Meredakan “Toxic Masculinity”, Demi Hubungan Yang Setara dan Adil

 

Oleh : Mh Firdaus*

Maafkan daku wahai istri dan anakku. Aku bukankah lelaki kuat, penuh tanggung jawab, dan mampu memenuhi semua kebutuhan keluarga…”, ungkap Hasbullah (bukan nama asli), warga desa Bengkel, Lombok Barat, terisak sedih. Ia teringat kepergian istri atas desakan keluarga untuk meninggalkannya karena tak memiliki penghasilan tetap.

Sementara pak Umar (bukan nama asli) warga desa Lantan, Lombok Tengah, berkata lirih sedih, “Seandai waktu bisa diputar ulang. Oh… Sungguh, saya mohon dimaafkan atas tindak perlakukan kasarku terhadapmu dan anak kita, wahai isriku…. Marilah kita bekerjasama di segala hal….”.

Pesan Hasbullah dan pak Umar kepada istri dan anak-anaknya di akhir pelatihan “Pelatihan Kesetaraan Gender untuk Laki-Laki sebagai pasangan”, di 4 (empat) desa, yaitu; Tenige dan Jenggala di kab. Lombok Utara, serta desa Bengkel dan Sesaot di kab. Lombok Barat, NTB, tgl 15 dan 17 Desember 2022. Saya bersama Mia Ariayana – sebagai fasilitator — memegang pundaknya seolah ingin berkata,”Anda tidak sendiri dan kita memperbaiki kondisi ini bersama-sama…”. Pelatihan diadakan UN WOMEN, KEMEN PPPA, ANT FOUNDATION, Together Digital, Prov Nusa Tenggara Barat, dan Kota Mataram.

Itulah potret penyesalan laki-laki, sebagian besar berkeluarga, setelah menyadari situasi ketidakadilan relasi dengan pasangan selama ini. Pergulatan batin yang pernah saya rasakan juga sebagai warga yang hidup di tengah budaya patriakhi.

Perempuan dan Laki-laki di Tengah Partriarkhi

Ditengah budaya patriarkhi, yaitu budaya yang mengutamakan laki-laki di semua sektor, dan system adat serta tafsir agama yang bias, mengkontruksi perempuan dan laki-laki dalam posisi gender yang tak adil.

Dalam konteks itu, sifat perempuan sering dilekatkan dengan; lembut, penurut, lemah, pendiam, pemalu, emosional, cengeng, sabar, tekun, setia, dsb. Akibatnya perempuan tidak berani melawan dan rentan mengalami kekerasan seksual karena dianggap tidak mampu melawan. Mereka diberikan peran di rumah seperti; mencuci, memasak, menyapu, mengepel, mengasuh dan mendampingi anak belajar dsb. Sehingga seringkali perempuan tak punya waktu aktifitas lain seperti berbisnis, atau ia mengalami beban kerja berlebih berakibat pada kesehatan reproduksinya.

Sebaliknya, laki-laki diasosiasikan dengan sifat dan peran dengan; kasar, pemarah, egois, bertanggung jawab, rasional, berani, tegas, berwibawa, mencari nafkah keluarga, dsb. Dampaknya sering laki-laki kurang mengekpresikan perasaan dengan bebas, dan kala mengalami PHK (pemutusan hubungan kerja) misalnya, dianggap laki-laki tidak mampu memenuhi kewajiban (Baca Dati F, dkk;“Ora Obah, Ora Mamah – Studi Kasus Gender pada Sektor Informal di Masa Pandemi Covid-19”, Jakarta; 2000). Kondisi ini terkonfirmasi di benak peserta kala saya menanyakan tugasnya di rumah dan public.

Banyak tulisan membahas ketidakadilan gender dialami perempuan. Kali ini, saya focus dinamika peran gender laki-laki, berbekal pengalaman dari pelatihan diatas. Di masyarakat patriarkhi, laki-laki menikmati banyak keuntungan di satu sisi, namun pihak lain mereka terbebani bila tak mampu memenuhi peran gendernya. Istilah kekinian, ia menghadapi “toxic masculinity”. Yaitu suatu pressure budaya bagi laki-laki untuk bersikap dengan cara tertentu atau nilai yang dianggap harus ada di diri seorang laki-laki, seperti; kuat, berkuasa, berwibawa, berpenghasilan (sumber; https://www.alodokter.com/toxic-masculinity-ini-yang-perlu-kamu-ketahui).

