JAKARTA, ASPPUK — Disaat Pemerintah dan berbagai stakeholder pertanian tengah merayakan Hari Tani Nasional pada tanggal 24 September, dunia kini dihadapkan pada persoalan krisis pangan yang diperparah krisis iklim.
Tanggal 24 September dipilih menjadi Hari Tani Nasional karena pada tanggal tersebut ditetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang dikenal dengan sebutan UU Pokok Agraria (UUPA).
UUPA 1960 tersebut menjadi upaya perombakan stuktur agraria Indonesia yang sarat akan kepentingan sebagian golongan akibat warisan kolonialisme di masa lalu.
“Dalam momentum 62 tahun UUPA ini, patutlah kita mengingat kembali kepada pemerintahan saat ini bahwa Keppres no.169 tahun 1963, telah menetapkan 24 September sebagai kelahiran UUPA sebagai Hari Tani Nasional,” ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika dalam sebuah diskusi via zoom terkait peringatan Hari Tani Nasional di Jakarta (24/9).
Akan tetapi, kata Dewi, Orde Baru telah mempeti-eskan UUPA, begitu pula aspirasi rakyat untuk memperingati hari tani dipadamkan. Selain itu, sejak awal reformasi sampai saat ini, pemerintahan belum juga memulihkan pengakuan negara atas hari tani nasional.
“Kelahiran UUPA telah menutup sejarah kelam kita di masa penjajahan tentang perampasan tanah untuk kepentingan perkebunan komoditas ekspor dan pertambangan mineral,” ujarnya.
Terbitnya Agrarische Wet di tahun 1870 yang merampas tanah masyarakat di Sumatera, Jawa dan Sulawesi semakin memperluas praktik perampasan tanah oleh pemerintahan kolonial.
“Sejarah pahit ratusan tahun lalu lamanya dijajah dan dijarah, inilah yang membuat para pendiri dan pemikir bangsa, secara sungguh-sungguh menetapkan cita-cita kemerdekaan untuk mengembalikan kedaulatan negara atas sumber-sumber agrarianya,” ungkap Dewi.
Hal itu, sebagai jalan untuk memulihkan hak-hak rakyat atas tanah yang sudah terampas, sekaligus menjadi alat kemakmuran bagi masyarakat agraris.
Pada akhirnya negara telah menjamin konstitusionalitas petani dan seluruh rakyat Indonesia atas sumber-sumber agraria. Konstitusional agraria itu mewujud di dalam pasal 33 ayat 3 UUD negara RI 1945 yang menyatakan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Lebih lanjut, konstitusionalisme agraria itu diwujudkan dan diperkuat oleh para pemikir bangsa di dalam UU Pokok Agraria tahun 1960,” terangnya.
Melalui UUPA, kata Dewi, negara diwajibkan untuk mengatur kepemilikan tanah dan memimpin penggunaanya, sehingga semua tanah di wilayah kedaulatan negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong royong.
“Model dan corak ekonomi di lapangan agraria juga telah dimandatkan UUPA dalam semangat koperasi maupun badan2 usaha rakyat lainnya yang bersifat gotong royong,” jelasnya.
Sayangnya, semangat dan praktik konstitusionalisme agraria yang telah diukir para pendiri bangsa, tidak dijalankan secara penuh dan konsekuen, bahkan dikhianati oleh kekuasaan dan demi kekuasaan.
Hal itu diamini oleh Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah. Menurutnya hal itu terbukti dari kandasnya Nilai Tukar Petani (NTP) dalam 3 tahun terkahir. Disaat bersamaan, Indeks Harga yang diterima petani (lt) masih kecil, sedangkan indeks harga yang dibayar petani (lb) cenderung mengalami kenaikan.
Secara teori, ketika Nilai Tukar Petani (NTP) besarannya dibawah 100, maka pengeluaran petani jauh lebih besar ketimbang pendapatan yang diterima. “Artinya, petani kita saat ini tidak sejahtera,” ungkap Said yang akrab disapa Kang Ayip.
Dengan kondisi demikian, kehidupan petani di Indonesia tidak banyak berubah. Mereka masih berkutat pada minimnya akses terhadap sumber-sumber produksi (pupuk, saprodi), tata niaga, fluktuasi harga, hingga pemasaran. Selain itu, konflik terkait lahan masih marak terjadi.
“Permasalahan dari hulu hingga hilir itu menyebabkan belum ada perubahan signifikan dalam konteks petani,” ujarnya.
