Oleh: Yuliana
Pegiat Sosial dan Aktif di LPPSLH
Sumber: http://satelitnews.co Tue, Dec 18th, 2012
ADA budaya kampung yang menurut saya sangat keren untuk lebih dikuatkan. Munjung, tradisi mengantar makanan ke sanak saudara menjelang Lebaran, yang dilakukan oleh anak kepada orangtua.
Namun dalam perkembangannya, tradisi munjung bukan hanya dilakukan pada momen Lebaran saja, melainkan dalam keseharian orang kampung. Sayang sekali, budaya yang kaya akan nilai solidaritas ini semakin hari semakin luntur, bahkan nyaris tercerabut dari tempatnya berasal.
Saya ingat betul semasa kanak-kanak dulu, di suatu sore ibu meminta saya untuk mengantar bubur ganyong ke tetangga kiri kanan. Di lain hari, tetangga sebelah secara bergantian membawa makanan produksi dapur sendiri. Ada pisang rebus, tape singkong, grontol jagung, juga timus ubi.
Jika kita amati, budaya munjung mengandung dimensi sosial dan spiritual yang cukup dalam. Walau hanya sepiring pisang rebus, namun secara sosial hal tersebut merupakan wujud kepedulian dan kerukunan antarsesama. Secara spiritual, budaya munjung juga dapat bermakna sedekah dan saling berbagi.
Tahun pun berlalu, budaya munjung masih saya temui saat remaja. Namun kurang dari satu dekade, budaya tersebut lenyap sudah. Saya rindu ketan urap bikinan Mbak Har, getuk sukun racikan Bu Mar, dan combro goreng hasil olahan Mbah Rowi.
Semua makanan itu dapat saya nikmati setiap saat tanpa harus membayar. Tinggal duduk santai di teras rumah, jika beruntung akan ada tetangga yang mengantar makanan hangat khas rumahan. Kebutuhan camilan sehat pun praktis terpenuhi.
Sebagai produsen sekaligus konsumen, Perempuan Usaha Kecil (PUK) saat ini sedang dihadapkan pada kondisi yang serba praktis dan pragmatis. Satu titik kritis PUK sebenarnya bukan semata-mata soal permodalan, melainkan ancaman keberlangsungan usaha secara ekologis.
Bagaimana tidak, seorang perempuan produsen tempe dengan kapasitas produksi yang sangat minim, harus menyisihkan sebagian keuntungannya untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga. Sementara harga dan ketersediaan bahan baku kedelai sangat tidak stabil.
Kita semua tahu, harga kebutuhan pokok akan terus mengalami kenaikan. Banyak masyarakat miskin tidak mampu mencukupi kebutuhannya secara baik.
Sementara di sekitar kita, lembaga keuangan berlomba-lomba menawarkan pinjaman lunak. Di sinilah krisis tunai rumah tangga bermula. Masyarakat terlanjur jatuh cinta pada hutang. Lalu siapa yang akan memastikan dapur ngebul tanpa jeda di rumah tangga PUK? Ketika sebagian besar masyarakat menganggap uang sebagai satu-satunya solusi dalam mencukupi kebutuhan harian, khususnya kebutuhan pangan keluarga.
Kepastian dapur ngebul tanpa jeda tidak bisa dianggap remeh. Bisa dikatakan, saat ini PUK sedang mengalami berbagai krisis. Ketika bahan baku untuk produksi bukan lagi hasil pertanian negeri melainkan impor dari benua lain. Juga ketika PUK sangat fasih membelanjakan uang untuk sesuatu yang sebenarnya mampu mereka produksi sendiri. Persoalan mindset praktis dan pragmatis merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan hidup PUK. Asumsi saya, krisis tunai rumah tangga PUK selain disebabkan karena kelalaian pemerintah dalam memproteksi pelaku Usaha Kecil Mikro (UKM), juga karena pergeseran masyarakat dalam memaknai fungsi tunai.
Pada akhirnya, mengikisnya budaya munjung di masyarakat membawa keuntungan tersendiri bagi para investor. Membeli makanan siap saji menjadi tren masyarakat masa kini. Pohon pisang di halaman belakang telah diganti dengan tanaman euphorbia dan anthorium yang sarat prestise.
Budaya menanam palawija bagi sebagian orang kampung kini tidak populer lagi. Dengan beragam alasan seperti merusak keindahan, kurang praktis, atau tidak lagi tersedia di pasar. Kebutuhan tunai pun kian meningkat seiring dengan berkembangnya standar kelayakan hidup secara sosial. Orang di kampung lebih bangga menjadi konsumen setia pujasera. Selamat tinggal kemandirian pangan, selamat datang konsumerisme. (*)