JAKARTA, ASPPUK- Mayoritas UMKM di Indonesia dilakoni oleh perempuan, sehingga perempuan berkontribusi nyata dalam pengentasan kemiskinan. Hal ini sejalan dengan data yang menyebutkan, pelaku UMKM di Indonesia sebanyak 64 juta.
“Dari jumlah itu, pelaku usaha kecil mikro hampir 90%, bahkan jumlahnya 99% dibanding yang menengah keatas. Sebanyak 60%nya dilakoni para perempuan,” kata Direktur Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) Emmy Astuti saat berbicara tentang ‘Refleksi Gerakan Ekonomi Perempuan Yang Berkontribusi Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Jakarta beberapa waktu lalu.
Bahkan data Kementerian Koperasi dan UKM pada 2021 mencatat, pelaku UMKM berkontribusi pada produk domestik bruto sebanyak 61.97% atau sekitar Rp8.7 triliun.
Menurut Emmy, perempuan pelaku usaha kecil mikro kebanyakan tinggal di kantong-kantong kemiskinan. Baik yang hidup disekitar areal hutan, di pinggiran kota dan kebanyakan merupakan komunitas yang paling bawah dari sisi ekonominya.
“Tetapi apa yang mereka lakukan di tingkat bawah dengan berusaha berjualan, mencari sesuap nasi untuk keluarga,” katanya. Terbukti, mereka tidak hanya berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan keluarga, namun juga terhadap bangsa dan negara.
“Mereka bisa dikatakan menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi pengangguran dan bahkan mengurangi kemiskinan,” ujarnya.
Gerakan Ekonomi Perempuan
Bicara tentang gerakan ekonomi perempuan, sejatinya di tingkat akar rumput sudah dilakoni sejak lama oleh para perempuan pelaku usaha kecil mikro. Gerakan ekonomi perempuan juga tidak bisa dilepaskan dari peran serta organisasi perempuan.
“Sebut saja, LSM perempuan yang pada dasawarsa 80-an bermunculan seiring tindak lanjut dari banyaknya konferensi internasional tentang perempuan,” ungkapnya.
Kendati banyak LSM perempuan yang muncul dengan berbagai fokus isu, seperti pendidikan, politik, kesehatan hingga ekonomi, namun pemberdayaan menjadi benang merah yang kerap diperbincangkan.
Kala itu, gerakannya tidak terlepas dari semangat develop mentalism, dimana negara bertekad mengejar pertumbuhan melalui modernisasi. Hal itu mengakibatkan, program LSM perempuan lebih kepada peningkatan kesejahteraan. “Bagaimana perempuan bisa memenuhi kebutuhan praktisnya,” katanya.
Artinya, pemberdayaan perempuan hanya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, belum bersifat strategis. “Yang diutamakan bagaimana memenuhi kebutuhan dasar, bagaimana perut kenyang,” ujar Emmy.
Secara perlahan, fokus pemberdayaan perempuan beralih kepada pembukaan akses. Termasuk bagaimana mereka dilibatkan di dalam pelatihan, dan bagaimana memperoleh kredit usaha melalui koperasi.
“Pada waktu itu belum ada bantuan kredit yang fokus pada masyarakat kecil. Belum banyak,” kata Emmy.
Ketika organisasi perempuan berefleksi, tentang cara meningkatkan pendapatan untuk memperbaiki status sosial dan posisi perempuan di tengah keluarga dan masyarakat, strategi baru digagas. Banyak organisasi perempuan memulai dengan strategi pengorganisasian dan pendampingan.
“Mulailah masuk dimana diciptakan kader-kader pemimpin perempuan. Itu terjadi pada dasawarsa 90-an,” katanya.
Pada masa itu terjadi relasi ketimpangan gender, sehingga pendidikan kritisnya terus didorong agar terwujud kesadaran gender. “Kita juga menciptakan kader-kader dan calon pemimpin yang potensial. Partisipasi mereka terus didorong dalam pembangunan,” paparnya.
Selain itu, perempuan juga diimbau memiliki kontrol atas dirinya. Bagaimana mereka mampu mengambil keputusan terbaik dan bagaimana perempuan bisa memiliki kekuasaan.