Jika dikaitkan dengan regulasi kebijakan, Ayip melihat pola pendekatan pembangunan pertanian masih berorientasi peningkatan produksi. Kebijakan tersebut belum menyasar kesejahteraan dan keberlanjutan petani secara utuh.
“Petani seolah-olah dipaksa untuk fokus pada produksi saja. Tidak peduli kesejahteraan yang ditandai dengan harga di tingkat petani,” paparnya.
Ketika kebijakan yang dibuat orientasinya masih high production dengan tidak mempertimbangkan konsep agroekologi, petani akan terjebak pada penggunaan input pertanian yang justru menghasilkan emisi lebih banyak.
“Terbukti, penggunaan pupuk, herbisida, pestisida di kalangan petani masih mengandalkan chemical. Mereka belum beralih ke bahan-bahan yang ramah lingkungan,” terang Ayip.
Seharusnya petani diarahkan untuk mengurangi bahan-bahan kimia tersebut, karena berdampak buruk terhadap lingkungan. Untuk itu, pendekatan konsep agroekologi harus terus digaungkan.
“Dengan agroekologi, petani mempertimbangkan aspek ekologi di dalam desain pengelolaan pertanian. Mulai dari perencanaan hingga pengelolaan sistem pertanian pangan,” paparnya.
Krisis Pangan
Perampasan tanah menjadi salah satu penyebab hilangnya kedaulatan pangan bagi petani. Termasuk sistem pertanian alami yang telah membudaya di tengah masyarakat, bahkan telah mengakibatkan krisis pangan.
“Ironisnya, persoalan ini dijawab oleh negara dengan membuka seluas-luasnya importasi pangan untuk menjaga ketahanan pangan di dalam negeri,” ungkap Dewi.
Tidaklah mengherankan dengan menganut sistem ketahanan pangan yang semacam itu, telah menyebabkan sistem pangan kita menjadi rentan terhadap situasi global.
Ancaman situasi krisis ekonomi, politik dan pangan global begitu mudah mempengaruhi sistem pangan nasional. “Inilah ironisme, wajah negara agraris yang sumber-sumber agrarianya begitu luas dan kaya, tetapi begitu rentan mengalami krisis pangan,” terang Dewi.
Indonesia kini tidak mampu berdaulat secara pangan padahal seharusnya, usaha pangan rakyat, kebun rakyat menjadi sumber kesejahteraan bagi petani. Bahkan, lebih dari 6 dekade paska UUPA diundangkan, Indonesia bukan hanya menjadi pasar global bagi barang manufaktur industri namun juga menjadi pasar bagi hasil pertanian luar, berupa beras, kedelai, gandum, daging, garam, susu dan buah-buahan.
Itu sebabnya, di peringatan Hari Tani Nasional yang jatuh setiap tanggal 24 September, Ayip mengajak semua pihak untuk lebih peduli menyikapi krisis pangan yang terjadi secara global.
“Konflik Ukraina – Rusia, seharusnya menjadi momentum bagi kita memperkuat sistem pangan nasional, termasuk meningkatkan pengetahuan petani,” ujarnya.
Untuk itu, petani harus didorong melakukan kemandirian pangan, dengan tidak tergantung pada impor negara. Pasalnya, importasi bahan pangan acap kali tidak didasarkan pada kebutuhan. Impor justru dilakukan saat pasokan sedang tinggi.
Hal itu menjadi catatan penting tentang rentannya sistem pangan kita. Untuk memperbaiki situasi tersebut dalam waktu singkat, bisa dikatakan mustahil di tengah daya dukung sistem pangan kita yang menurun.
Krisis Iklim
Momentum Hari Tani Nasional, menurut Ayip harus dimaknai sebagai peran petani dalam mengatasi krisis iklim. “Perubahan iklim itu nyata dan sektor paling terdampak adalah pertanian,” ungkapnya.
Jika tidak ditangani dengan serius, akan menciptakan masalah besar di kemudian hari, seperti terjadinya krisis pangan dan ketergantungan terhadap produksi negara lain. Untuk itu, Ayip menyarankan agar petani dilengkapi dengan sejumlah pengetahuan terbaru tentang krisis iklim.
“Salah satunya terkait dengan pola adaptasi. Di lapangan saya melihat kemampuan adaptasi petani masih lemah,” ujarnya.
Hal itu terjadi karena minimnya akses informasi yang didapatkan petani. Situasinya kian memburuk seiring terbatasnya akses teknologi yang ramah terhadap petani.