Saat menikah, masyarakat memberikan tiga peran bagi laki-laki yaitu; pemimpin (leader), pencari nafkah (provider) dan pelindung (protector). Nah, persoalannya, lakon itu tidak otomatis mudah dijalankan laki-laki. Sebagian pria merasa peran suami dan bapak berat ditunaikan. Laki-laki seolah berada di situasi konflik antara citra idealnya dan kondisi aktual yang dicitrakan masyarakat (Hasyim dkk, 2009).

Persis, itulah yang dialami pak Hasbullah, warga desa Bengkel. Dalam pandangan masyarakat dan keluarga istri, dialah pencari nafkah utama keluarganya. Kala suatu saat penghasilannya tak menentu, ia mengadapi dilema. Meski sang istri memahami kondisi suami, namun keluarga besar istri menuntut penghasilan stabil. Tragis, keluarga istri memintanya meninggalkan dia bersama anak. Di sini, ketidakadilan gender “menimpa” laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri bersamaan.

Di kasus lain, peran lak-laki sebagai suami disempitkan hanya pemenuhan kebutuhan material-fisik keluarga. Begi pula perannya dalam pendidikan anak di rumah direduksi pada pemastian kepatuhan anak dan pemberian sangsi kala ia berbuat kesalahan. Mirip satuan pamong praja (satpam) di rumah. Makanya, kita sering mendengar ungkapan, “Jangan berbuat nakal ya nak, nanti saya lapor ke bapak loh…”. Citra ayah atau bapak menakutkan di hadapan anak, bukan pelindung.

Reduksi peran laki-laki sebagai suami seperti itu berdampak negative dalam hubungan keluarga. Suami seolah berjarak dan tidak memiliki kedekatan emosional dengan anak. Sebaliknya, anak juga sama, ia mendekati bapak bila membutuhkan materi saja.

Sementara perempuan sebagai istri (dan ibu), yang berperan gender sebagai pengasuh anak di ruang domistik, membuatnya memikul beban berlipat. Apalagi bila ia memiliki kegiatan ekonomi, pastinya beban berlipat ditanggungnya.

Padahal kala suami ditanya, buat apa dia bekerja keras? Jawabannya ialah kebahagian anak dan istri. Refleksinya, bila anak dan istri tidak happy sebagai akibat dari pemaknaan sempit peran suami dan bapak, bukankah kondisi ini bertentangan dengan keinginan laki-laki sebagai suami?

Makanya, diperlukan kondisi adil gender yang diupayakan laki-laki dan perempuan. Laki-laki harus mendorong berbagai upaya menuju kesetaraan dan keadilan gender melalui perannya; sebagai suami, sebagai bapak, sebagai tokoh, sebagai pendamping masyarakat, dan bahkan sebagai pengambil kebijakan.

Pada skala umum, seorang laki-laki; pertama, harus mengubah cara pandang atau konsep “laki-laki” dan perempuan. Kedua, aktif mempromosikan dan mempraktikkan konsep laki-laki yang setara, adil dan anti kekerasan. Ketiga, terlibat aktif dalam aksi menyuarakan kesetaraan dan keadilan serta melawan segala bentuk kekersan terhadap perempuan dan anak.

Nilai-nilai dan cara pandang adil gender inilah yang kami tularkan kepada perempuan dan laki-laki di Lombok Desember 2022 lalu. Hasilnya, semua peserta laki-laki berjanji – yang ditulis dalam pesan – untuk berkomitmen bertindak dan mendorong kehidupan yang serta dan adil gender. Kondisi kehidupan yang setara dan adil ini modal berharga untuk bangkit dari pandemic COVID-19. Selain itu, ia merupakan akar terwujudnya kehidupan yang sejahtera, adil dan bebas dari kekhawatiran serta ketakutan.

*Penulis adalah Tim Ahli Sekretariat Nasional ASPPUK).