“Meskipun dia sudah punya pendapatan, dan punya akses terhadap pelatihan dan akses terhadap keuangan, tetapi belum tentu dia bisa mengontrol. Bisa jadi suaminya yang kontrol, termasuk dalam berusaha,” jelas Emmy.
Lebih jauh Emmy mencontohkan, ketika meminjam kredit di bank, belum tentu kontrol dipegang oleh perempuan. “Bisa jadi duit itu tidak digunakan untuk usaha tetapi diambil suaminya untuk kebutuhan lain. Itulah mengapa perempuan harus memilki kontrol kekuasaan dalam mengelola sumberdaya yang ada,” katanya.
Langkah Maju
Jika ditanya kontribusi perempuan dalam pengentasan kemiskinan, menurut Emmy hal itu jelas terlihat. Faktanya, banyak usaha kecil mikro yang dijalankan oleh perempuan, ditambah dengan kerja-kerja pendampingan oleh LSM perempuan. Semua itu membuktikan bahwa pemberdayaan telah membuahkan hasil
“Berapa juta yang sudah dihasilkan oleh organisasi perempuan untuk menciptakan kader-kader perempuan. Tentu luar biasa banyaknya yang akhirnya berani bersuara. Mereka yang tadinya tidak berani ngomong di Musrembang, di rapat-rapat desa, sekarang sudah berani. Bahkan berani kampanye dan protes di kantor DPRD,” terang Emmy.
Selain itu, tak sedikit dari perempuan yang berani mencalonkan diri sebagai kepala desa. Ditambah lagi, banyaknya koperasi yang dibentuk oleh perempuan melalui pendampingan oleh LSM perempuan.
“Sejak saya menjadi fasilitator di LSM Peka 20 tahun lalu, hingga sekarang masih ada koperasinya. Omsetnya masih miliaran. Udah besar,” ungkapnya.
Kendati demikian, tidak bisa dinafikkan terjadinya dinamika dan pasang surut di dalam organisasi. “Ada persoalan duit yang mandeg, pengurusnya tidak bertanggungjawab. Namun apa yang dilakukan oleh gerakan perempuan sudah begitu besar berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan,” jelas Emmy.
Namun, apakah pemerintah melihat hal itu sebagai upaya mempercepat keluarnya negara dari kemiskinan? Menurut Emmy, hal itu tidak serta-merta, karena dahulu semua terkesan jalan sendiri-sendiri. Belakangan baru mulai dikenal istilah kolaborasi dan sinergitas.
Gerakan Ekonomi Perempuan
Jika sebelumnya kita disuguhkan tentang ide gerakan ekonomi kerakyatan, Emmy justru ingin menghadirkan gerakan ekonomi perempuan atau gerakan ekonomi berkeadilan gender.
“Kita ingin mengaitkan persoalan-persoalan yang terjadi di level mikro di tingkat akar rumput, terkait kesulitan ekonomi dalam kaitannya dengan kebijakan yang sifatnya struktural,” ungkapnya.
Contohnya, persoalan hari ini, Indonesia masih mengalami kesenjangan gender dari sisi tingkat partisipasi angkatan kerja. Menurut Emmy, hal itu menunjukkan adanya kesenjangan gender dengan laki-laki.
“Laki-laki berada di posisi 82.69% tingkat partisipasi angkatan kerja. Sementara perempuan 51.88%. Ini data 2019, Profil Perempuan Indonesia dari Kemen PPPA. Jadi kita bisa lihat jika angkatan kerja laki-laki lebih tinggi dari perempuan,” terangnya.
Dari sisi upah juga masih terjadi kesenjangan. “Perempuan di angka Rp2.7 juta dan laki-laki di angka Rp3.5 juta. Sehingga masih terjadi kesenjangan,” ungkap Emmy. Hal itu sejalan dengan data Global Gender Gap 2021 yang menyebut posisi Indonesia di angka 99 dari 156 negara.
Partisipasi angkatan kerja disabilitas juga sama. “Proporsinya 31% data Susenas 2018. Sehingga ketika bicara tentang inklusi sosial, persoalannya masih besar,” kata Emmy.
Enny menambahkan, “Ini menjadi tantangan buat kita di masa depan, bagaimana ini bisa di blow up, sehingga setara dari sisi yang telah saya utarakan.***