Tampak pengunjung yang mampir ke stand ASPPUK di acara ASEAN Day yang bertempat di Sekretariat ASEAN (8/8/2022). Foto : Marwan Azis.
JAKARTA, ASPPUK turut meramaikan perayaan Hari Jadi ASEAN ke 55 yang dikenal dengan ASEAN Day di Sekretariat ASEAN di Jakarta (8/8/2022). ASPPUK kali ini memperkenalkan tenun pewarna alami khas Indonesia.
“Tujuan kita ingin memperkenalkan bahwa Indonesia tidak hanya dikenal dengan tenun-tenun berbahan sintetis, namun ada banyak tenun yang dihasilkan oleh para perempuan di akar rumput dalam mempertahankan dan melestarikan tenun di daerah mereka,” kata Hartaty, Program Officer ASPPUK.
Hartaty mengaku senang dan berterima kasih atas dilibatkannya ASPPUK pada perayaan hari jadi ASEAN ke-55, pada Senin (8/8/2022). Tahun ini, ASPPUK diundang oleh Yayasan Maybank Indonesia selaku pendukung kegiatan ASEAN Day di Jakarta.
Ia menjelaskan Yayasan Maybank Indonesia menjalin kemitraan dengan ASPPUK karena mereka melihat konsitensinya dalam melakukan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat, khususnya bagi perempuan dan pemuda dalam pengembangan usaha kecil mikro di Indonesia. ASPPUK juga peduli dengan kehidupan sosial dan lingkungan serta tidak mengejar keuntungan (income) semata.
Sebelumnya, ASPPUK pernah dilibatkan pada program Maybank Women Eco-Weavers (MWEW) di tahun 2016 – 2019. Program ini mepromosikan dan meningkatkan tenun tradisional berbahan dasar pewarnaan alam, secara global dan berkelanjutan, guna menciptakan kemandirian ekonomi dan inklusi keuangan penenun secara regional.
“Program MWEW melatih dan memberdayakan para perempuan penenun dalam meningkatkan keterampilan dari pengalaman dan pengetahuan lokal yang mereka miliki,” terangnya.
Adapun wilayah dampingan ASPPUK untuk program Maybank Women Eco-Weavers terdapat di empat lokasi, yaitu, Kabuptaten Tanah Datar dan Kabupaten Sawah Lunto di Sumatera Barat dan Kabupaten Lombok Tengah serta Kabupaten Lombok Timur.
Keberadaan program tersebut diamini Andini Anindya Prameswari selaku admin CSR Yayasan Maybank Indonesia. Menurutnya, ASPPUK merupakan salah satu mitra untuk program Maybank Women Eco-Weavers.
“Kita tetap menjalin hubungan baik dengan sesama mitra. Setiap ada acara, ASPPUK selalu diundang untuk ikut berpartisipasi,” ungkapnya.
Maybank Women Eco-Weavers sendiri difokuskan pada empat negara ASEAN, salah satunya Indonesia. Di Indonesia, kegiatan utamanya adalah mendukung produksi tenun yang menggunakan serat benang dan pewarna alami.
“Maybank tertarik dengan tenun karena sesuai dengan pilarnya, mendukung pemberdayaan masyarakat,” terang Andini. Terbukti, Maybank ikut mendukung pelatihan bagi perempuan dan masyarakat di wilayah Lombok dan Tanah Datar.
Momentum hari jadi ASEAN ke-55, menurut Andini adalah penegasan bahwa Maybank kembali hadir untuk memperkenalkan tenun dengan pewarnaan alami kepada masyarakat ASEAN sebagai bentuk peduli terhadap lingkungan.
“Harapannya, bisa memperkenalkan tenun ke khalayak umum, karena acaranya berskala internasional,” jelasnya.
Persiapan matang
Hartaty menjelaskan bahwa pameran di ajang ASEAN Day telah dipersiapkan secara matang. Sejak dua minggu sebelumnya, pertemuan demi pertemuan digelar dengan pihak Maybank untuk membahas materi dan pesan kampanye.
“Semua mitra-mitra Maybank seperti ASPPUK, Torajamelo, Sekar Kawung bertemu di zoom meeting. Diinfokan bahwa ada kegiatan pertemuan ASEAN,” katanya.
Hartaty menambahkan, ” untuk persiapan kegiatan ini, , kami mulai melakukan persiapannya dari hari JUmat (5/8 2022) dengan mengumpulkan sejumlah barang yang dibawa untuk display kegiatan, dan persiapan di secretariat ASEAN mulai dilakukan di hari Sabtu, 6/8 sampai Minggu 7/8, yakni dengan mendekor ruangan untuk display alat tenun dan hasil-hasil tenun pewarnaan alami, agar terlihat lebih rapi, eksotik dan menarik. Sementara Kegiatannya sendiri hanya berlangsung selama satu hari, yakni Senin (8/8).
