Dampak dari Perubahan Iklim di Konawe Utara

Empat desa di kabupaten Konawe Utara mengalami kekeringan dan kelangkaan air bersih akibat kemarau berkepanjangan. 

“Disini kami khusus nya Desa Lamparinga, permasalahan utama nya yaitu air bersih yang susah untuk didapatkan, kami mengandalkan sumur pribadi peninggalan transmigrasi, selebihnya masih mengharapkan sumber air dari kali yang ada di dekat rumah kita tapi debit air nya juga tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu jernih.” ujar Sri Murni, warga Desa Lamparinga, di acara FGD Multistakeholder Merespon Isu Perubahan Iklim, Keberlanjutan Ekonomi dan Hak Asasi Manusia, di Konawe Utara awal bulan September. 

Dia menambahkan, pada tahun 2015 ada proyek pengadaan air bersih oleh pemerintah, namun pengerjaannya kurang maksimal sehingga hasilnya kurang baik. “ Jadi, air yang sampai ke masyarakat itu debit nya sangat kecil sehingga penyaluran air bersih tidak merata ke masyarakat. Menurut saya mungkin pada saat mensurvei mata air itu yang kurang tepat.” imbuh Sri Murni. 

Keluhan mengenai sulitnya air bersih ditanggapi oleh Budi Santoso dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kabupaten Konawe Utara. “ Dinas Pemberdayaan Desa hari ini fokusnya bagaimana pemerintah desa melalui anggaran pendapatan belanja desa bisa melakukan mitigasi masalah yang ada di desa nya, dan dimasukkan ke dalam penganggaran,” ucap Budi. 

Dia mengajak para kepala desa, bersama-sama menganggarkan dana untuk proyek sarana dan prasarana air bersih. Hal ini baru mungkin jika dilakukan bersama-sama. 

Sementara itu, Usman, Sekretaris Dinas Badan Penanggulangan Bencana Daerah mengatakan, akibat dari perubahan iklim, kemarau masih akan berlangsung pada bulan-bulan kedepan.. “Tidak menutup kemungkinan akan kering terus karena adanya pancaroba, hal ini menyebabkan kondisi cuaca di satu wilayah tidak menetap bahkan bisa berubah-ubah,” ujar Usman. 

Selain kekeringan dan kelangkaan air bersih, ada beberapa potensi bencara di wilayah Kecamatan Wiwirano, Konawe Utara.  “Bencana yang pernah terjadi di Desa Wacupinodo ini yaitu banjir, kami pernah mengalami banjir yang cukup memberikan dampak besar kepada masyarakat. Kemudian juga bencana tanah longsor karena diakibatkan ada beberapa titik yang memang mengakibatkan bencana ini bisa terjadi.” kata Putu Sudiana, Kepala Desa Wacupinodo. 

Sayangnya, meski banyak potensi bencana di Kecamatan Wiwirano, namun belum ada Damkar di daerah tersebut. “ Solusi yang sudah kita terapkan di masyarakat yaitu memberikan kontak untuk melakukan pengaduan mengenai bencana alam dan juga akses untuk melapor langsung ke kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah.” sebut Usman. Adapun kantor BPBD berada 2 jam perjalanan dari Wiwirano.  “ Kita upayakan tahun depan sudah ada di desa sekurang kurangnya informasi via digital dan bisa diakses melalui telepon.” imbuh Usman. 

Dengan keterbatasan tersebut, komunitas perempuan diharapkan cepat tanggap dalam kebencanaan. “ Dalam masa pra-bencana, perempuan dapat berperan dalam pengurangan risiko bencana. Peran perempuan dalam masa tanggap darurat juga tidak kalah penting, terutama dalam penyediaan air bersih dan makanan. Sementara peran perempuan dalam masa pasca-bencana meliputi peran dalam penyediaan dalam pelayanan kesehatan reproduksi, akses terhadap pendidikan dan keterampilan, serta partisipasi perempuan dalam setiap usaha rehabilitasi dan rekonstruksi.” jelas Idil, Sekretaris Desa Lamparinga.