Perempuan Hinako Suarakan Kesetaraan

Masih banyak nasihat perkawinan di Nias yang mewajibkan perempuan untuk tunduk dan patuh terhadap suaminya dalam kondisi apa pun. Sebaliknya, laki-laki tidak diberikan nasihat yang sama untuk menghormati perempuan.

Budaya patriarki yang menyampingkan hak-hak perempuan masih kental dirasakan di sejumlah daerah di Nias, Sumatera Utara, salah satunya Pulau Hinako. Tak ingin larut dalam budaya yang telah usang, perempuan Hinako kini mulai menyuarakan hak-haknya agar mendapat kesetaraan dalam lingkup keluarga ataupun ruang publik yang lebih luas.

Setelah 15 menit melakukan permainan kecil untuk mencairkan suasana, Koordinator Perkumpulan Sada Ahmo (Pesada) Wilayah Tapanuli Tengah-Nias Berliana Purba mulai memberikan edukasi dengan tema ekonomi rumah tangga kepada ibu-ibu dari sejumlah desa di Pulau Hinako, Kecamatan Sirombu, Nias Barat, Sumatera Utara, Jumat (19/11/2021). Dengan metode partisipatif, ia berhasil membuat ibu-ibu berdiskusi tentang definisi ekonomi rumah tangga sekaligus membuat catatan pendapatan dan pengeluaran.

Ekonomi rumah tangga menjadi salah satu tema yang menarik perhatian cukup besar bagi ibu-ibu di Hinako. Beberapa kali terlihat ibu-ibu mengajukan pertanyaan kepada Berliana dan rekan-rekannya ketika menemui sejumlah kendala dalam pencatatan pendapatan dan pengeluaran bulanan, termasuk kebutuhan anak hingga suami.

Pada sesi akhir diskusi, ibu-ibu semakin antusias ketika membahas mekanisme koperasi simpan pinjam (credit union/CU) yang dibentuk Pesada. CU Pesada tidak hanya fokus untuk keperluan simpan-pinjam dan tabungan, tetapi juga memberikan pendidikan pengembangan kapasitas pribadi atau kelompok dan kewirausahaan. Para perempuan anggota CU dilatih konsisten menabung agar mereka dapat memanfaatkan fasilitas CU untuk kebutuhan keuangan dan pengembangan usaha.

Berliana bersama rekan-rekannya rutin memberikan edukasi seputar pemberdayaan perempuan terhadap ibu-ibu di Hinako dan wilayah lain setiap bulan. Selain edukasi, mereka juga memberikan pendampingan bagi perempuan yang kerap mendapat kekerasan atau perlakuan tidak setara baik dari suami maupun keluarganya.

Berliana mengakui bahwa memberikan edukasi dan pendampingan terkait hak-hak perempuan perlu dilakukan karena budaya di Nias yang masih cukup patriarki. Implementasi dan hak-hak perempuan, khususnya yang terkait dengan kesetaraan jender, juga belum tersampaikan ke akar rumput meski sudah terdapat aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Menurut Berliana, sampai saat ini masih banyak nasihat perkawinan di Nias yang mewajibkan perempuan untuk tunduk dan patuh terhadap suaminya dalam kondisi apa pun. Sebaliknya, laki-laki tidak diberikan nasihat yang sama untuk menghormati atau memperlakukan istrinya dengan baik. Hal ini bahkan telah menjadi doktrin mayoritas keluarga di Nias.

”Setelah kami berikan edukasi dan pendampingan, pelan-pelan mereka mulai berani untuk menyuarakan hak-haknya. Mereka juga mulai peduli ketika ada tetangga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Mereka kini tahu bagaimana cara menangani atau langkah awal ketika terjadi kasus kekerasan,” ujar Berliana seraya mengawasi ibu-ibu membuat catatan pengeluaran.

Dengan serangkaian pemberdayaan dan pendampingan, Berliana berharap ke depan perempuan di Hinako ataupun di Nias secara keseluruhan dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat desa. Beberapa agenda yang bisa melibatkan perempuan di antaranya saat musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes). Selama ini, perempuan memang sudah terlibat sebagai peserta, tetapi belum menyuarakan aspirasi dan hak-haknya agar masuk ke program desa.

Pemberdayaan perempuan dari Pesada untuk ibu-ibu di Hinako yang dimulai sejak 2020 ini dirasakan langsung oleh Roslina Hia telah memberikan perubahan signifikan. Roslina yang merupakan Ketua CU Faomakhoda Hinako beserta para perempuan lain bahkan telah berani menyuarakan aspirasi saat musrenbangdes. Mereka meminta perempuan untuk diikutsertakan dalam kepengurusan setiap program desa.

Menurut Roslina, aspirasi dari perempuan Hinako disambut baik oleh perangkat desa yang mayoritas laki-laki. Perangkat desa berjanji untuk mengikutsertakan dan memercayakan sejumlah program desa kepada ibu-ibu dan perempuan Hinako.

Selain itu, Roslina juga merasakan perempuan Hinako semakin mandiri dalam hal finansial sehingga dapat membantu ekonomi keluarga yang selama ini hanya bertumpu pada pendapatan suami. Hal ini tidak terlepas dari pendampingan produksi minyak kelapa murni (virgin coconut oil/VCO) yang dilakukan Pesada. Sebelum ada pendampingan, perempuan Hinako hanya memproduksi VCO untuk keperluan pribadi dengan standar dan mutu yang belum optimal.

”Pesada mengajarkan bahwa perempuan juga harus dihargai dan dapat mandiri. Perempuan Hinako tidak hanya mengurus anak dan bekerja di dapur dan sekarang terbukti kami bisa membantu ekonomi keluarga. Suami pun menyambut baik dan sekarang sudah ada pembagian pekerjaan rumah, seperti sama-sama mengurus anak,” ucapnya.

Dukungan tokoh adat

Wilayah Nias yang mayoritas dihuni suku Nias dan Batak masih sangat menunjung tinggi peran adat dan agama. Bahkan, sebagian orang Nias lebih takut terhadap aturan adat dibandingkan agama. Oleh karena itu, agar program pemberdayaan perempuan lebih maksimal, Pesada juga menjalin kerja sama dengan tokoh adat dan agama di Nias.

Eliakim Telaumbanua, Ketua Lembaga Budaya Nias (LBN) Hiliduho, turut membantu Pesada untuk menghapus doktrin dan kebiasaan masyarakat yang menjadikan anak perempuan sebagai pengurus rumah sejak kecil. Di sisi lain, anak laki-laki dari keluarga Nias kerap dimanja dan dilarang mengurus rumah. Pemberian pendidikan hingga jenjang yang sangat tinggi juga mayoritas hanya diprioritaskan untuk anak laki-laki.

Menurut Eliakim, budaya Nias khususnya dari pihak perempuan masih mematok biaya yang sangat tinggi untuk rangkaian proses pernikahan. Hal ini dipandang Eliakim sebagai proses yang tidak manusiawi karena keluarga seolah menjual anak perempuan tersebut. Seluruh adat dan doktrin inilah yang dinilai menjadi penyebab perempuan tidak dihargai hingga memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Selain aktif memberikan pemahaman dan edukasi kepada masyarakat soal kesetaraan jender, Eliakim juga telah membuat buku pedoman pernikahan adat Nias yang tidak memberatkan salah satu pihak. Dengan segala upaya tersebut, ia berharap perempuan Nias mendapat hak yang setara dengan laki-laki sekaligus mencegah kekerasan dalam rumah tangga.

Sumber Berita : Perempuan Hinako Suarakan Kesetaraan – Kompas.id