“Dari ASPPUK, atas support dari Yayasan Maybank Indonesi kami menghadirkan dua penenun, dari Tanah Datar yaitu Uni Kartini dan dari Lombok Tengah, Kak Nur,” jelas Hartaty.
Khusus terkait alat peraga, Yayasan Maybank Indonesia menyediakan satu unit alat tenun tradisional. Alat tersebut merupakan duplikat yang digunakan oleh penenun asal Tanah Datar untuk memperlihatkan ke pengunjung proses menenun menggunakan pewarna alami.
Adapun penempatan ruang display, menurut Hartaty, terdapat di sebelah kanan pintu masuk, sebelum naik eskalator. Harapannya, para undangan akan singgah di booth display ASPPUK sebelum menuju venue utama kegiatan ASEAN Day.
“Disini kita menampilkan produk-produk kain tenun yang menggunakan pewarna alami dan juga ada outfit yang dihasilkan dari tenun pewarna alami,” ungkap Hartaty.
Jika pengunjung tertarik untuk membeli produk yang dipamerkan, mereka bisa menghubungi tim SEKNAS ASPPUK yang bertugas. Atau, mereka juga bisa melakukan pembelian secara online melalui akun instagram ASPPUK; @d’PUK by ASPPUK).
“Disini tidak diperuntukkan untuk jual beli. Disini hanya untuk melakuan kegiatan edukasi dan promosi,” tegasnya.
Selain di lantai dasar, display produk-produk tenun pewarnaan alami ASPPUK juga digelar di lantai dua. Tepatnya di depan escalator menuju ruang pertemuan VIP dan di depan lunch rooms VIP. Selain itu display ASPPUK juga berada di di dalam ruangan lunch kelompok youth.
Pengerjaan yang lama
Kartini (39), penenun dari Lintau Buo Utara, Tanah Datar menjelaskan bahwa pembuatan kain tenun menggunakan pewarnaan alami membutuhkan waktu yang lama. Salah satu penyebabnya karena mewarnai benang membutuhkan ketelitian dan kehati-hatian.
“Mewarnai benang secara alami pengerjaannya lama,” tegasnya.
Penyebab lainnya karena kegiatan pewarnaan dan menenun dilakukan oleh orang yang berbeda. Di Tanah Datar, pekerja yang tugasnya khusus mewarnai terbilang langka.
“Karena saya bekerjanya cuma bertenun, kalau yang mewarnai itu tugasnya berbeda. Sekarang, orang yang mewarnai dengan bahan alami tidak ada,” terang Kartini.
Sebelumnya, kegiatan pewarnaan alami dilakukan secara berkelompok. Namun seiring munculnya benang sintetis dengan aneka warna, mengakibatkan kegiatan pewarnaan alami mulai ditinggalkan.
“Sekarang tidak dikembangkan lagi benang alami, karena tidak ada pesanan serat benang alam,” ungkapnya.
Selain itu, harga jual tenun dengan pewarnaan alami memang jauh lebih mahal ketimbang tenun berbahan sintetis. “Harga kain dengan bahan tenun alami bisa mencapai Rp2 juta keatas, tergantung dari pengerjaannya, lama atau tidak,” jelas Kartini.
Meskipun lebih mahal, kain tenun dengan serat benang dan pewarnaan alami memiliki sejumlah kelebihan. Salah satunya, bahan tersebut lebih lembut di kulit. “Lebih sehat kalau dari alam. Kalo sintetis udah ada bahan kimianya. Nanti buat kulit, kalo ada yang alergi pasti bermasalah,” katanya.
Senada dengan itu, Hartaty menjelaskan bahwa pengerjaan tenun dari serat benang dan pewarnaan alami membutuhkan waktu yang lebih lama karena sejumlah alasan. Dimulai dari pengambilan bahan-bahan pewarnaan alami di lingkungan sekitar tempat tinggal penenun, lalu diolah menjadi pewarnaan alam.
Setelah itu dilakukan pencucian dan pencelupan benang yang akan menjadi pewarna alami. Proses berikutnya adalah fiksasi (penguncian warna) dan penjemuran benang.
“Proses pewarnaan benang ini sendiri bisa memakan waktu 3-6 hari. Setelah benang siap pakai, baru proses penenunan dilakukan,” terangnya.
Hartati menambahkan, “Pewarnaan sintetis memang cenderung cepat, tapi ada dampak negatif yang dirasakan para penenun. Mereka kerap mengalami gatal-gatal saat menghasilkan produk.”
