Krisis Iklim Ancam Produktivitas Kopi Indonesia

Suasana diskusi krisis iklim yang digelar di Parara Cafe di bilangan Kemang Timur, Jakarta Selatan (12/12/2022). Foto : Marwan Azis.

JAKARTA, ASPPUK, Dampak perubahan iklim mengancam produktvitas pertanian di Indonesia, termasuk kopi, yang selama ini menjadi komoditas andalan sektor perkebunan di Indonesia.

Saat ini Indonesia merupakan negara penghasil kopi terbesar ke empat dunia, di mana perempuan banyak terlibat dalam setiap proses pengolahannya.

Namun demikian, meningkatnya suhu dan perubahan cuaca ekstrim secara signifikan mengancam produktivitas kopi Indonesia dan sektor perekonomian rakyat yang bergantung pada kopi, utamanya perempuan.

Hal tersebut terungkap pada acara diskusi bertema Krisis Iklim, Kopi dan Perempuan yang digelar Yayasan Indonesia Cerah bekerja sama dengan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) yang diadakan di PARARA Café, Senin (12/12/2022)

Diskusi tersebut merupakan rangkaian diskusi dan diseminasi laporan penelitian berjudul “Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pertanian: Fokus Komoditas Padi dan Kopi (Arabika dan Robusta)” yang baru diluncurkan pada November 2022 lalu.

Diskusi ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran publik, khususnya perempuan pegiat kopi, tentang ancaman krisis iklim yang berdampak pada komoditas kopi. Oleh karena itu, diskusi ini melibatkan berbagai pihak  – khususnya yang memiliki perhatian khusus pada isu lingkungan dari akademisi, pegiat lingkungan, petani kopi, pebisnis kopi, aktivis, hingga konsumen.

Laporan tersebut ditulis oleh tim Profesor Edvin Aldrian, Ahli Meteorologi dan Klimatologi BRIN, dan menunjukkan bahwa kondisi El Nino (periode kemarau panjang) maupun La Nina (periode curah hujan tinggi) akan menyebabkan penurunan produktivitas kopi hingga lebih dari 3.000 ton  di beberapa daerah seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur.

Hal ini diperkirakan akan menyebabkan gangguan rantai pasok kopi dan merugikan banyak pihak mulai dari konsumen, pelaku bisnis, hingga produsen kopi – terutama perempuan.

Salah satu penanggap diskusi Emmy Astuti, Direktur Eksekutif ASPPUK, mengungkapkan 70% buruh tani kopi adalah perempuan. Sehingga ketika krisis iklim terjadi dan mengancam produktivitas kopi, maka lapis-lapis kekerasan yang dialami perempuan akan semakin besar – terutama kekerasan ekonomi dan lingkungan yang semua itu timbul akibat kekerasan berbasis gender..

Kenaikan harga terjadi karena didorong oleh kondisi lingkungan sudah tidak sesuai untuk budidaya kopi, sehingga diperkirakan akan membuat import kopi meningkat dari 4.5% pada tahun 2021-2050 menjadi 31,16% pada 2081-2100.

Selanjutnya, potensi gulung tikar pada industri kopi diperkirakan akan terjadi karena biaya produksi penyediaan bahan baku dan juga daya beli masyarakat yang menurun. Oleh karena itu, rantai pasok kopi Indonesia dari hulu ke hilir akan mengalami ancaman yang cukup berat.

Penurunan produksi ini, menurut salah satu narasumber Riniaty Likubulawan, telah dialami oleh petani kopi di Toraja, Sulawesi Selatan, dan berimbas pada kenaikan harga kopi dari Rp 19.000 menjadi 39.000 per kg. “Kekeringan dan curah hujan yang tidak menentu telah menurunkan produktivitas kopi hingga 50% dalam dua tahun terakhir”, tuturnya.

Salah satu langkah mitigasi yang bisa dilakukan dalam menghadapi krisis iklim pada sektor pertanian kopi adalah agroforestri atau wanatani di mana kawasan hutan dikelola secara terintegrasi dengan memadukan Tanaman Kehutanan bersama tanaman pertanian. Namun hal itu tidak bisa dijalankan secara maksimal tanpa dukungan seluruh stakeholder – khususnya pemerintah.

“Pilihan ekonomi kita juga perlu dikritisi, karena pengelolaan sumber daya alam yang bersifat eksploitatif, merusak, maupun membongkar adalah tindakan yang mengacu pada opresi dan kekerasan kepada alam. Jika alam rusak, perempuan sebagai kelompok rentan berada di garda terdepan yang terkena dampak lebih parah. Maka kita perlu melakukan aksi mitigasi bersama untuk menyelamatkan bumi menggunakan prinsip people, profits, planet yang menjadi aspek penting untuk diperhitungkan”, lanjut Emmy Astuti.

Raden Aliaser Prabowo Tjahjono, salah satu tim penulis laporan, menuturkan beberapa aksi adaptasi yang bisa diterapkan petani adalah menggunakan prinsip Climate Smart Agriculture dengan memanfaatkan informasi iklim terutama perubahan pola hujan saat regenerasi tanaman kopi dan mengantisipasi hama, pembuatan instrumen pemanenan air hujan, serta menjaga daerah hijau sekitar perkebunan untuk menjaga fungsi ekosistem perkebunan kopi (Wan)