pada salah satu fokus isu yaitu Pangan Lokal, dan saat ini ASPPUK sedang menjalankan program peningkatan gizi dan keragaman pangan di provinsi Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan seluruh kabupaten di pulau Flores Nusa Tenggara Timur, menyatakan keprihatinan dan catatan penting terkait pelaksanaan Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia.
Kami memahami bahwa program MBG memiliki tujuan baik untuk meningkatkan akses pangan bergizi bagi anak-anak, mencegah stunting, gizi buruk, dan malnutrisi, serta mendukung keluarga kurang mampu yang menghadapi keterbatasan ekonomi dan akses pangan. Namun, kami menekankan beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah agar program ini benar-benar efektif:
1.Program MBG seharusnya memprioritaskan Daerah dengan Angka Stunting dan Gizi Buruk Tinggi.
Fokuskan pelaksanaan MBG di provinsi dan kabupaten dengan prevalensi stunting dan gizi buruk yang tinggi sehingga intervensi lebih tepat sasaran dan berdampak nyata bagi anak-anak yang paling membutuhkan. Dipahami bahwa hampir semua daerah di Indonesia memiliki kasus gizi buruk, stunting, dan malnutrisi, namun perlu dicatat bahwa belum tentu seluruh daerah di Indonesia membutuhkan program MBG karena bisa jadi isu atau masalah gizi buruk, stunting dan malnutrisi bukanlah prioritas bagi daerah tertentu.
2. Memberi makan saja tidak cukup.
Pemberian Makanan Bergizi Gratis (MBG) hanyalah salah satu bagian dari solusi untuk mengatasi stunting, gizi buruk, dan malnutrisi. Meski niatnya mulia untuk meringankan beban ekonomi keluarga dan meningkatkan akses pangan bergizi, program ini tidak cukup hanya dengan memberi makan gratis. Masalah gizi pada anak-anak dan keluarga tidak semata disebabkan oleh keterbatasan ekonomi atau akses terhadap pangan yang terbatas; ada faktor lain yang sama pentingnya. Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam memilih, mengolah, dan menyajikan pangan beragam, bergizi, seimbang, dan aman, menjadi salah satu kendala utama. Faktor budaya juga berperan, di mana beberapa adat atau kepercayaan yang melarang konsumsi jenis pangan tertentu, sehingga menu bergizi yang disediakan sering tidak beragam. Selain itu, pola konsumsi modern dan gaya hidup instan membuat anak-anak dan keluarga cenderung mengkonsumsi makanan cepat saji yang kurang bergizi. Kesibukan orang tua semakin membatasi waktu untuk memasak makanan sehat, sehingga pilihan menu menjadi terbatas.
3. Fleksibilitas dan Inovasi dalam Menu MBG.
Badan Gizi Nasional dan pengelola MBG perlu lebih fleksibel dan inovatif dalam menyusun menu. Menu yang disediakan harus dapat menyesuaikan dengan ketersediaan bahan pangan lokal, kualitas bahan, dan kondisi setiap daerah. Misalnya, jika pasokan ikan segar terbatas, pengelola harus diperbolehkan mengganti menu dengan sumber protein lain yang setara gizinya, seperti ayam, daging, atau tempe, agar anak-anak tetap menerima gizi yang seimbang. Memaksakan menu yang sama tanpa memperhatikan ketersediaan dan kualitas bahan akan mendorong pengelola menggunakan produk yang tidak segar atau kurang aman, berisiko menimbulkan gangguan kesehatan, termasuk keracunan. Selain itu, fleksibilitas menu juga membuka peluang untuk memperkenalkan pangan lokal yang bergizi dan menyesuaikan menu dengan selera, budaya, dan kebiasaan makan setempat, sehingga program MBG tidak hanya memenuhi aspek gizi, tetapi juga meningkatkan penerimaan dan keberlanjutan program. Dengan pendekatan ini, MBG dapat menjadi intervensi yang lebih efektif, aman, dan relevan dengan kondisi anak-anak di berbagai daerah.
4. Prioritaskan keamanan pangan.
Keamanan pangan harus menjadi syarat mutlak dalam pelaksanaan MBG. Menu harus dipilih, disimpan, diolah dan disajikan sesuai standar higienis dan gizi. Pemerintah harus memastikan pengawasan ketat agar niat baik program tidak menimbulkan risiko kesehatan bagi anak-anak penerima manfaat.
5. Pemanfaatan pangan lokal.
Program MBG sebaiknya memaksimalkan kekayaan pangan lokal Nusantara untuk menyediakan menu yang bergizi, aman, dan beragam. Pemanfaatan bahan pangan lokal tidak hanya memenuhi kebutuhan gizi anak, tetapi juga mendukung ekonomi masyarakat, memperkuat rantai pasok lokal, dan memperkenalkan anak-anak pada ragam bahan pangan Nusantara sejak dini. Menu MBG sebaiknya tidak terpaku pada satu jenis makanan pokok, misalnya nasi, tetapi menyesuaikan dengan konteks lokal. Sumber karbohidrat dapat diganti dengan jagung, ubi, sagu, atau bahan lokal lainnya yang tersedia di daerah masing-masing. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan variasi menu, tetapi juga menghargai budaya lokal, menguatkan kebiasaan makan sehat, dan mengurangi risiko keracunan akibat kekurangan pasokan pangan yang terpaksa menggunakan bahan yang kurang segar.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan sebagai masukan konstruktif terhadap pelaksanaan dan pengelolaan Program Makan Bergizi Gratis. Kami berharap pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh, memastikan standar keamanan pangan yang ketat, serta mengoptimalkan pemanfaatan pangan lokal agar program ini benar-benar menjadi upaya menyehatkan anak bangsa, bukan sebaliknya membahayakan masa depan mereka.
Hormat kami,
Emmy Astuti
Direktur ASPPUK
Unduh dokumen PDF disini