Seiring kebutuhan untuk menghasilkan uang secara cepat, banyak dari penenun yang beralih dengan memilih menenun menggunakan bahan sintetis. “Karena berpikir untuk mencari uang, mereka bekerja cepat,” tegas Hartaty.
Sementara dari sisi lingkungan, kata Hartaty, pewarna sintetis berpotensi menghasilkan limbah yang berbahaya terhadap lingkungan. Hal itu jauh berbeda dengan pewarna alami yang cenderung mudah terurai dan meresap cepat ke dalam tanah.
“Limbah Pewarna sintetis saat masuk ke tanah, dia bisa mematikan bakteri-bakteri penyubur tanah sehingga tanah tak lagi subur,” terangnya.
Peduli lingkungan
Memilih menggunakan pewarna alami, menurut Hartaty, turut andil menjaga kelestarian lingkungan. Pasalnya, ASPPUK tidak hanya mengajarkan para penenun untuk memanfaatkan tanaman sebagai pewarna alami, namun membuka wawasan bahwa tanaman merupakan bagian utama dari kegiatan tenun pewarnaan alami. Oleh karena itu, penting untuk melestarikannya.
“Maka kita harus menjaga tanaman-tanaman itu tetap ada dan lestari,” jelasnya.
Untuk memitigasi ketersediaan dan kelestarian tanaman pewarnaan alami tetap tumbuh dan tersedia di alam, ASPPUK mengajarkan agar para penenun hanya mengambil dari alam sesuai kebutuhan. Mereka tidak akan mengambil secara serampangan. Mereka bahkan diajarkan untuk menanam kembali.
“Dengan begitu, para penenun telah membantu untuk mensubsidi karbon yang ada di muka Bumi,” terang Hartaty.
“Itu sebabnya, hingga hari ini tidak ada kendala terkait dengan ketersediaan bahan baku pewarna alami. Semua selalu tersedia, karena penenun menerapkan prinsip ‘mengambil sesuai kebutuhan dan menanamnya kembali’.
“Mereka tahu batasan-batasan yang mau mereka ambil dan mereka melakukan penanaman, sehingga tidak ada kekurangan,” imbuhnya.
Hartaty juga menjelaskan bahwa ketersediaan tumbuhan sebagai pewarna alami memberi sumbangsih besar terhadap perubahan iklim. Tumbuhan tersebut mampu menyerap emisi CO2 di udara dan menghasilkan udara bersih.
“Sebenarnya tanaman pewarna alami turut menjaga agar perubahan iklim tidak terjadi,” ungkapnya.
Ketika masyarakat tetap menanam tumbuhan berusia pendek dan tumbuhan jangka panjang seperti Jengkol dan Mahoni, hal itu, menurut Hartaty bisa menambah suplai oksigen di wilayah tersebut.
“Bagaimana bisa menyerap karbon di udara, secara tidak langsung, terjadi secara alami di alam. Ini bisa berdampak terhadap antisipasi perubahan iklim yang ada di Indonesia, papar Hartaty.
Meningkatkan perekonomian
Kegiatan menenun menggunakan serat benang dan pewarna alami, menurut Hartaty bertujuan tidak hanya meningkatkan ekonomi bagi perempuan yang ada di desa, namun dampaknya berimbas terhadap penyelesaian masalah sosial.
“Bagaimana bisa mengatasi persoalan sosial khususnya perempuan yang ada di desa dan bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga perempuan di desa tidak lagi berpikir menjadi TKW atau bekerja di luar desanya,” ungkapnya.
Kegiatan menenun dengan pewarna alami perlu terus digaungkan agar masyarakat mengetahui bahwa kegiatan tersebut berdampak nyata terhadap kelestarian lingkungan sembari meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
ASPPUK sendiri secara khusus terus melakukan kampanye dan promosi untuk mengedukasi masyarakat bahwa produk tenun dengan pewarnaan alami mampu menjawab persoalan-persoalan ekonomi, sosial dan lingkungan yang kerap terjadi.
“Jadi memang produk-produk ini dihasilkan oleh perempuan yang ada di grassroot. Kegiatan ini merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun oleh perempuan di empat wilayah tadi,” ungkap Hartaty.
Jika para perempuan itu dipaksakan untuk melakukan aktivitas lain, selain menenun, ditengarai hasilnya tidak akan maksimal. Alasannya, mereka tidak memiliki keterampilan lain dan hanya mampu memanfaatkan apa yang ada disekitarnya.
“Potensinya adalah menenun dan akhirnya kami mengedukasi mereka untuk memanfaatkan tanaman pewarna alami menjadi benang yang bisa digunakan untuk menghasilkan tenun dengan tidak menggunakan bahan sintetis,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)