“Karena itu saya menyebutnya, masih banyak PR di lapangan yang harus dibenahi oleh pemerintah,” ungkapnya.
Jika kedua hal itu tidak dibereskan, dikhawatirkan akan berdampak terhadap pola adaptasi yang rendah. Pola adaptasi yang rendah akan berkorelasi terhadap produktivitas yang juga rendah.
Ayip kemudian menjelaskan kondisi yang terjadi baru-baru ini. Menurutnya, kasus tingginya harga cabai di pasaran, berawal dari fakta bahwa petani gagal panen di saat musim kemarau basah.
Seharusnya di musim kemarau basah, petani mampu melakukan sejumlah langkah antisipasi, jika mereka mengerti tentang pola adaptasi terhadap iklim yang berubah. Sayangnya, yang terjadi di lapangan tidak demikian. Mereka cenderung pasrah dan tidak berbuat apa-apa.
“Bayangkan jika hal itu terjadi di sektor beras. Ketika harga gabah naik tinggi, risiko di tingkat petani juga besar,” ujar Ayip. Jika dibiarkan, hal itu berdampak terhadap ketahanan pangan secara nasional. Dalam kondisi terburuk turut mengganggu stabilitas keamanan dan politik di dalam negeri.
“Ketahanan pangan harus menjadi pertimbangan serius, selain pembagian yang adil terhadap petani,” tegasnya.
Fakta lainnya, krisis iklim telah mengacaukan masa tanam. Musim hujan yang datang lebih cepat atau musim kemarau yang berkepanjangan, telah menciptakan ketidakpastian siklus pertanian.
“Hasil panen jadi tidak menentu bahkan gagal panen semakin sering terjadi,” katanya.
Untuk itu, Ayip mengusulkan agar kebijakan diarahkan pada upaya mendorong kapasitas petani, tidak hanya terkait dengan produksi, namun juga terkait literasi dan penguasaan teknologi yang ramah lingkungan.
Selama ini, terlihat ada kesenjangan (gap) yang sangat besar antara policy (kebijakan) dengan kondisi lapangan yang dialami petani. Gap tersebut justru membuat petani semakin terpinggirkan, ketika harga jual rendah, sementara harga bibit, pupuk dan pestisida tetap tinggi.
“Ini harus dicari titik temunya, sehingga kebijakan yang dibuat mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Bukan malah sebaliknya,” ujar Ayip.
Konsep Agroekologi
Saat ini, menurut Ayip, konsep pertanian yang mengintegrasikan secara komprehensif aspek lingkungan hingga sosial ekonomi masyarakat pertanian ramai diperbincangkan. Konsep itu dikenal dengan sebutan Agroekologi.
“Agroekologi merupakan mekanisme bertani yang dapat memenuhi tiga kriteria, yakni keuntungan ekonomi, keuntungan sosial bagi keluarga tani dan masyarakat, dan konservasi lingkungan secara berkelanjutan,” terangnya.
Tujuannya adalah untuk memutus ketergantungan petani terhadap input eksternal dan penguasa pasar yang mendominasi sumber daya agraria. Pelaksanaan pertanian agroekologi bersumber dari tradisi pertanian keluarga yang menghargai, menjamin dan melindungi keberlanjutan alam untuk mewujudkan kembali budaya pertanian sebagai kehidupan.
“Dengan demikian, dalam praktiknya, Agroekologi dapat dilihat sebagai model pertanian yang menyesuaikan dengan kondisi alam dan iklim setempat. Termasuk merekognisi pengetahuan lokal,” jelas Ayip.
Penerapan Agroekologi pada gilirannya ikut berdampak pada desain dan pengelolaan ekosistem pertanian berkelanjutan. Pendekatannya tetap berbasis pada pengetahuan tradisional, pertanian alternatif, dan pengalaman sistem pangan lokal.
“Tak hanya itu, keterkaitan ekologi, budaya, ekonomi, dan komunitas berpengaruh nyata terhadap keberlanjutan produksi pertanian, kesehatan lingkungan, dan kelestarian pangan dan masyarakat,” ungkapnya.
Dengan begitu, Agroekologi bukan sekadar pengetahuan yang berasal dari masa lalu (pengetahuan tradisional), namun pendekatan menyeluruh terhadap pengembangan sistem pertanian yang didasarkan pada pengetahuan lokal, dipadu pengetahuan dan teknologi terbaru.
“Untuk itu, pertanian di Indonesia harus bisa bertransformasi dari corak pertanian tradisional yang sarat penggunaan bahan kimia menuju corak pertanian Agroekologi,” tegas Ayip.
Peran perempuan
Direktur Eksekutif ASPPUK Emmy Astuti mengatakan, Indonesia memiliki peran strategis dalam sistem pangan dan pertanian global karena Indonesia menjadi produsen utama di tingkat dunia dalam beberapa komoditas seperti kelapa sawit, kakao, padi, dan perikanan
Khususnya di sektor sawit, komoditas ini berhasil mendatangkan devisa negara terbesar bagi Indonesia. “Tercatat total devisa sawit tahun 2019 mencapai USD 23,9 milyar dan meningkat mencapau USD 41,2 milayr tahun 2021,” ungkapnya.
Pencapaian devisa sawit 2021 merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah sawit Indonesia (Sawit Indonesia, 15/03/2022). Namun rekor ini tidak membawa kesejateraan bagi petani sawit khususnya petani sawit perempuan yang notabene sebagai pilar penyangga produksi minyak kelapa sawit (Coconut Palm Oil).
Kondisi petani sawit perempuan yang bekerja di sektor perkebunan sawit masih jauh dari kesejateraan dan pengabaian hak-haknya sebagai pekerja. “Statusnya sebagai buruh harian lepas menjadikan posisinya sangat lemah, upah rendah, tidak memperoleh jaminan sosial, jaminan keselamatan kerja, hak kesehatan reproduksi seperti cuti haid, hingga cuti melahirkan,” katanya.
Tidak hanya itu, mereka juga tidak dibekali dengan alat pelindung diri saat bekerja, mengakibatkan mudah terpapar zat aktif pestisida, pupuk kimia dan bahan berbahaya lainnya.
Mereka juga mengalami beban ganda dalam keluarga, rentan terhadap kekerasan seksual. “Apa yang mereka lakukan kurang dihargai keberadaannya oleh perusahaan,” jelas Emmy.
Hal paling mendasar lainnya adalah perempuan petani harus diakui keberadaan dan kontribusinya. Mereka bekerja bukan sekedar mencari nafkah tambahan atau membantu suami, melainkan turut membangun perekonomian bangsa dan kedaulatan pangan nasional.
“Terbukti, perempuan di semua sektor pertanian berperan dalam setiap rantai nilai pertanian,” ujarnya.
Pengalaman studi ASPPUK di lokasi perkebunan sawit di Kecamatan Petasia Timur Morowali Utara, misalnya. Rata-rata perempuan sawit melakukan pekerjaan seperti pembibitan, perawatan, pengangkutan (petik, muat, bongkar tandan buah sawit) saat panen dan distribusi dari kebun ke pabrik.
Studi di Konawe Selatan juga menunjukkan hal serupa. Peran perempuan petani kakao diantaranya; pembersihan lahan, pembersihan, pemisahan kakao dari biji, panen, pemecahan atau membelah kakao, penjemuran, pengayaan atau sortir, menjual kakao, menyimpan uang hasil penjualan kakao.
Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) melalui Deputi Bidang Kesetaraan Gender dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, melalui Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis sudah menandatangani Perjanjian Kerjasama tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) 2019-2024.
“Itu sebabnya ASPPUK berharap melalui RAN KSB, isu-isu gender dan HAM dalam sektor Perkebunan Sawit dapat diterapkan,” kata Emmy.
Sejauh ini, ASPPUK terus mengkampanyekan pentingnya pengembangan model bisnis alternatif yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Contohnya ASPPUK melatih kelompok perempuan dan pemuda di Kecamatan Wiwirano Kabupaten Konawe Utara untuk memanfaatkan tandan kosong kelapa sawit menjadi pupuk kompos dan media tanam sayur.
“ASPPUK melatih inovasi produk dari tandan kosong tersebut agar menjadi sumber pendapatan alternatif bagi masyarakat sekaligus turut berkontribusi pada lingkungan yang lebih berkelanjutan di masa mendatang,” ungkapnya.
Dengan begitu, perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang beroperasi, diharapkan bisa mengadopsi nilai-nilai responsive gender, ramah HAM dan ramah lingkungan dalam menjalankan aktivitas bisnisnya.
“Jika tidak menerapkan bisnis yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, krisis iklim semakin mengancam di depan mata,” pungkasnya. ***